Catatan Penting Tentang Adzan dan Iqamah


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Catatan:

Sebagian ulama sekarang berpendapat bahwa tidak disyariatkan mengumandangkan iqamah dengan pengeras suara untuk diperdengarkan kepada orang-orang yang ada di luar masjid. Pendapat ini mereka nisbatkan (sandarkan) kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani rahimahullah.

Penulis berkata, mungkin alasan pendapat di atas bahwa iqamah adalah pengumuman untuk memulai shalat. Bukan pemberitahuan masuknya waktu shalat, bersiap-siap untuknya, dan panggilan untuk mengerjakan shalat seperti adzan. Namun demikian, sebenarnya tidak ada larangan memperdengarkan iqamah untuk orang_orang yang berada di luar masjid. Bahkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia mendengar suara iqamah pada saat ia berada di Baqi’, lalu ia bergegas menuju masjid. [Riwayat ini sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Imam Asy_Syafe’i sebagaimana yang terdapat dalam Musnadnya]

Demikianlah pembahasan tentang adzan dan iqamah kali ini. Saya memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan nama-nama_Nya yang agung dan sifat-sifat_Nya yang mulia agar menjadikan amalan saya yang sedikit ini menjadi amalan yang berkah dan ikhlash semata-mata karena mengharapkan wajah_Nya yang mulia, serta menjadikan sarana pendekat kepada surga_Nya bagi penulis, penerbit, pembaca, dan orang-orang yang berpartisipasi dalam menyebarkan tulisan ini.

Saya juga memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar tulisan ini bermanfaat bagi saya dan semua orang yang membutuhkannya. Sesungguhnya Allah-lah sebaik_baik tempat memohon dan semulia_mulia tempat berharap.

Beberapa Kesalahan dan Bid’ah dalam Adzan dan Iqamah


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Beberapa Kesalahan dan Bid’ah dalam Adzan dan Iqamah

Adzan dan iqamah adalah ibadah, maka harus berdasarkan nash yang ada. Tidak boleh menetapkan hukum dalam adzan dan iqamah kecuali yang telah disyariat-kan oleh Allah dan Rasul_Nya. Telah tersebar di masyarakat kita kekeliruan dan kebid’ahan yang berkaitan dengan adzan dan iqamah. Di sini penulis akan menyebutkan hal-hal itu secara singkat.

1. Kesalahan-kesalahan para muadzin

  1. Melagukan dan meliuk-liukkan suara secara berlebihan dalam adzan.
  2. Menambah kata sayyidina ketika bersyahadat dalam adzan.
  3. Mengenakan selempang, bertasbih, dan lain-lain sebelum mengumandangkan adzan.
  4. Menjahrkan (mengeraskan) shalawat Nabi setelah adzan.
  5. Tidak melaksanakan sunnah-sunnah adzan yang telah disebutkan di atas.
  6. Tidak mengumandangkan adzan pada awal shalat shubuh dan tidak mengucapkan ­tatswib (mengucapkan ash_shalatu khoirum minan naum) pada adzan tersebut.

2. Kesalahan-kesalahan para pendengar adzan

  1. Tidak melaksanakan sunnah-sunnah yang telah disebutkan di atas.
  2. Ucapan mereka: Allahu a’zham wal ‘izzatu lillah ketika mendengar muadzin mengumandangkan takbir.
  3. Sebagian mereka ada yang bersumpah dengan hak adzan.
  4. Sebagian mereka memberi tambahan pada doa setelah adzan: wad darajatal ‘aliyatar rafi’ah dan innaka la tukhliful mi’ad.
  5. Mereka mendahului muadzin dengan ucapan: la ilaaha illallah ketika muadzin mengucapkan takbir yang terakhir.

3. Kesalahan-kesalahan ketika iqamah shalat dikumandangkan

  1. Tidak menjawab iqamah.
  2. Ketika orang yang beriqamah mengucapkan: qad qamatish shalah dijawab dengan: aqamahallah wa adamaha.
  3. Ucapan mereka setelah iqamah selesai dikumandangkan: Allahumma ahsin wuqufana baina yadaika.

Beberapa Permasalahan Tentang Iqamah


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Beberapa Permasalahan Tentang Iqamah

Berikut ini adalah beberapa permasalahan yang sering ditanyakan oleh umat Islam yang berkaitan tentang permasalahn-permasalahan iqamah.

1. Apakah yang beriqamah harus orang yang mengumandangkan adzan?

Yang terbaik adalah siapa yang mengumandangkan adzan, maka dia pulalah yang beriqamah. Karena Bilal bertugas mengumandangkan adzan dan iqamah, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Seandainya adzan dan iqamah dilakukan oleh dua orang yang berbeda, maka hal itu dibolehkan.

2. Apakah menirukan kalimat yang dikumandangkan orang yang beriqamah?

Bagi siapa yang mendengarkan iqamah, disyariatkan untuk mengulangi kali-mat yang sama. Berdasarkan keumuman sabda Rasulullah, “Apabila kalian mendengar adzan (nida’), maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muadzin.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

Iqamah juga disebut nida’ dan adzan. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada shalat di antara dua adzan (maksudnya antara adzan dan iqamah)” [Hadits shahih]

Ada juga yang berpendapat bahwa tidak disyariatkan untuk memberikan jawaban, kecuali adzan. Menurut penulis, pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama yang mengatakan bahwa disyariatkan menjawab iqamah dengan kalimat yang sama.

3. Apa yang harus diucapkan ketika mendengar: qad qamatish shalah – qad qamatish shalah ?

Disunnahkan untuk mengucapkan seperti apa yang didengar, yaitu meng-ucapkan: qad qamatish shalah – qad qamatish shalah, berdasarkan keumuman hadits dari Abu Sa’id di atas. Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa beliau mengucapkan: aqamahallah wa adamaha, maka haditsnya tidak shahih. [Hadits dhai’if diriwayatkan oleh Abu Dawud. Lihat Muham-mad Nashiruddin Al_Albani, Irwa’ Al_Ghalil (241)]

4. Kapan iqamah dikumandangkan?

Pada dasarnya iqamah tidak dikumandangkan kecuali setelah imam terlihat. Hal ini berdasarkan dari Jabir bin Samurah, ia berkata: “Bilal menguman-dangkan adzan ketika matahari tergelincir, dan tidak beriqamah hingga Nabi keluar (dari rumahnya). Jika beliau keluar, maka ia beriqamah ketika melihat beliau.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]

Tetapi terkadang disyariatkan mengumandangkan iqamah sebelum imam keluar, jika imam sudah terlihat dari jauh atau sudah diketahui beberapa saat lagi imam akan keluar. Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘ahu.

5. Kapan orang-orang bangkit untuk mengerjakan shalat?

Jika imam tidak bersama mereka di dalam masjid, maka disunnahkan untuk tidak berdiri hingga melihat imam, baik iqamah sudah dikumandangkan maupun belum, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qatadah bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Apabila shalat telah didirikan (yaitu iqamah), maka janganlah kalian berdiri hingga kalian melihatku.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

Adapun jika imam bersama mereka di dalam masjid, maka menurut madzhab Asy_Syafe’i dan mayoritas ulama bahwa mereka (makmum) tidak bangkit kecuali setelah selesai iqamah. imam Malik berpendapat bahwa mereka berdiri ketika muadzin mulai mengumandangkan iqamahnya. Imam Ahmad berpendapat bahwa mereka berdiri ketika muadzin mengucapkan: qad qamatish shalah. Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka berdiri ketika muadzin mengucapkan: hayya ‘alash shalah. [Lihat Imam An_Nawawi, Syarah Muslim (III/840)]

Menurut penulis bahwa mereka (makmum) tidak berdiri kecuali setelah melihat imam sudah berdiri. Karena bangkitnya imam menuju tempat imam sama maknanya dengan keluarnya imam kepada jamaahnya. Pendapat ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka janganlah kalian bangkit hingga kalian melihatku.” Wallahu ‘alam

Larangan Keluar dari Masjid Setelah Adzan Dikumandangkan


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Larangan Keluar dari Masjid Setelah Adzan Dikumandangkan

Diriwayatkan dari Abu Asy_Sya’tsa’, ia berkata: “Tatkala kami sedang duduk bersama Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, muadzin mengumandangkan adzannya. Lalu seseorang bangkit dan pergi dari masjid. Abu Hurairah pun mengikuti orang itu dengan pandangannya hingga orang itu keluar dari masjid, lalu Abu Hurairah berkata, ‘Orang ini telah durhaka terhadap Abul Qasim (Rasulullah)’.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, An_Nasa’i, dan At_Tirmidzi]

Imam An_Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya keluar dari masjid setelah adzan dikumandangkan hingga ia selesai mengerjakan shalat fardhu, kecuali karena udzur.” [Lihat Imam An_Nawawi, Syarah Muslim (V/157)]

Penulis berkata bahwa tidak boleh keluar masjid kecuali karena suatu darurat (keperluan penting), seperti wudhu’, mandi, dan lain-lain.

Hal-Hal yang Dianjurkan Bagi Orang yang Mendengar Adzan


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Hal_Hal yang Dianjurkan Bagi Orang yang Mendengar Adzan

Tulisan kali ini adalah berkenaan tentang hal-hal yang dianjurkan bagi seseorang yang mendengar adzan ketika adzan dikumandangkan oleh muadzin. Adapun yang termasuk hal-hal yang dianjurkan bagi orang yang mendengar adzan sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah karya Abu Malik Kamal bin As_Sayyid Salim adalah sebagai berikut :

1. Menirukan secara pelan apa yang diucapkan muadzin. Diriwayatkan dari Abu Sa’id bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muadzin.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

Adapun apabila muadzin mengucapkan hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah, maka ucapkanlah: la haula wala quwwata illa billah. Hal ini berdasar-kan hadits Umar bin Khaththab, ia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda; …Kemudian muadzin mengucapkan hayya ‘alash shalah, ia menjawab: la haula wala quwwata illa billah; kemudian muadzin mengucapkan hayya ‘alal falah, ia menjawab: la haula wala quwwata illa billah…” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud]

Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka jumhur ulama berpendapat bahwa jawaban hai’alatain dikhususkan dengan hadits ini dari keumuman hadits Abu Sa’id di atas. Karena hai’alatain adalah khithab (perintah), dan tidak ada faidahnya diulang kembali.

Kemudian, apa jawabannya jika muadzin mengucapkan: “ash_shalatu khaoirum minan naum”???

Jawabanya: Pendengarnya juga menjawabnya dengan ucapan, “ash_shalatu khaoirum minan naum” berdasarkan keumuman hadits Abu Sa’id di atas. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa pendengar menjawab dengan jawaban: “shadaqta wa bararta” adalah pendapat yang tidak ada dasarnya dari hadits shahih. Oleh karena itu, tidak boleh beribadah dengan sesuatu yang tidak ada dasarnya. Wallahu ‘alam

Abu Malik Kamal bin As_Sayyid Salim dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah mengatakan bahwa ketika muadzin mengucapkan dua kalimat syahadat, maka pendengar sudah cukup menjawab: wa ana (saya juga), atau dengan jawaban: wa ana asyhad (aku juga bersaksi). Hal ini berdasarkan hadits Sahl bin Hanif bahwa ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan duduk di atas mimbar dan muadzin sedang mengucapkan: Allahu Akbar – Allahu Akbar, aku men-dengar Mu’awiyah menjawab: Allahu Akbar – Allahu Akbar. Di saat muadzin mengucapkan: Asyhadu allaa ilaaha illallah, ia menjawab: wa ana (saya juga). Lalu muadzin mengucapkan: Asyhadu anna Muhammadar rasulullah, ia menjawab: wa ana (saya juga). Setelah adzan selesai, ia berkata: “Wahai manusia sekalian, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di majelis ini, ketika muadzin sedang mengumandangkan adzan, beliau mengucapkan seperti apa yang telah kalian dengar dariku.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Al_Bukhari, An_Nasa’i, dan Ahmad (IV/95)]

2. Mengucapkan shalawat atas Nabi dan memintakan wasilah untuk beliau setelah adzan. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amir bahwasannya ia pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian men-dengar suara muadzin, maka uacapkanlah seperti yang diucapkannya kemudian bershalawatlah kepadaku. Sebab barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mohonlah kepada Allah wasilah untukku. Sesungguhnya wasilah adalah suatu kedudukan di surga yang tidak diberikan kecuali kepada seorang hamba Allah, dan aku berharap bahwa akulah orangnya. Barang-siapa memohon kepada Allah wasilah untukku, maka orang tersebut berhak mendapat syafaatku.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, At_Tirmidzi, dan An_Nasa’i (II/25)]

3. Mengucapkan syahadatain serta ridha kepada Allah, Rasul, dan agama_Nya. Diriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqash, dari Rasulullah, beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan, ketika mendengar panggilan adzan: ‘Aku bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang hak kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi_Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan_Nya. Aku ridha Allah sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulku, maka akan diampuni’ dosa-dosanya yang telah lalu.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan At_Tirmidzi]

4. Berdoa di antara adzan dan iqamah, karena doa di antara adzan dan iqamah adalah doa yang mustajab. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berdoa di antara adzan dan iqamah tidak akan tertolak, maka berdoalah.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud, At_Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahamad (III/155)]

Sunnah-Sunnah Adzan


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Hal_Hal yang Disunnahkan Ketika Adzan

Adapun hal-hal yang disunnahkan ketika seseorang adzan adalah sebagai berikut:

1.  Adzan dalam keadaan suci (tidak berhadats). Berdasarkan dalil-dalil umum yang menganjurkan berdzikir dalam keadaan suci – sebagaiman telah disinggung dalam kitab wudhu –.

Adapun hadits yang menyatakan bahwa tidak sah mengumandangkan adzan kecuali orang yang berwudhu adalah hadits yang tidak shahih.

Seluruh fuqaha’ sepakat, jika muadzin mengumandangkan adzan dalam keadaan berhadats kecil, maka adzannya sah. Demikian pula jika muadzin dalam keadaan junub, maka adzannya sah menurut pendapat yang shahih. Karena tidak ada satu pun dalil yang melarangnya. Lagi pula orang yang junub itu tidak najis. Namun Ahmad dan Ishaq melarangnya. [Lihat Kitab Al_Ausath (III/28)]

2.  Adzan sambil berdiri. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang disunnahkannya bagi muadzin untuk berdiri ketika mengumandangkan adzan, kecuali jika dalam keadaan sakit. Jika demikian kondisinya, maka ia boleh adzan sambil duduk. Namun Imam Malik, Al_Auza’i dan Ashhabur Ra’yi menilai makruh mengumandangkan adzan sambil duduk secara mutlak. [Lihat Kitab Al_Ausath (III/46)]

3.  Menghadap kiblat. Para ulama sepakat bahwa disunnahkan adzan meng-hadap kiblat. Ada sejumlah hadits yang diriwayatkan mengenai masalah ini, namun hadits-hadits tersebut masih diperbincangkan. Di antaranya ada yang diriwayat dari Ibnu Zaid bahwa ia melihat malaikat mengumandangkan adzan dengan menghadap kiblat. [Lihat Muhammad Nashiruddin Al_Albani, Irwa’ Al_Ghalil (I/250)]

4.  Memasukkan jari tangan ke telinga. Berdasarkan hadits Abu Juhaifah, ia berkata; “Aku melihat Bilal mengumandangkan adzan sambil berputar, yang diikuti oleh mulutnya ke sana dan ke mari, sementara jari tangannya berada di telinganya.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh At_Tirmidzi (197) dan Ahmad (IV/308). Lihat Muhammad Nashiruddin Al_Albani, Irwa’ Al_Ghalil (230)]

5.  Muadzin menggabungkan tiap-tiap dua takbir. Berdasarkan hadits Umar bin Khaththab, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila muadzin mengatakan; Allahu Akbar – Allahu Akbar, maka ucapkanlah: Allahu Akbar – Allahu Akbar. Kemudian apabila muadzin mengatakan: Asyhadu allaa ilaaha illallah, maka ucapkanlah: Asyhadu allaa ilaaha illallah…” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud]

Berdasarkan konteksnya, maka hadits ini menunjukkan bahwa muadzin menggabungkan tiap-tiap dua takbir, dan yang mendengarkannya juga menjawabnya seperti itu. Tidak seperti yang dilakukan sebagian muadzin yang mengucapkan takbir satu persatu dari empat takbir tersebut dengan diselingi nafas. [Lihat Imam An_Nawawi, Syarah Muslim (III/79)]

6.  Menolehkan kepala ke kanan ketika mengucapkan hayya ‘alash shalah dan ke kiri ketika mengucapkan hayya ‘alal falah. Berdasarkan hadits Abu Juhaifah bahwa ia melihat Bilal yang sedang adzan, seraya berkata; “Maka aku pun mengikuti gerakkannya kesana kemari (ke kanan dan ke kiri)” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

Oleh karena itu, disunnahkan menoleh kepala ke kiri dan ke kanan serta badan tetap menghadap kiblat. Hal ini menurut pendapat jumhur ulama. Berbeda halnya dengan Imam Malik yang mengingkari perbuatan tersebut. Sementara Imam Ahamd dan Ishaq membatasi bahwa itu berlaku untuk muadzin yang mengumandangkan adzannya di atas menara agar suaranya terdengar oleh orang banyak. [Lihat Kitab Al_Ausath (III/26-27)]

7.  Mengucapkan tatswib pada adzan awal shalat Shubuh. Tatswib adalah ucapan muadzin “ash_shalatu khaoirum minan naum” sebanyak dua kali setelah mengucapkan hai’alatain – hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah – dalam adzan shubuh. Menurut jumhur ulama bahwa ucapan tersebut disunnahkan. Berdasarkan hadits Abu Mahdzurah yang di dalamnya disebut-kan, “ash_shalatu khaoirum minan naum – ash_shalatu khaoirum minan naum…” [Seluruh jalurnya hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud, An_Nasa’i, dan Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Al_Albani dalam takhrij kitab Al_Misykah (645)]

Sifat-Sifat Muadzin


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Sifat-Sifat Muadzin

1.  Hanya mengharapkan wajah Allah semata, dan tidak mengambil upah dari adzan dan iqamah yang dikumandangkannya. Karena tidak boleh mengambil upah dari amal ketaatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Utsman bin Abi Al_’Ash, “Angkatlah seorang muadzin yang tidak meminta upah atas adzannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, An_Nasa’i, At_Tirmidzi, dan Ibnu Majah]

Apabila sukarelawan adzan tidak ada, maka Imam (pemerintah) boleh menggaji dari Baitul Mal kepada orang yang melakukan tugas tersebut, karena kaum muslimin sangat membutuhkannya.

2.  Orang yang adil dan bisa dipercaya. Karena muadzin adalah orang diberi amanat. Yakni yang dapat dipercaya dalam menjaga waktu-waktu shalat, dan dapat dipercaya bahwa ia mampu menjaga pandangannya dari melihat aurat orang lain. Adzan seorang fasiq hukumnya makruh tetapi tepat sah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memilih pendapat tidak sahnya adzan yang dikumandangkan orang yang jelas kefasikkannya, karena bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Lihat Kitab Al_Mawahib (I/436); Al_Mughni (I/413); dan Al_Ikhtiyaraat, hal. 37]

3.  Memiliki suara yang bagus. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdullah bin Zaid, “Pergilah dan ajarkan apa yang telah kamu lihat (dalam mimpi) kepada Bilal, karena ia memiliki suara yang lebih baik daripada suaramu.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud, At_Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain]

Muadzin juga boleh menggunakan sound system untuk memperbagus dan mengeraskan suaranya. Tetapi makruh hukumnya meliuk-liukkan dan menyanyikan adzan.

4.  Mengetahui kapan masuknya waktu shalat, agar muadzin dapat mengu-mandangkan adzan tepat pada awal waktu dan terhindar dari kesalahan. Akan tetapi seseorang yang tidak mengetahui kapan masuknya waktu dengan dirinya sendiri – seperti orang yang buta – tetap dibolehkan untuk mengumandangkan adzan jika ada orang yang memberitahukannya. Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu – seorang yang buta – tidaklah mengumandangkan adzan kecuali setelah dikatakan kepadanya, “Shubuh, Shubuh.”

Syarat-Syarat Adzan


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Syarat-Syarat Adzan

1.  Masuk waktu shalat – kecuali shalat fajar –. Adzan disyaratkan setelah masuk waktu shalat fardhu. Oleh karena itu, tidak sah jika adzan dikuman-dangkan sebelum masuk waktu.

2.  Niat adzan. Niat merupakan syarat sahnya adzan, seperti ibadah-ibadah lainnya. Berdasarkan sabda Rasulullah, ”Sesungguhnya amalan itu tergan-tung niatnya.” [HR. Al_Bukhari dan Muslim]

3.  Adzan dikumandangkan dengan bahasa Arab. Syarat adzan lainnya adalah mengumandangkannya dengan bahasa Arab dan tidak sah bila diterjemah-kan ke dalam bahasa lainnya walaupun masyarakat tahu bahwa yang dikumandangkan adalah adzan. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, Hanbali, dan Asy_Syafe’i. Tetapi madzhab Asy_Syafe’i memberikan rincian bahwa jika tidak ada di antara masyarakat yang dapat mengucapkannya dalam bahasa Arab, maka mereka boleh mengumandangkannya dengan bahasa lain.

3.  Tidak ada kekeliruan dalam adzan yang dapat merusak makna. Misalnya, mengucapkan kata akbar dengan memanjangkan huruh alif (aaakbar) atau huruf ba’nya (akbaaar). Demikian juga terlalu memanjangkan adzan, karena jika sampai merusak maknanya, maka adzannya tidak sah. Jika tidak sampai merusak maknanya, maka dimakruhkan menurut jumhur (kebanyakan) ulama kecuali madzhab Hanafi. [Lihat Kitab Al_Majmu’ (III/108); Ibnu Abidin (I/256); Muntaha Al_Iradat (I/130); dan Al_Mawahib (I/425)]

4.  Mengucapkan kalimat-kalimat adzan secara tertib (berurutan). Seorang muadzin disyaratkan untuk melanjutkan kalimat-kalimat adzan secara berurutan sebagaimana tercantum dalam hadits. Tidak boleh mendahulukan atau mengakhirkan suatu kata atau kalimat atas yang lainnya. Apabila muadzin melakukan seperti itu, maka ia harus mengulanginya dari awal. Ini adalah pendapat jumhur ulama, kecuali madzhab Hanafi. Karena apabila tidak diucapkan secara tertib, maka akan merusak tujuan dari dikumandang-kannya adzan. Oleh karena itu, tidak boleh merusak susunan lafal adzan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari]

5.  Berturut-turut antara satu lafal dengan lafal adzan lainnya. Maksudnya setelah selesai mengucapkan lafal yang satu harus diikuti dengan lafal yang lainnya, tanpa dipisah dengan suatu ucapan atau perbuatan lainnya. Namun jika terpisah sebentar, seperti bersin pada saat adzan, maka tidak mengapa ia meneruskannya. Adapun apabila di antara lafal adzan tersebut dipisah oleh waktu yang agak lama, seperti berbincang-bincang, pingsan, dan sebagainya, maka adzannya batal dan wajib diulang dari awal. Orang lain tidak boleh meneruskan adzannya, tetapi harus memulai dari awal. [Lihat Abu Malik Kamal bin As_Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, hal. 425]

6.  Memperdengarkan adzan kepada orang yang belum hadir. Maksudnya, baik dengan mengeraskan suara maupun dengan menggunakan pengeras suara, agar maksud adzan tersebut tercapai. Jika ia beradzan untuk dirinya sendiri, maka tidak disyaratkan mengeraskan suara, kecuali sekedar yang bisa di-dengar oleh dirinya sendiri atau didengar oleh orang yang ada bersamanya.

Hukum Adzan


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Hukum Adzan

Para ulama telah sepakat tentang disyariatkannya adzan, dan pelaksanaannya terus berlangsung sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga zaman kita sekarang dengan tanpa diperselisihkan. Hanya saja para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya; apakah wajib atau sunnah muakkad???

Insya Allah, pendapat yang benar adalah hukumnya fardhu kifayah. Hal ini berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

1.  Adzan adalah ibadah dan termasuk syiar Islam yang teragung dan termasyhur (terkenal). Amalan ini terus dilaksanakan sejak Allah mensyariat-kannya hingga wafatnya Rasulullah, baik ketika malam maupun siang hari, baik ketika berpergian maupun bermukim. Tidak pernah terdengar bahwa beliau pernah meninggalkannya atau memberikan dispensasi untuk tidak melaksanakannya.

2.  Nabi menjadikan adzan sebagai tanda keislaman, tanda berpegang teguh dengannya dan masuk di dalamnya. Diriwayatkan dari Anas bahwa jika Nabi memerintahkan kami untuk menyerang suatu kaum, beliau tidak menye-rangnya hingga datang waktu shubuh seraya mencermati. Apabila beliau mendengar adzan, maka beliau tidak menyerang mereka. Sebaliknya apabila beliau tidak mendengar suara adzan, barulah kaum tersebut diserang. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Al_Bukhari dan Muslim]

3.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahnkannya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Malik bin Al_Huwairist bahwa Nabi pernah bersabda kepadanya dan para sahabatnya, “Jika waktu shalat sudah masuk, maka hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah orang yang paling tua usianya mengimami kalian.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Al_Bukhari dan Muslim]

4.  Dalam hadits Abdullah bin Zaid tentang adzan yang dimimpikannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ini adalah mimpi yang benar, insya Allah.” Kemudian beliau memerintahkan untuk menguman-dangkan azdan. [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud, At_Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain]

5.  Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Al_Bukhari dan Muslim]

6.  Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Utsman bin Abi Al_’Ash, ”Angkatlah seorang muadzin yang tidak meminta bayaran atas adzannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, An_Nasa’i, At_Tirmidzi, dan Ibnu Majah]

7.  Diriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata; Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah 3 orang (yang tidak dikumandangkan adzan) dan shalat berjamaah tidak didirikan di dalamnya, melainkan setan telah menguasai mereka!” [Sanadnya lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud, An_Nasa’i, dan Ahmad. Adapun tambahan lafal ini dalam riwayat Ahmad]

Hadits ini menunjukkan atas wajibnya adzan, karena meninggalkan adzan termasuk salah satu jenis tipu daya setan yang wajib untuk dijauhi.

Di antara ulama yang mewajibkan adzan adalah Imam Malik – salah satu pendapatnya, dan ia mengkhususkan kewajiban adzan di masjid yang didirikan shalat berjamaah –, Ahmad, dan salah satu dari pendapat ulama Syafi’iyah. Ini juga pendapat Atha’, Mujahid, Al_Auza’i, Dawud, dan Ibnu Hazm, serta pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundhir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [Lihat Kitab Al_Inshaf (I/407), Mawahib Al_Jalil (I/422), dan Raudhah Ath_Thalibin (I/195), Al_Ausath (III/24), Majmu’ Fatawa (XXII/64), dan As_Sail Al_Jarar (I/196)]

Sementara Imam Abu Hanifah dan Asy_Syafe’i – ini juga salah satu pendapat Imam Malik – bahwa adzan hukumnya sunnah muakkad.

Penulis berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa pendapat yang paling rajih (kuat) adalah pendapat pertama. Yaitu hukum adzan adalah fardhu kifayah atau wajib. Kemudian pendapat Hanafiyah – yang berpendapat bahwa adzan adalah sunnah – secara tegas menyatakan bahwa kesunnahannya seperti wajib berdosa bila meninggalkannya.” Wallahu ‘alam

 

Keutamaan Adzan


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Keutamaan Adzan

Abu Malik Kamal bin As_Sayyid Salim dalam Kitab Shahih Fiqih Sunnah mengatakan bahwa di antara keutamaan-keutamaan adzan adalah:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda, ”Apabila adzan shalat dikumandangkan, maka setan akan lari terkentut-kentut hingga ia tidak mendengar suara adzan. Apabila adzan selesai, ia kembali. Jika iqamah dikumandangkan, ia lari dan kembali lagi ketika iqamah selesai. Lantas ia membisikan di benak seseorang yang sedang shalat, ’Ingatlah ini dan ingatlah itu!’ terhadap seseuatu yang tidak ia ingat. Hingga akhirnya seseorang tidak lagi mengetahui berapa rakaat yang telah ia kerjakan.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Al_Bukhari dan Muslim]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda, ”Sekiranya orang-orang mengetahui keutamaan yang terdapat dalam adzan dan shaf pertama kemudian hal tersebut hanya dapat diraih dengan mengundi, niscaya mereka akan mengundinya. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan at_tahjir (mengerjakan shalat di awal waktu), niscaya mereka akan berlomba mengerjakannya. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan shalat ’Atamah (Isya’) dan Shubuh, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun harus merangkak.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Imam sebagai penjamin dan muadzin sebagai orang yang diberi amanah, maka Allah memberi petunjuk kepada para imam dan memberi ampunan untuk para muadzin.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, At_Tirmidzi, dan Ahmad. Lihat Al_Albani, Al_Irwa’ Al_Ghalil (I/231)]