Writed by: Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I
Waktu-Waktu yang Terlarang Mengerjakan Shalat
1. Setelah shalat Shubuh hingga matahari naik setinggi tombak.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Beberapa orang yang dapat dipercaya, dan dipercaya oleh Umar, bersaksi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang mengerjakan shalat setelah Shubuh hingga matahari terbit, dan setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.” [Hadits shahih, diriwayat-kan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
2. Setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ”Tidak ada shalat setelah shalat Shubuh hingga terbit matahari, dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar hingga terbenam matahari.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
3. Ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak; (4). Saat tengah hari hingga matahari tergelincir; dan (5). Matahari terbenam hingga terbenam.
Berdasarkan hadits dari ‘Uqbah bin Amir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami mengerjakan shalat atau menguburkan mayat pada tiga waktu: ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak; pada saat tengah hari hingga matahari tergelincir; dan pada saat matahari akan terbenam hingga terbenam.” [Hadits shahih, diriwayatkan Muslim]
Alasan Larangan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan alasan dilarangnya shalat pada tiga waktu tersebut, berdasarkan sabdanya kepada Amr bin ’Abasah: ”Kerjakanlah shalat Shubuh, kemudian jangan kerjakan shalat hingga matahari terbit dan meninggi, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan. Pada saat itu orang-orang kafir sujud kepadanya. Setelah itu, silakan mengerjakan shalat sunnah, karena shalat pada saat itu disaksikan dan dihadiri (para malaikat). Hingga ketika bayangan tegak lurus dengan tombak (tengah hari), janganlah kerjakan shalat, karena pada saat itu Neraka Jahannam dinyalakan. Jika bayangan telah condong, maka silakan mengerjakan shalat, karena shalat pada saat itu disaksikan dan dihadiri (oleh para malaikat). Hingga engkau mengerjakan shalat Ashar. Sesudah itu, janganlah shalat hingga matahari terbenam. Karena matahari terbenam di antara dua tanduk setan. Pada sat itu orang-orang kafir sujud kepadanya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]
Pengecualian dari Larangan
1. Tengah hari pada hari Jum’at. Karena pada saat itu seseorang dianjurkan untuk mengerjakan shalat sunnah mutlak sebelum dilangsungkannya shalat Jum’at hingga imam keluar (untuk naik mimbar). Apabila imam shalat telah keluar naik mimbar, maka tidak diperbolehkan lagi mengerjakan shalat sunnah mutlak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at lalu bersuci sebersih-bersihnya, meminyaki rambut-nya, atau memakai wewangian yang dimilikinya, kemudian berangkat (ke masjid) dan tidak mencerai beraikan shaf (barisan), kemudian ia mengerjakan shalat sunnah yang mampu dikerjakannya, kemudia ia diam ketika imam telah memulai khuthbah, melainkan akan diampuni dosanya antara Jum’at ke Jum’at berikutnya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari]
Ini adalah pendapat Imam Asy_Syafe’i, berdasarkan hadits di atas dan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat pada tengah hari hingga matahari tergelincir, kecuali pada hari Jum’at – hadits ini sanadnya dha’if (lemah) diriwayatkan oleh Asy_Syafe’i dalam kitab Al_’Umm –. Karena hadits dari Abu Hurairah ini dha’if, maka tidak berpengaruh terhadap apa yang telah penulis sebutkan. Wallahu ’alam
Selain pendapat Imam Asy_Syafe’i di atas, para ulama memiliki dua pendapat lainnya: Pertama, shalat pada tengah hari Jum’at dan selain hari Jum’at tidak timakruhkan secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Malik, berdasarkan amalan penduduk kota Madinah. Tentunya pendapat ini tertolak dengan hadits yang lalu. Kedua, shalat pada tengah hari Jum’at dan selainnya hukumnya makruh. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Penulis berkata, ”Pendapat yang paling kuat adalah adalah pendapat Imam Asy_Syafe’i, dan pendapat ini juga yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.” [Lihat Ibnul Qayyim Al_Jauziyah, Zadul Ma’ad (I/378)]
2. Dua rakaat shalat sunnah thawaf di Baitul Haram (Makkah)
Berdasarkan hadits dari Jubair bin Muth’im bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Wahai Bani Abdul Manaf! Jangan kalian halang seorang pun yang ingin berthawaf di Ka’bah dan melaksanakan shalat di waktu apa pun yang diinginkannya, baik malam maupun siang.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh At_Tirmidzi, An_Nasa’i, dan Ibnu Majah]
3. Mengqadha shalat pada saat waktu-waktu terlarang
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum mengqadha shalat pada waktu terlarang:
Pertama, tidak boleh mengqadha shalat pada waktu-waktu terlarang. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan ashabur ra’yi, dengan dalil-dalil sebagai berikut:
- Bahwasannya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertidur sehingga tidak shalat Shubuh hingga matahari terbit, beliau menundanya hingga matahari memutih. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim dari ’Imran bin Husain]
- Diriwayatkan dari Abu Bakrah bahwa ia tidur dekat jentera air, lalu terbangun ketika matahari hampir terbenam, maka ia menunggunya hing-ga matahari benar-benar terbenam lantas ia shalat. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq]
- Diriwayatkan dari Ka’ab bin ’Ujrah bahwa anaknya tertidur hingga terbit dua tanduk setan. Lalu ia mendudukan anaknya. Setelah matahari meninggi, ia berkata: ”Sekarang shalatlah!” [Sanadnya dha’if, Imam At_Tirmidzi mencantumkan dengan sanad yang mu’allaq, dan Ibnu Abi Syaibah menyebutkan dengan sanad yang bersambung. Lihat Abu Malik Kamal bin As_Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, hal. 405]
Kedua, boleh mengqadha shalat pada waktu-waktu terlarang. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy_Syafe’i, Ahmad, dan jumhur sahabat serta tabi’in dengan dalil-dalil sebagai berikut:
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa tertidur atau lupa mengerjakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika mengingatnya.”
- Hadits dari Abu Qatadah dengan sanad yang marfu’, ”Sesungguhnya yang disebut dengan kelalaian itu hanyalah bagi orang yang tidak melaksanakan shalat hingga masuk waktu shalat yang lain. Barangsiapa yang terlupa, maka laksanakanlah ketika ia mengingatnya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain]
Penulis berkata, ”Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua bahwa boleh mengqadha shalat pada waktu-waktu terlarang. Adapun kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun karena sengatan matahari lalu menunda shalat Shubuh hingga matahari memutih, maka beliau telah menjelaskan sebabnya, yaitu karena tempat tersebut dihadiri oleh setan. Dengan demikian, larangan beliau berkaitan dengan situasi tempat, bukan karena waktu.” Wallahu ’alam
4. Mengqadha shalat sunnah rawatib pada waktu-waktu terlarang.
Berdasarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ’anha bahwa ia pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat setelah shalat Ashar, lalu aku bertanya kepada beliau tentang shalat yang beliau kerjakan. Maka beliau menjawab, ”Wahai putri Abu Umayyah, engkau bertanya tentang dua rakaat setelah shalat Ashar. Tadi orang-orang dari Bani Qais datang dan membuatku sibuk sehingga aku tidak sempat mengerjakan dua rakaat setelah Zhuhur. Dan shalat yang aku kerjakan ini adalah dua rakaat setelah Zhuhur.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
Berdasarkan juga hadits dari Qais bin Amir, ia berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatku shalat sunnah Shubuh dua rakaat setelah shalat Shubuh, maka beliau bertanya, ’Dua rakaat apakah ini, wahai Qais?’ Aku menjawab, ’Wahai Rasulullah, tadi aku tidak sempat mengerjakan shalat sunnah Shubuh.’ Beliau diam tanpa ada komentar.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud, At_Tirmidzi, Ahmad dengan sanad yang mursal. Namun hadits ini memiliki jalur lain yang diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dalam kitab Al_Ausath, Al_Hakim, Al_Baihaqi, sehingga dengan seluruh jalur yang ada, maka hadits ini menjadi hadits hasan]
5. Shalat janazah setelah shalat Shubuh dan Ashar
Para ulama bersepakat bahwa shalat jenazah boleh dikerjakan setelah shalat Shubuh dan Ashar. Tetapi mereka berselisih pendapat bila dilaksanakan pada waktu terlarang yang tercantum dalam hadits dari ’Uqbah bin ’Amr: ketika matahari terbit hingga posisinya tinggi; ketika tengah hari hingga matahari tergelincir; dan ketika matahari akan terbenam hingga benar-benar terbenam. Dalam masalah ini para ulama terbagi menjadi dua pendapat:
Pertama, tidak boleh melaksanakn shalat jenazah pada tiga waktu terlarang. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Malik Ahmad, dan mayoritas ulama, berdasarkan hadits shahih di atas – hadits Uqbah bin Amr.
Kedua, boleh mengerjakan shalat jenazah pada semua waktu terlarang. Ini adalah pendapat Imam Asy_Syafe’i dan satu riwayat dari Imam Ahmad. Argumen Imam Asy_Syafe’i bahwa shalat jenazah adalah shalat yang dilakukan karena suatu sebab. Oleh karena itu, ia dikecualikan dari larangan tersebut.
Penulis berkata, ”Pendapat yang paling jelas adalah pendapat pertama bahwa tidak boleh mengerjakan shalat jenazah pada tiga waktu terlarang tersebut. Karena dalam hadits tersebut, di samping terdapat larangan shalat, ada pula larangan menguburkan mayat. Hal ini menunjukkan bahwa shalat jenazah terlarang dilakukan pada waktu-waktu terlarang itu. Karena waktu larangan itu hanya sebentar saja, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatir-kan jika ditunggu hingga waktu tersebut lewat.” Wallahu ’alam
6. Shalat yang dikerjakan karena suatu sebab
Shalat sunnah – seperti shalat sunnah tahiyatul masjid, shalat sunnah wudhu, shalat sunnah gerhana, shalat jenazah setelah shalat Shubuh dan Ashar, dan lainnya – boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Ini adalah pendapat Imam Asy_Syafe’i dan riwayat lain dari Imam Ahmad. Adapun dalil-dalil mereka adalah:
- Dalam hadits shahih bahwa dibolehkan shalat sunnah thawaf di semua waktu.
- Dibolehkannya shalat setelah wudhu di semua waktu, sebagaimana yang terkandung dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal: “Wahai Bilal, katakanlah kepadaku amalah apakah yang telah engkau lakukan dalam Islam yang paling engkau harapkan? Sesungguhnya aku mendengar bunyi terompahmu di hadapanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Aku tidak melakukan suatu amalan yang paling aku harapkan. Hanya saja setiap aku bersuci, baik pada waktu malam maupun siang hari, aku selalu mengerjakan shalat setelahnya sebanyak semampuanku.” [HR. Al_Bukhari (1149) dan Muslim (2458)]
- Berdasarkan hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang shalat gerhana, ”Apabila kalian melihat gerhana, segera laksanakan shalat.”
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk sehingga ia shalat dua rakaat.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud. Lihat kitab Ta’zhim Qadr Ash_Shalah (1008)]
- Dalam sebuah hadits shahih dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat sunnah Zhuhur setelah shalat Ashar.
- Berdasarkan ijma’ ulama yang membolehkan shalat jenazah setelah shalat Shubuh dan Ashar
Penulis berkata, ”Semua ini adalah shalat-shalat yang dikerjakan karena suatu sebab, dan boleh dikerjakan kapan saja. Dengan demikian, shalat-shalat ini dikecualikan dari larangan tersebut.”