Writed by: Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I
Syarat-Syarat Adzan
1. Masuk waktu shalat – kecuali shalat fajar –. Adzan disyaratkan setelah masuk waktu shalat fardhu. Oleh karena itu, tidak sah jika adzan dikuman-dangkan sebelum masuk waktu.
2. Niat adzan. Niat merupakan syarat sahnya adzan, seperti ibadah-ibadah lainnya. Berdasarkan sabda Rasulullah, ”Sesungguhnya amalan itu tergan-tung niatnya.” [HR. Al_Bukhari dan Muslim]
3. Adzan dikumandangkan dengan bahasa Arab. Syarat adzan lainnya adalah mengumandangkannya dengan bahasa Arab dan tidak sah bila diterjemah-kan ke dalam bahasa lainnya walaupun masyarakat tahu bahwa yang dikumandangkan adalah adzan. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, Hanbali, dan Asy_Syafe’i. Tetapi madzhab Asy_Syafe’i memberikan rincian bahwa jika tidak ada di antara masyarakat yang dapat mengucapkannya dalam bahasa Arab, maka mereka boleh mengumandangkannya dengan bahasa lain.
3. Tidak ada kekeliruan dalam adzan yang dapat merusak makna. Misalnya, mengucapkan kata akbar dengan memanjangkan huruh alif (aaakbar) atau huruf ba’nya (akbaaar). Demikian juga terlalu memanjangkan adzan, karena jika sampai merusak maknanya, maka adzannya tidak sah. Jika tidak sampai merusak maknanya, maka dimakruhkan menurut jumhur (kebanyakan) ulama kecuali madzhab Hanafi. [Lihat Kitab Al_Majmu’ (III/108); Ibnu Abidin (I/256); Muntaha Al_Iradat (I/130); dan Al_Mawahib (I/425)]
4. Mengucapkan kalimat-kalimat adzan secara tertib (berurutan). Seorang muadzin disyaratkan untuk melanjutkan kalimat-kalimat adzan secara berurutan sebagaimana tercantum dalam hadits. Tidak boleh mendahulukan atau mengakhirkan suatu kata atau kalimat atas yang lainnya. Apabila muadzin melakukan seperti itu, maka ia harus mengulanginya dari awal. Ini adalah pendapat jumhur ulama, kecuali madzhab Hanafi. Karena apabila tidak diucapkan secara tertib, maka akan merusak tujuan dari dikumandang-kannya adzan. Oleh karena itu, tidak boleh merusak susunan lafal adzan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari]
5. Berturut-turut antara satu lafal dengan lafal adzan lainnya. Maksudnya setelah selesai mengucapkan lafal yang satu harus diikuti dengan lafal yang lainnya, tanpa dipisah dengan suatu ucapan atau perbuatan lainnya. Namun jika terpisah sebentar, seperti bersin pada saat adzan, maka tidak mengapa ia meneruskannya. Adapun apabila di antara lafal adzan tersebut dipisah oleh waktu yang agak lama, seperti berbincang-bincang, pingsan, dan sebagainya, maka adzannya batal dan wajib diulang dari awal. Orang lain tidak boleh meneruskan adzannya, tetapi harus memulai dari awal. [Lihat Abu Malik Kamal bin As_Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, hal. 425]
6. Memperdengarkan adzan kepada orang yang belum hadir. Maksudnya, baik dengan mengeraskan suara maupun dengan menggunakan pengeras suara, agar maksud adzan tersebut tercapai. Jika ia beradzan untuk dirinya sendiri, maka tidak disyaratkan mengeraskan suara, kecuali sekedar yang bisa di-dengar oleh dirinya sendiri atau didengar oleh orang yang ada bersamanya.