Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ” Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang Amir (pemimpin negara) adalah pemimpin. Dan laki-laki adalah pemimpin keluarganya. Wanita juga adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan pemimpin bagi anak-anaknya.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, At_Tirmidzi, dan Ahmad dari Ibnu ’Umar radhiyallahu ’anhu dalam kitab Faidh Al_Qadir (5): 38]
Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga atau buah apel jatuhnya tidak jauh dari pohonnya, kata sebuah pribahasa. Orangtua tentu paham benar arti pribahasa tersebut. Prilaku anak sebagaian besar berasal dari orangtuanya. Jika baik orangtuanya, maka baik pula anaknya, dan jika buruk orangtuanya, maka buruk pula anaknya.
Dengan indah, pribahasa di atas mengumpamakan orangtua sebagai atap, bagian atas dari rumah. Posisi yang memberikan perlindungan kepada seluruh anggota keluarga. Atap jugalah yang kemudian meneteskan air ke pelimbahan, yaitu anak-anak mereka. Dan air adalah karakter yang diwariskan kepada anak-anak, meluncur deras sesuai dengan sunnahtullah dari atap menuju pelimbahan.
Ya, disadari atau tidak, tingkah laku dan kebiasaan orangtua sebenarnya menjadi cerminan bagi anak-anak di rumah. Memang benar ada karakter yang diwariskan secara genetis kepada anak-anak, tetapi sebenarnya jauh lebih banyak karakter yang diperoleh anak-anak adalah dari hasil didikan orangtua.
Anak-anak belajar dari orangtua mereka dengan cara mendengarkan, mengamati, dan memikirkan tingkah laku orangtua. Kebiasaan ibunya membuat secangkir kopi bagi ayahnya, kebiasaan ayahnya berpamitan dengan mengucapkan salam kepada ibunya ketika berangkat ke tempat kerja, kebiasaan mereka berdua mencurahkan kasih sayang kepada anaknya, akan menjadi pelajaran-pelajaran yang lebih berkesan ketimbang duduk mendengarkan ceramah berjam-jam. Bahkan kebiasaan sepeleh seperti jam berapa menyalakan televisi dan acara apa yang biasa disaksikan, seluruhnya terekam dengan baik dalam ingatan anak-anak.
Pernyataan penulis di atas bukan tanpa alasan, karena metode pendidikan yang sangat besar pengaruhnya dalam mendidik anak adalah metode pemberian contoh atau teladan yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala telah menunjukkan bahwa keteladanan dari kehidupan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengandung nilai pendidikan manusia atau pengikutnya bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah. [Lihat Terjemahan Surat Al_Ahzab (33): 21]
Anak-anak adalah cerminan bagi orangtua. Bagaimana orangtuanya, maka begitulah anaknya “like father, like sons.” Cobalah kita tatap matanya, amatilah hidungnya, cara berjalannya, dan gaya berbicaranya, maka kita akan menemukan diri kita pada anak-anak. Dengan demikian, jika kita tidak ingin dipermalukan di depan orang lain oleh tingkah laku anak-anak, maka berarti kita pun jangan berbuat hal-hal yang memalukan di depan anak-anak kita sendiri.
Dorothy Law Nolte menuliskan sebuah puisi indah yang menceritakan hubungan pendidikan orangtua dengan pembentukan karakter anak-anak. Sengaja penulis cuplikan sebagai bahan renungan kita bersama.
Anak-anak Belajar dari Kehidupan
” Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, maka ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, maka ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, maka ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, maka ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, maka ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan. “
[Lihat Oleh Solihin, Jangan Jadi Bebek (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal. 119]
Bila anak tumbuh menjadi liar, keras, pendendam, dan tidak punya sikap penyayang, jauh dari agama dan suka membangkang perintah kita serta mengabaikan kita ketika masa tua, tentu tidak muncul begitu saja. Kitalah para orangtua yang merekayasa semuanya.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah menyebutkan bahwa orangtua adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Untuk itu beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak terlahir dalam keadaan suci. Kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi…” [Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Lihat Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al_Bukhari, Tarjamah Shahih Bukhari, alih bahasa Ahmad Sunarto, et., al., cet. 1, (Semarang: Asy_Syifa’, 1992), Jilid. 2, hal. 307]
Tidak ada horor yang lebih menakutkan bagi anak-anak selain kehilangan kasih sayang. Al_Imam Ibnul Qayyim Al_Jauziyah rahimahullah pernah perkata, “Siapa yang mengabaikan untuk mendidik anak-anaknya dengan apa yang bermanfaat baginya, dan meninggalkannya dalam kesia-siaan, maka buruklah baginya seburuk-buruk keadaan. Kebanyakan anak-anak menjadi rusak karena kesalahan dan pengabaian (yang dilakukan oleh) orangtua yang tidak mengajarkan hal-hal yang wajib dilakukan dalam agama, juga hal-hal sunnah yang dilakukan. Mereka pun kehilangan anak-anak mereka sejak mereka masih kecil, dan mereka tidak berguna bagi mereka sendiri. Orangtuanya pun tidak memetik manfaat dari mereka saat dewasa. Sebagian orangtua menyalahkan anak-anak mereka karena membangkang mereka.” Maka berkatalah sang anak, “Wahai orangtuaku, engkau tidak menertibkanku sewaktu aku kecil, maka jadilah aku pembangkang saat aku beranjak dewasa. Engkau tidak menganggapku saat aku masih kecil, maka aku pun menyingkirkanmu saat engkau tua.” [Lihat Ibnul Qayyim Al_Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkami Al_Maudud, hal. 136]
Ada sebuah riwayat yang menarik mengenai hal ini. Diriwayatkan bahwa ada seorang wanita miskin datang menemui Aisyah radhiyallahu ’anha. Aisyah berkata, ” Ia (wanita miskin) membawa dua orang anak wanita. Aku memberikan tiga butir kurma kepadanya. Ia memberikan dua butir kepada anaknya. Ia bermaksud untuk memakan sisanya. Tetapi kedua anaknya berusaha merebutnya sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya, wanita itu tidak makan kurma satu butir pun. Aku terpesona dengan prilaku wanita itu. Aku ceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ’ Barangsiapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya menjadi penghalang baginya dari siksa neraka’.” [Hadits shahih yang diriwayatkan pleh Imam Bukhari, Muslim, dan At_tirmidzi]
Selain itu, anak-anak juga memiliki hak untuk mendapatkan harta dan pendidikan. Tanpa keduanya, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang lemah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ” Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” [QS. An_Nisaa’ (4): 9]
Dengan demikian, bukanlah orangtua yang baik, jika meninggalkan anak-anak mereka dalam keadaan lemah iman, ilmu, amal, dan harta, karena anak pasti membutuhkan semuanya.
Bukankah teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda, ” Mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada setiap kebaikan.” [Hadits shahih yang diriwayahkan oleh Imam Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu dalam kitab Jami’ Al_Uluw wa Al_Ahkam, hal. 85]
Suatu ketika Luqmanul Hakim pernah bercakap-cakap dengan anaknya, ” Wahai anakku, apa yang terbaik bagi manusia? ” Luqman menjawab, ” Agama.” Kalau dua? Luqman menjawab, ” agama dan harta.” Kalau tiga? Luqman menjawab, ” agama, harta, dan rasa malu.” Kalau empat? Luqman menjawab, ” agama, harta, rasa malu, dan akhlaq mulia.” Kalau lima? Luqman menjawab, ” agama, harta, rasa malu, akhlaq mulia, dan dermawan.” Anaknya bertanya lagi, kalau enam? Luqman menjawab, ” Anakku jika yang lima itu terkumpul pada diri seorang hamba, maka dia adalah orang yang bertaqwa…”
Akhir dari tulisan ini, matrilah kita simak Sundtrack Keluarga Cemara menyebutkan bahwa keluarga memang hal yang terindah. Keluarga adalah harta yang paling berharga, istana yang paling indah, puisi yang paling bermakna, dan mutiara tiada tara. Tegakah kita membenamkannya di kubangan lumpur dunia? Lagi pula anak yang shaleh adalah satu dari tiga perkara yang dapat terus menerus mengalirkan pahala kepada kita orangtua.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakan kedua orangtuanya.” [Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim]
Demikianlah, semoga tulisan yang sangat sederhana ini menyadarkan kita orangtua akan pentingannya sebuah keluarga. Mendidik anak-anak dengan pendidikan agama yang sesuai dengan Alquran dan As_Sunnah, sehingga kita orangtua akan memetik hasilnya bukan saja di dunia, terlebih lagi di akhirat kelak. Aamiin.. !!
thank mba.. Menambh wawasan..