Di Bawah Lindungan Nubuwah Dan Risalah [Bagian 2]


Jibril Turun Membawa Wahyu

Marilah kita dengarkan penuturan Aisyah radiyallahu anha, yang hendak meriwa-yatkan kepada kita kisah kejadian ini, yang berbinar karena cahaya dari Allah, menguak tabir kegelapan kekufuran dan kesesatan, hingga dapat merubah kehidupan dan meluruskan garis sejarah. Dia berkata,  “Awal permulaan wahyu yang datang kepada Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berupa mimpi yang hakiki di dalam tidur beliau. Beliau tidak melihat sesuatu di dalam mimpinya melainkan ada sesuatu yang datang menyerupai fajar subuh. Kemudian beliau paling suka mengasingkan diri. Beliau menyendiri di gua Hira’ dan beribadah di sana pada malam_malam hari sebelum pulang ke keluarga dan mengambil bekal. Beliau menemui khadijah dan mengambil bekal seperti biasanya, hingga datang kebenaran takala beliau sedang berada di gua Hira’. Malaikat mendatangi beliau seraya berkata, “bacalah!” aku menjawab, “aku tidak bisa membaca.”

Dia (malaikat Jibril) memegangku dan merangkulku hingga aku merasa sesak. Kemudian melepaskanku, seraya berkata lagi, “bacalah!” aku menjawab, aku tidak bisa membaca.”

Dia memegangiku dan merangkulku hingga ketiga kalinya hingga aku merasa sesak, kemudian melepaskanku, lalu berkata,

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang menciptakan. Dia telah mencip-takan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan penataran al_qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya,” [QS. Al-‘Alaq (96): 1-5]

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang bacaan ini dengan hati yang bergetar, lalu pulang menemui Khadijah binti Khuwailid, seraya bersabda, “Seli-mutilah aku, selimutilah aku!” maka beliau diselimuti hingga badan beliau tidak lagi menggigil layaknya terkena demam.

Apa yang terjadi padaku? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Khadijah. Maka dia memberitahukan apa yang baru saja terjadi. Beliau bersabda, “Aku khawatir terhadap keadaan diriku sendiri.”

Khadijah berkata, ”Tidak Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu  selama-nya, karena engkau suka menyambung tali persaudaran, ikut membawa beban orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu, dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.”

Selanjutnya Khadijah binti Khuwailid membawa beliau pergi menemui Waraqqh bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, anak paman Khadijah. Waraqah adalah seo-rang Nasrani semasa Jahilliyah. Dia menulis buku dalam bahasa Ibrani dan juga menulis Injil dalam bahasa Ibrani seperti yang dikehendaki Allah. Dia sudah tua dan buta.

Khadijah binti Khuwailid berkata kepada Waraqah, ”Wahai anak pamanku, dengarkanlah  kisah dari anak saudaramu (Rasulullah).”

Waraqah berkata kepada beliau, ”Apa yang pernah engkau lihat wahai anak saudaraku?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan apa saja yang pernah dili-hatnya. Akhirnya Waraqah berkata, “Ini adalah Namus yang diturunkan Allah kepada Musa. Andaikan saja aku masih muda pada masa itu. Andaikan saja aku masih hidup takala kaummu mengusirmu.”

Beliau bertanya. “Benarkah mereka akan mengusirku?”

“Benar. Tak seorang pun pernah membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan dimusuhi. Andaikan aku masih hidup pada masamu nanti, tentu aku akan membantumu dengan sungguh_sungguh.” Waraqah meninggal dunia pada saat_ saat turun wahyu. [Lihat Muhammad bin Isma’il Al_Bukhari, Shahih Al_Bukhary, (India: Al_Maktabah Ar_Rahimiyyah, 1387 H), hal.1/2-3. Al_Bukhari mentakhrij dalam kitabnya At_Tafsir wa Ta’birur Ru’ya dengan sedikit perbedaan lafaznya]

Ath_Thabary dan Ibnu Hisyam meriwayatkan, yang intinya menjelaskan bahwa Beliau pergi meninggalkan gua Hira’ setelah mendapat wahyu, lalu menemui isteri Beliau dan pulang ke Makkah. Adapun riwayat Ath_Thabrary menyebutkan sekilas tentang sebab keluarnya beliau dari gua Hira’. Inilah riwayatnya:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada makhluk Allah yang paling kubenci selain dari penyair atau orang tidak waras. Aku tidak kuat untuk memandang keduanya.“ Beliau juga bersabda, “Yang paling ingin aku jauhi  adalah penyair atau orng yang tidak waras. Sebab orang_orang Quraisy senan-tiasa berbicara tentang diriku dengan syair itu. Rasanya ingin aku mendaki gunung yang tinggi, lalu menerjunkan diri dari sana agar aku mati saja, sehingga aku bisa istirahat dengan tenang.”

Beliau bersabda lagi, “Maka aku pun pergi dan hendak melakukan hal itu. Namun ditengah gunung, tiba_tiba aku mendengar suara yang datangnya dari langit, berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah, dan aku Jibril.”

Aku mendongakkan kepala kea rah langit, yang ternyata di sana ada Jibril dalam rupa seorang laki_laki dengan wajah yang berseri, kedua telapak kakinya menginjak ufuk langit, seraya berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah dan aku Jibril.”

Aku berdiam diri sambil memandangnya, bingung apa yang hendak aku kerja-kan, tidak berani melangkah maju atau mundur. Aku memalingkan wajah dari arah yang ditempati Jibril di ufuk langit. Tapi setiap kali aku memandang arah langit yang lain, di sana tetap ada Jibril yang kulihat. Aku tetap diam, tidak selangkah kaki pun maju ke depan atau surut ke belakang, hingga akhirnya Khadijah binti Khuwailid mengirim beberapa orang untuk mencariku. Bahkan mereka sampai ke Makkah dan kembali lagi menemui Khadijah tanpa hasil, padahal aku tetap berdiri seperti semula di tempatku berdiri. Kemudian Jibril pergi dari ku dan aku pun pulang kembali menemui keluargaku. Sesampainya di rumah aku langsung duduk di atas paha Khadijah sambil bersandar kepadanya.

Khadijah berkata. “Wahai Abu Qasim, kemana saja engkau tadi? Demi Allah, aku telah mengirim beberapa orang untuk mencarimu hingga mereka sampai di Makkah, namun kembali lagi tanpa hasil.” Kemudian aku memberitahukan apa yang telah aku lihat. Dia berkata, “bergembiralah wahai anak pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi diri Khadijah yang ada di tangan_Nya, aku benar-benar sangat berharap engkau menjadi Nabi umat ini.”

Setelah itu Khadijah beranjak pergi untuk menemui Waraqah dan mengabarkan kepadanya. Waraqah berkata, “Mahasuci, Mahasuci. Demi diri Waraqah yang ada di tangan –Nya, Namus Yang Besar yang pernah datang kepada Musa kini telah datang kepadanya. Dia adalah benar_benar nabi umat ini. Katakanlah kepada-nya, agar dia berteguh hati.”

Khadijah pulang lalu mengabarkan apa yang dikatakan Waraqah kepadanya. Takala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan isterinya dan pergi ke Makkah, beliau bertemu Waraqah. Setelah mendengar penuturun langsung dari beliau, Waraqah berkata, “Demi diriku yang ada di tangan_Nya, engkau adalah benar_benar nabi umat ini. Nama yang besar telah datang kepadamu, seperti yang pernah datang  kepada Musa.” [Riwayat ini diringkas dari kitab As_ Sirah An_Nabawiyah karya Muhammad bin Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary]

Wahyu Terputus

Mengenai jangka waktu terputusnya wahyu, Ibnu Sa’d meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang intinya menjelaskan bahwa jangka waktu terputusnya wahyu adalah beberapa hari saja. Inilah pendapat yang kuat dan bahkan pendapat yang bisa dipastikan, setelah mengadakan penelitian dari segala sisi. Adapun pendapat yang menyebar bahwa masa terputusnya wahyu itu berlangsung selama tiga tahun atau dua setengah tahun adalah pendapat yang tidak benar.

Pada masa_masa terputusnya wahyu itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya diam dalam keadaan termenung sedih. Rasa kaget dan bingung melingkupi diri beliau. Imam Al_Bukhari dalam kitab Kitabut Ta’bir meriwayatkan yang isinya sebagai berikut: “Wahyu terputus selang beberapa waktu, hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dirundung kedukaan seperti halnya diri kita yang sedang berduka. Beberapa kali beliau pergi ke puncak gunung agar mati saja di sana. Tetapi setiap kali beliau sudah mencapai puncaknya dan terbesit keinginan untuk terjun dari sana, maka muncul bayangan Jibril yang berkata kepada beliau, ‘Wahai Muhammad, engkau adalah benar_benar Rasul Allah.’ Dengan begitu hati dan jiwa beliau menjadi tenang kembali. Setelah itu beliau pulang kembali. Jika kevakuman wahyu itu berselang lagi, maka beliau melakukan hal yang sama. Namun selagi sudah tiba di puncak gunung, maka tiba_tiba muncul bayangan Jibril dan mengatakan hal yang sama.” [Muhammad bin Isma’il Al_Bukhari, Kitabut Ta’bir bab Awwalu Ma Budi’a Bihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Minal Wahyi Ar_Ru’ya Ash_Shalihah, hal. 2/340]

Jibril Turun Membawa Wahyu untuk Kedua Kalinya

Al_Hafizh Ibnu Hajar Al_Asqalani menuturkan, “Selama wahyu terputus untuk beberapa hari lamanya, beliau ingin ketakutan dan kedukaannya segera sirna dan kembali seperti sebelumnya. Tatkala bayang_bayang kebingungan mulai surut, tanda_tanda kebenaran mulai membias, dan beliau menyadari secara yakin bahwa kini beliau benar_benar menjadi seseorang Nabi Allah Yang Maha Besar dan Maha Tinggi, bahwa yang mendatangi beliau adalah duta pembawa wahyu yang menyampaikan pengabaran langit. Kegelisahan dan penantiannya terhadap kedatangan wahyu merupakan sebab keteguhan hatinya jika wahyu itu datang lagi, maka Jibril benar_benar datang lagi untuk kedua kalinya.”

Imam Al_Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa dia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan masa turunnya wahyu. Beliau bersabda, “Tatkala aku sedang berjalan, tiba_tiba aku mendengar sebuah suara yang berasal dari langit. Aku mendongakkan pandangan ke arah langit. Ternyata di sana ada malaikat yang mendatangiku di gua Hira’, sedang duduk di sebuah kursi, menggantung di antara langit dan bumi. Aku mendekati-nya hingga tiba_tiba aku terjerembab ke atas tanah. Kemudian aku menemui keluargaku dan kukatakan, “Selimutilah aku, selimutilah aku.!”

Lalu Allah Ta’ala menurunkan surat Al_Muddatsir ayat 1-5 sebagai berikut:

  1. Hai orang yang berkemul (berselimut),
  2. Bangunlah, lalu berilah peringatan!
  3. Dan Tuhanmu agungkanlah!
  4. Dan pakaianmu bersihkanlah,
  5. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah,

Setelah turunnya ayat di atas, maka  wahyu datang secara berturut_turut. [Lihat Muhammad bin Isma’il Al_Bukhari, Kitabut Ta’bir bab War_Rujza Fahjur, hal. 2/733]