Shalat Jenazah


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Seputar Shalat Jenazah

Pengertian Shalat Jenazah

Shalat jenazah adalah shalat yang dikerjakan dengan empat kali takbir. Setelah takbir pertama, dilanjutkan dengan membaca surat Al_Fatihah. Setelah takbir kedua, membaca shalawat ke atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah takbir ketiga, membacakan doa untuk jenazah. Setelah itu dilakukan takbir keempat dan diakhiri dengan salam.

Shalat jenazah dilakukan manakala jenazah masih ada dan belum dimakamkan. Apabila jenazah tidak ada atau sudah dimakamkan, maka shalat yang dilakukan disebut Shalat Ghaib.

 

Hukum Shalat Jenazah

Shalat jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah, maksudnya suatu kewajiban kolektif. Apabila sudah ada di antara kaum muslimin yang mengerjakan atau mewakili, maka kewajiban muslim yang lainnya menjadi gugur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatkanlah orang yang meninggal.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah]

Kemudian dari Salamah binti Akwa’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba_tiba ada orang membawa jenazah lalu beliau bersabda: Shalatilah teman kalian itu.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari]

 

Keutamaan Shalat Jenazah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menyaksikan jenazah dan ikut menshalatinya, dia mendapat (pahala) satu qirat. Siapa yang menyaksikannya sampai dikuburkan, dia mendapat (pahala) dua qirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, Apakah dua qirat itu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Seperti dua buah gunung yang besar.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

Sebelum kita membahas libih jauh tentang kaifat atau tata cara shalat jenazah, maka perlu kita pahami bersama terlebih dahulu bahwa sebelum jenazah dishalatkan, kondisi jenazah harus sudah disucikan dan dikafankan. Untuk  mengupas berbagai hal yang perlu diketahui sebelum shalat jenazah tersebut, maka pembahasan ini kita mulai dari perbuatan yang harus dilakukan terhadap orang yang sakit sebelum ajal menjemput.

 

Tata Cara Mendampingi Seseorang Menghadapi Sakratulmaut

1.  Bagi orang yang hampir meninggal dunia, disunnahkan untuk diajari meng-ucapkan tahlil, yaitu kalimat “Laa ilaaha illallahu.” yang artinya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ajarkanlah kalimat Laa ilaaha illallahu (kepada orang yang hampir meninggal di antara kamu.” [Hadits shahih, diriwayat-kan oleh Muslim]

2.  Menghadapkan orang yang hampir meninggal dunia ke arah kiblat.


Tata Cara Merawat Jenazah Sebelum Dikuburkan

1.  Memejamkan matanya

2.  Memandikan jenazah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Mandikanlah dia (anak perempuan Nabu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) tiga kali atau lima kali atau lebih banyak dari itu, jika kalian memandang perlu.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

3.  Mengkafankan jenazah. Berdasarkan riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam difafani dalam tiga lembar kain putih bersih, tidak ada padanya baju dan tidak pula sorban. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukahri dan Muslim]

3.  Diberi farfum atau kapur barus, bunga, atau yang lainnya (wewangian). rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian memberi parfum pada mayat, beri parfum tiga kali.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Al_Hakim]

4.  Dishalatkan

5.  Dimakamkan/dikuburkan


Syarat_Syarat Shalat Jenazah

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam shalat jenazah. Adapun syarat_syarat shalat jenazah adalah sebagai berikut:

  1. Menutup aurat
  2. Suci dari hadats dan najis
  3. Menghadap kiblat
  4. Jenazah telah dimandikan dan dikafani
  5. Letak jenazah di sebelah kiblat orang yang menshalatkan.

 

Rukun_Rukun Shalat Jenazah

Rukun_rukun shalat jenazah adalah segala sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan shalat jenazah. Jika salah satu di antaranya tidak ada, maka shalat jenazahnya tidak sah. Adapun rukun_rukun khuthbah Jum’at adalah sebagai berikut:

  1. Niat shalat jenazah dalam hati farudhu kifayah karena Allah Ta’ala.
  2. Berdiri bagi yang mampu berdiri
  3. Takbiratul ihram: Allahu akbar
  4. Membaca surat Al_Fatihah

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di hari Pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [QS. Al_Fatihah (1): 1-7]

1.  Takbir (kedua): Allahu akbar

2.  Membaca shalawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

”Allahumma shalliy ’alaa Muhammad wa ’alaa aali Muhammad,” yang artinya Ya Allah limpahkanlah kemurahan kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3.  Takbir (ketiga): Allahu akbar

4.  Membaca doa untuk jenazah

“Allahummagh firlahu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu,” yang artinya Ya Allah ampunilah dia dan kasihanilah dia. Sejahterakanlah dia dan maafkan-lah kesalahannya.

5.  Takbir keempat: Allahu akabar

6.  Membaca doa untuk diri sendiri dan jenazah

“Allahumma laa tahrimnaa ajrohu wa laa taftinnaa ba’dahu waghfirlanaa wa lahu,” yang artinya Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kami sebagai penghalang bagi dia untuk mendapatkan pahalanya dan janganlah Engkau beri kami fitnah sepeninggalannya dan ampunilah kami dan dia.

7.  Membaca salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri:

“Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh,” yang artinya keselamat-an dan rahmat Allah atas kalian dan barakah_Nya.

 

Tata Cara Shalat Jenazah

Dalam melaksanakan shalat jenazah terdapat beberapa aturan yang harus diperhatikan sebagai berikut :

  1. Apabila jenazah ada di tempat shalat, maka cara menshalatkannya adalah sebagai berikut:
  • Jenazah diletakkan di depan orang yang menshalatkan atau di depan imam
  • Jika jenazah laki_laki, maka imam sejajar dengan kepala jenazah
  • Jika jenazah perempuan, maka imam berdiri sejajar dengan tengah-tengah badan jenazah
  • Apabila jenazah lebih dari satu, maka boleh dishalatkan sendiri_sendiri dan bersama_sama dengan ketentuan jenazah laki_laki diletakkan lebih dekat dengan imam dan jenazah perempuan diletakkan lebih dekat dengan arah kiblat
  1. Apabila jenazah tidak ada karena berada di tempat lain, maka kita tetap boleh menshalatkan jenazah tersebut. Shalat seperti ini disebut shalat ghaib. Rukunnya sama seperti shalat jenazah biasa dan wajib menghadap ke arah kiblat.
  2. Shalat ghaib di atas kubur hukumnya mubah (boleh). Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke suatu kubur yang masih basah, kemudian menshalatkannya dan mereka (para sahabat) berbaris di belakang beliau dan bertakbir empat kali.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
  3. Urutan pelaksanaan shalat jenazah dikerjakan secara tertib

 

Perbedaan Ulama dalam Shalat Jenazah

Mengenai mengangkat tangan sewaktu takbir pada shalat jenazah terdapat perbedaan pendapat para ulama. Segolongan ulama berpendapat bahwa sewak-tu takbir tidak perlu mengangkat tangan, sedangkan fuqaha (ahli fiqih) yang lain berpendapat bahwa perlu mengangkat tangan.

Pendapat kedua di atas berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada shalat jenazah, maka beliau mengangkat kedua tangannya pada pemulaan takbir dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” [Hadits ini diriwayat-kan oleh At_Tirmidzi]

Sedangkan dalam hal bacaan shalat jenazah, tidak terdapat bacaan Alquran melainkan hanya doa. Imam Malik berkata, “Bahwa membaca Al_Fatihah dalam shalat jenazah tidak diamalkan sama sekali di negeri kami, melainkan memuja dan memuji Allah sesudah takbir pertama, kemudian membaca shalawat atas Nabi sesudah takbir yang kedua, kemudian mendoakan mayat sesudah takbir  ketiga, lalu mengucapkan salam sesudah takbir keempat.” [Lihat Nor Hadi, Ayo Memahami Fikih untuk MTs/SMP Islam Kelas VII, (Jakarta: Erlangga, 2008), hal. 104]

Berdasarkan perkataan Imam Malik di atas, maka hukum membaca surat Al_Fatihah dalam shalat jenazah adalah sunnah. Hal ini berdasarkan riwayat dari Thalhah dari Abdullah bin Auf radhiyallahu ‘anhu: “Aku pernah shalat dibelakang Ibnu Abbas, maka dia membaca surat Al_Fatihah. Usai shalat dia berkata, Ketahuilah olehmu bahwa yang demikian itu adalah sunnah.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari]

Namun pendapat lain menyebutkan bahwa membaca surat Al_Fatihah dalam shalat adalah wajib hukumnya, termasuk dalam shalat jenazah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat kecuali dengan membaca Al_Fatihah. ” [Hadits shahih ]

 

Adab_Adab Ta’ziyah (Bela Sungkawa), Shalat Jenazah, dan Tata Cara Penguburannya

1.  Dianjurkan untuk ta’ziyah (belasungkawa) terhadap keluarga yang tertimpa musibah (kematian). Lafaz ta’ziyah yang paling utama yang berasal dari sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bersabarlah dan berharaplah pahala dari Allah, sesungguhnya adalah hak Allah mengambil dan memberikan sesuatu, segala sesuatu di sisi_Nya ada batas waktu yang telah ditentukan.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

Ta’ziyah adalah menyuruh bersabar, membuat keluarga mayit terhibur dan bersabar dengan sesuatu yang bisa meringankan musibah yang mereka alami dan mengurangi kesdihan mereka. [Lihat Syaikh Abu Bakar Jabir Al_Jazairi, Minhaajul Muslim, hal. 305]

Perintah berta’ziyah ini sebagaimana hadits, “Tidaklah seorang mukmin ta’ziyah (berbelasungkawa) kepada saudaranya karena suatu musibah, melainkan Allah Yang Mahasuci memberinya pakaian dari pakaian_pakaian kemuliaan di hari Kiamat.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah]

2.  Tidak selayaknya berta’ziyah dengan ucapan turut berduka cita di koran, surat kabar, majalah dan media informasi lainnya. Hal itu tidak pantas karena termasuk pemberitahuan kematian yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena maksud dari ta’ziyah tersebut untuk menyebarkan, mempublikasikan atau mengumumkan kematiannya.

3.  Diperbolehkan untuk melakukan safar (perjalanan) dalam rangka untuk ta’ziyah bagi orang yang sangat dekat hubungannya dengan si mayit, ditambah lagi apabila ia tidak pergi untuk berta’ziyah akan dianggap memutuskan silaturrahim.

4.  Tidak mengapa mengabarkan kepada khalayak ramai bahwa seseorang telah meninggal dan akan dishalatkan pada tempat tertentu. Hal ini sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kematian An_Najasy (raja Najasyi) dan beliau memerintahkan sahabatnya supaya keluar ke tanah lapang kemudian mereka menshalatkannya.

5.  Tidak disyariatkan mengucapkan doa istiftah (iftitah) pada shalat jenazah, karena shalat jenazah adalah shalat yang dikerjakan atas dasar sifat yang ringkas dan cepat sehingga shalat tersebut tidak ada doa istiftahnya.

6.  Apabila salah seorang keluarga terdekat mayit mengetahui bahawa si mayit tidak shalat karena mengingkarinya, maka tidak boleh meminta kaum muslimin untuk menshalatkannya, karena ia telah memberikan orang kafir kepada kaum muslimin untuk dishalatkan. Di samping itu, shalat yang dilakukan kaum muslimin tidak akan bermanfaat bagi mayit tersebut. Dan juga tidak boleh menguburkan mayit tersebut di perkuburan kaum muslimin.

7.  Shalatnya seorang perempuan atas mayit di dalam rumahnya, maka itu lebih baik daripada menshalatkannya di masjid, jika ia termasuk salah satu dari anggota keluarga mayit tersebut. Namun tidak mengapa apabila ia keluar rumah dan menshalatkannya bersama kaum muslimin.

8.  Dianjurkan untuk menyegerakan mengurus mayit. Berdasarkan hadits, “Bersegeralah dalam mengurus jenazah, karena jika ia baik, maka engkau telah melakukan suatu kebaikan dan jika tidak, maka engkau telah membuang sesuatu kejelekkan dari lehermu.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari hadits no. 1315 dan Muslim hadits no. 944]

9.  Tidak sepatutnya menunda_nunda dalam mengurus jenazah hanya dengan alasan agar sebagian anggota keluarga dapat menghadiri pemakaman si mayit, kecuali jika hanya sebentar. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menshalatkan seorang wanita (yang biasa membersihkan masjid Nabi) di kuburannya, dimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diberitahu tentang kematian wanita tersebut, maka beliau berkata (kepada para sahabatnya), “Tunjukkanlah padaku makamnya.” Lalu mereka menunjukkannyya kemudian beliau menshalatkannya di kuburannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 458 dan Muslim hadits no. 956]

10.  Bukan termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan pula termasuk sunnah Khulafaur Rasyidin melakukan doa berjama’ah di sisi kuburan yang dipimpin oleh satu orang dan diaminkan banyak orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memberikan petunjuk kepada orang_orang (yang mengantar jenazah) untuk memintakan ampunan bagi mayit dan memohon baginya keteguhan. Dan hal ini di lakukan sendiri-sendiri bukan secara bersama_sama.

11.  Dianjurkan dengan kesepakatan para ulama untuk menutup jenazah perempuan dengan mantel atau kain yang tebal ketika menurunkannya ke liang lahat supaya tidak terlihat orang, karena bisa jadi apabila tidak memakai mantel atau kain penutup ketika menurunkannya ke liang lahat, kain kafannya lepas sehingga auratnya dapat tersingkap.

12.  Tidak disyari’atkan untuk mengkhususkan berpakaian tertentu ketika berta’ziyah seperti mengkhususkan warna hitam, bahkan ini termasuk perbuatan bid’ah (mengada_ada) dan terkadang hal tersebut dapat menyebabkan manusia tidak rela terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah Ta’ala.

13.  Tidak diperbolehkan berta’ziyah kepada ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) atau orang kafir lainnya ketika ada keluarga mereka yang meninggal, tidak boleh menghadiri jenazahnya maupun mengiringinya ke kubur.

14.  Diperbolehkan untuk menerima ta’ziyah dari ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) atau orang kafir lainnya ketika seorang muslim meninggal dunia dan mendo’akan mereka agar mendapatkan hidayah. [Lihat kitab Fataawaa At_Ta’ziyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al_’Utsaimin]

Shalat Jamak Qashar


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Shalat Jamak Qashar

Pengertian Jama’ Qashar

Shalat jama’ qashar adalah menggabungkan atau mengumpulkan dua shalat fardhu dalam satu waktu, sekaligus meringkas rakaatnya yang semula empat rakaat menjadi dua rakaat, karena adanya sebab dan syarat_syarat tertentu.

Dasar Hukum Shalat Jama’ Qashar

Allah subahanahu wa ta’ala berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [QS. Al_Baqarah (2): 185]

Kemudian, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At_Tirmidzi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama’ qashar shalat maghrib tiga rakaat dan isya dua rakaat dengan satu kali iqamah. [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At_Tirmidzi]

Hukum Shalat Jama’ Qashar

Menurut imam Asy_Syafe’i bahwa hukum shalat jama’ qashar adalah mubah (boleh) bagi musafir, jika memenuhi syarat_syarat tertentu. Mengenai syyarat_syarat sahnyya shalat jama’ qashar adalah sama seperti syarat_syarat shalat qashar. [Lihat Achmadi Wahid dan Masrun, Pendidikan Agama Islam untuk SMP Kelas VII, (Jakarta: Ganeca Exact, 2007), hal. 129]

Tata Cara Shalat Jama’ Qashar

Shalat jama’ qashar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu shalat qashar dengan jama’ taqdim dan shalat qashar dengan jama’ ta’khir

1.  Praktik shalat qshar dengan jama’ taqdim

Untuk pasangan shalat zhuhur dan ashar, maka dikerjakan shalat zhuhur terlebih dahulu sebanyak dua rakaat, kemudian dilanjutkan dengan shalat ashar dua rakaat yang dikerjakan pada waktu zhuhur.

Untuk pasangan shalat maghrib dan isya’, maka dikerjakan shalat maghrib terlebih dahulu sebanyak tiga rakaat (karena shalat maghrib tidak bisa diqashar), kemudian shalat isya dua rakaat yang dikerjakan pada waktu maghrib.

2.  Praktik shalat qshar dengan jama’ ta’khir

Untuk pasangan shalat zhuhur dan ashar, maka dikerjakan shalat zhuhur terlebih dahulu sebanyak dua rakaat, kemudian dilanjutkan dengan shalat ashar dua rakaat yang dikerjakan pada waktu ashar.

Untuk pasangan shalat maghrib dan isya’, maka dikerjakan shalat maghrib terlebih dahulu sebanyak tiga rakaat (karena shalat maghrib tidak bisa diqashar), kemudian shalat isya dua rakaat yang dikerjakan pada waktu isya.

Fungsi Shalat Jama’, Qashar, dan Jama’ Qashar dalam Kehidupan

Adanya rukhshah (keringanan) dalam mengerjakan shalat pada saat tertentu, baik pada waktu sakit maupun dalam perjalanan mengandung beberapa hikmah dalam kehidupan sebagai berikut :

1.  Menunjukkan dan membuktikan adanya kemurahan Allah Ta’ala terhadap hamba_hamba_Nya. Hal ini membuktikan bahwa Islam memberikan ajaran agama yang memiliki daya fleksibel dan elastis sehingga mudah untuk diamalkan.

2.  Memberikan keringanan kepada umat manusia agar suatu ibadah tidak dirasakan memberatkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam surat Al_Baqarah ayat 185 yang berbunyi :

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. [QS. Al_Baqarah (2): 185]

3.  Mempertegas bahwa kewajiban shalat itu harus dikerjakan meskipun dalam keadaan sulit sekalipun.

4.  Menunjukkan kebenaran ajaran Islam sehingga dapat menimbulkan suatu keyakinan yang kuat bahwa Islam mampu memecahkan masalah dan kesulitan hidup. Itulah sebabnya dalam keadaan tertentu, shalat dapat dikerjakan menurut kemampuannya masing_masing, baik dengan duduk, berbaring, maupun dengan isyarat

Shalat Qashar


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Shalat Qashar

Pengertian Shalat Qashar

Qashar berasal dari kata “qashru” artinya memendekkan atau meringkas, maksudnya adalah meringkas jumlah bilangan rakaat shalat. Adapun shalat maghrib dan shalat shubuh tidak bisa diqashar, karena shalat maghrib terdiri dari tiga rakaat dan shalat shubuh terdiri dari dua rakaat. Dengan demikian, shalat yang dapat diqashar adalah shalat zhuhur, ashar, dan isya’ yang masing_masing empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat.

Hukum Shalat Qashar

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesung-guhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” [QS. An_Nisa’ (4): 101]

Menurut pendapat Jumhur arti qashar di sini adalah shalat yang empat rakaat dijadikan dua rakaat. Mengqashar di sini ada kalanya dengan mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2, yaitu di waktu bepergian dalam keadaan aman dan ada kalanya dengan meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat itu, yaitu di waktu dalam perjalanan dalam keadaan khauf. dan ada kalanya lagi meringankan rukun-rukun yang 4 rakaat dalam keadaan khauf di waktu hadhar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat qashar adalah sedekah yang disedekahkan oleh Allah kepada kalian, maka terimalah sedekah_Nya.” [Hadits shahih, diriwayat oleh Muslim]

Berdasarkan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas, maka mengqashar shalat dalam perjalanan atau dalam keadaan khauf (takut) ketika perang adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sunnah muakkadah, karena setiap kali beliau bepergian maka beliau mengqashar shalat bersama sahabat_sahabatnya.

Sebab Dibolehkannya Mengqashar Shalat

Penyebab dibolehkannya mengqashar shalat adalah sama dengan sebab yang membolehkan menjama’ shalat. Misalnya, karena perjalanan, sakit, dan lainnya

Jarak Disunnahkannya Shalat Qashar

  • Dalam pelaksanaan shalat qashar ketentuan jarak tempu bagi musafir lebih kurang 48 mil, sedangkan berdasarkan hasil ijtihad para ulama kurang lebih 81 KM sebagai jarak minimal untuk mengqashar shalat. Oleh karena itu, barangsiapa bepergian pada jarak tersebut untuk tidak maksiat kepada Allah Ta’ala, maka ia disunnahkan mengqashar shalat dengan mengerjakan shalat zhuhur, ashar, dan isya’ dua rakaat.
  • Bepergin bukan untuk maksiat.
  • Shalat yang boleh diqashar hanya shalat yang rakaatnya empat.
  • Tidak bermakmum pada imam yang tidak mengqashar shalat.
  • Berniat mengqashar shalat pada takbiratul ihram atau pada shalat pertama.
  • Shalat dilakukan dalam keadaan musafir
  • Mengetahui bahwa ia boleh mengqashar shalat.

Tata Cara Shalar Qashar

Ada beberapa perbedaan dalam tata cara shalat qashar dibandingkan dengan shalat biasa. Perbedaan tersebut antara lain: dari segi niatnya; jumlah rakaatnya diringkas – dari empat rakaat menjadi dua rakaat –; dan dari segi lain tidak ada tasyahud awal. Adapun untuk gerakkan dan bacaannya tetap sama dengan shalat biasa.

Secara berurutan tata cara melaksanakan shalat qashar adalah sebagai berikut :

  • Diawali dengan niat mengqashar shalat dalam hati.
  • Jumlah rakaat diringkas, yaitu emapat rakaat menjadi dua rakaat.
  • Tidak ada tasyahud awal.
  • Tasyahud dibaca pada akhir rakaat ke dua.
  • Salam

Shalat Jama’


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Shalat Jama’

Pengertian Shalat Jama’

Shalat jama’ menurut etimologi (bahasa) adalah mengumpulkan atau mengga-bungkan shalat. Sedangkan menurut terminologi (istilah) Islam adalah dua waktu shalat fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu, karena adanya sebab_sebab dan syarat_syarat tertentu

Hukum Melaksanakan Shalat Jama’

Hukum shalat jama’ adalah mubah (boleh). Artinya shalat jama’ adalah keringan-an dari Allah subhanahu wa ta’ala yang diperbolehkan.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Anas, ia berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bepergian sebelum matahari tergelincir, maka ia mengakhirkan shalat zhuhur sampai waktu ashar, kemudia ia berhenti lalu menjama’ antara dua shalat tersebut, tetapi apabila matahari telah tergelincir sebelum ia pergi, maka ia shalat zhuhur (dahulu), kemudian naik (kendaraannya) ” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

Sebab_Sebab Diperbolehkannya Shalat Jama’

  • Pada saat seseorang bepergian dan kondisi di perjalanan tidak memungkinkannya shalat sesuai waktunya. Misalnya, karena kendaraan hanya berhenti pada waktu shalat zhuhur, sehingga seorang musafir diperbolehkan menjama’ shalat zhuhur dan shalat ashar.
  • Pada saat seseorang sakit sehingga kondisinya tidak memungkinkannya shalat fardhu sesuai waktunya.
  • Pada saat seseorang Muslim dihadapkan pada kondisi yang sangat sulit. Misalnya, jiwa, harta, dan kehormatannya terancam
  • Pada saat seseorang melakukan pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan. Misalnya, seorang penjaga pintu lintas kereta api.
  • Pada saat cuaca sangat buruk. Misalnya, turun hujan deras diserta angin kencang sehingga menghalangi seseorang pergi ke masjid. Berdasarkan hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat maghrib dan Isya’ ketika hujan turun deras pada malam tersebut.

Ajaran Islam tidak menyulitkan umatnya dalam beribadah. Berdasarkan sebuah riwayat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat di tempat (tidak bepergian) dan tidak karena turun hujan. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat zhuhur dan ashar sekaligus di Madinah, padahal beliau tidak sedang dalam keadaan takut karena berperang atau dalam keadaan bepergian.” Abu Zubair berkata, ‘Penah aku tanyakan hal itu kepada Said kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat demikian?’ Said menjawab, ‘Pertanyaanmu itu pernah aku ajukan kepada Ibnu Abbas dan ia menjawab: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud tidak hendak menyusahkan seorang pun dari umatnya.’  [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]

Macam_Macam Shalat Jama’

  1. Shalat Jama’ Taqdim adalah mengumpulkan atau menggabungkan dua waktu shalat dan dikerjakan di awal waktu atau pada waktu shalat pertama.
  2. Shalat Jama’ Ta’khir adalah mengumpulkan dua waktu shalat dan dikerja-kan di akhir waktu atau pada waktu shalat yang kedua.

Ketentuan_Ketentuan Shalat Jama’ Taqdim

  • Niat shalat jama’ taqdim diniatkan pada shalat yang pertama
  • Dikerjakan dengan tertib sesuai dengan urutan waktu shalat. Misalnya, shalat zhuhur kemudian shalat ashar atau shalat maghrib terlebih dahulu kemudian shalat isya’.
  • Perjalanan tersebut merupakan perjalanan yang diperbolehkan dalam syariat Islam.
  • Berurutan antara keduanya dan tidak boleh disatukan dengan perbuatan lainnya.

Ketentuan_Ketentuan Shalat Jama’ Ta’khir

  • Niat shalat jama’ ta’khir diniatkan pada shalat yang pertama.
  • Masuknya shalat yang kedua masih dalam perjalanan.
  • Seseorang dapat menajama’ shalat jika menempuh perjalanan berjarak minimal 16 farsha atau 80,64 KM atau jika dibulatkan menjadi 81 KM.

Tata Cara Melaksnakan Shalat Jama’

Tata cara mengerjakannya adalah sebagai berikut: Misalnya seorang musafir mengumpulkan dua waktu shalat menjadi satu waktu, baik sebelum maupun sesudahnya.

Seseorang mengumpulkan shalat zhuhur dan ashar, kemudian mengerjakannya di waktu shalat zhuhur, maka cara ini disebut jama’ taqdim. Apabila mengerjakan dua waktu shalat tersebut di akhir waktu, yaitu shalat zhuhur dikerjakan pada waktu shalat ashar, maka cara ini disebut jama’ ta’khir.

Atau shalat maghrib dan shalat isya’ dapat dikerjakan dengan cara jama’ taqdim, yaitu mengumpulkan keduanya di waktu shalat maghrib, atau dengan jama’ ta’khir, yaitu mengerjakannya di waktu shalat isya’.

Perhatikan tabel pelaksanaan shalat jama’ sebagai berikut :

Shalat Jama’ Taqdim Shalat Jama’ Ta’khir
Shalat Waktu Shalat Waktu
Zhuhur – Ashar Zhuhur Zhuhur – Ashar Ashar
Maghrib – Isya Maghrib Maghrib – Isya Isya’

 

Shalat dan Khuthbah Jum’at


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Pengertian Shalat Jum’at

Shalat Jum’at adalah shalat wajib sebanyak dua rakaat yang dilaksanakan se-sudah khuthbah dalam waktu zhuhur pada hari Jum’at secara berjama’ah.

Hukum Shalat Jum’at

Hukum pelaksanaan shalat Jum’at adalah fardhu ‘ain bagi laki_laki muslim yang tidak ada udzur yang dibenarkan dalam syari’at Islam. Dengan demikian, shalat Jum’at tidak wajib atas perempuan, anak_anak, hamba sahaya, orang sakit, dan orang_orang yang dalam perjalanan (musafir).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [QS. Al_Jumu’ah (62): 9]

Bentuk perintah pada ayat di atas, mengisyaratkan bahwa shalat Jum’at hukum-nya adalah wajib dilaksanakan. Keterangan lain disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits berikut:

Shalat Jum’at itu hak yang wajib atas tiap_tiap orang Islam dengan berjama’ah, kecuali empat golongan, yaitu: hamba sahaya, perempuan, anak_anak dan orang sakit.  [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al_Hakim]

Hadits di atas juga menjelaskan bahwa kewajiban melaksanbakan shalat Jum’at adalah benar adanya (hak), kecuali empat kelompok di atas. Karena wajibnya shalat Jum’at tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menandaskan dalam hadits yang lain: ”Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at  karena sifat malas semata_mata, niscaya Allah mencap dan menutup hati orang itu.” [Hadits ini diriwayatkan oleh lima ahli hadits]

Keutamaan Shalat Jum’at

Orang yang menghadiri pelaksanaan shalat Jum’at mempunyai keutamaan berdasarkan kehadirannya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Pada hari Jum’at para malaikat berada di setiap pintu masjid. Mereka menulis orang yang datang awal sebagai orang yang awal. Ketika imam duduk (di atas mimbar), mereka menutup buku dan mulai mendengarkan khuthbah.” [Hadits  shahih diriwayatkan oleh Al_Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu,]

Syarat Wajib Shalat Jum’at

Syarat wajib maksudnya adalah ketentuan yang menyebabkan seseorang diwajibkan melaksanakan shalat Jum’at. Adapun yang termasuk syarat wajib shalat Jum’at adalah:

  1. Islam, maka tidak wajib bagi orang yang tidak beragama Islam.
  2. Baligh (dewasa), maksudnya wajib bagi orang_orang yang sudah cukup umur, sehingga tidak wajib bagi anak_anak.
  3. Barakal sehat, maka orang yang tidak sehat akalnya tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at
  4. Laki_laki, artinya tidak wajib bagi perempuan.
  5. Sehat, maka tidak wajib bagi orang yang tidak mampu melaksanakannya karena sakit.
  6. Bermukim, artinya menetap di kotanya sendiri atau di kampungnya sendiri. Jika sedang berada dalam perjalanan (musafir), maka dia tidak wajib mengerjakan shalat Jum’at, tetapi wajib mengerjakan shalat zhuhur.
  7. Tidak udzur, artinya orang yang sudah tua renta tidak mampu lagi berjalan ke masjid untuk shalat Jum’at berjama’ah, maka tidak wajib baginya melaksnakan shalat Jum’at.

Syarat Sah Shalat Jum’at

Syarat sah maksudnya adalah sesuatu yang harus dipenuhi dalam melaksanakan shalat Jum’at. Adapun syarat sah shalat Jum’at adalah sebagai berikut:

  1. Dilaksanakan pada waktu zhuhur, pada hari Jum’at.
  2. Didahului dengan dua khuthbah
  3. Dilaksanakan di tempat yang tetap, artinya tempat tersebut jelas sehingga tidak menyulitkan jama’ah untuk melaksanakan shalat Jum’at.
  4. Dilaksanakan sebagaimana shalat lainnya dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
  5. Dilaksanakan secara berjama’ah. Mengenai ketentuan jumlah jama’ah, di kalangan ulama’ terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat sekurang_kurangnya 40 orang, ada juga yang berpendapat dua orang saja sudah cukup, karena dua orang juga sudah termasuk berjama’ah.

Penulis berkata, ”Sepengetahuan penulis sejauh ini bahwa pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah pendapat kedua yang berpendapat shalat Jum’ah tetap sah walaupun hanya dihadiri oleh dua orang saja, karena dua orang saja sudah termasuk berjama’ah.”

Sunnah_Sunnah Shalat Jum’at

Yang dimaksud dengan sunnah_sunnah shalat Jum’at adalah beberapa jenis perbuatan yang disunnahkan untuk dilakukan sebagai bentuk ibadah tambahan. Ibadah atau perbuatan ini dilakukan sebelum berangkat shalat Jum’at atau ketika berada di dalam masjid sebelum khuthbah dimulai. Adapun beberapa sunnah – sunnah shalat Jum’at adalah sebagai berikut:

  1. Mandi wajib sebelum berangkat ke masjid. Maksudnya mandi wajib tapi hukumnya adalah sunnah.
  2. Berhias dengan memakai pakaian yang terbaik, disunnahkan berwarna putih atau polos.
  3. Memakai harum_haruman (wangi_wangian)
  4. Memotong kuku, kumis bagi laki_laki, dan menyisir rambut dengan rapi.
  5. Bersegera menuju ke masjid, maksudnya tidak menunda_nunda waktu.
  6. Membaca Alquran atau berdzikir sebelum khuthbah dimulai.
  7. Memenuhi shaf  (barisan) bagian depan atau yang masih kosong.
  8. Melaksanakan shalat sunnah Tahiyyatul Masjid sebanyak dua rakaat sebe-lum duduk.

Beberapa sunnah_sunnah shalat Jum’at di atas, dimaksudkan sebagai ibadah tambahan dan sangat baik untuk istiqamah dilakukan, karena selain mendapat pahada di sisi Allah Ta’ala sekaligus sebagai amalan ibadah shalat Jum’at. Dengan badan yang bersih, pakaian yang rapi, dan badan yang wangi, di-harapkan dapat menambah kekhusyu’an dan kenyamanan dalam melaksanakan shalat Jum’at. Manfaat yang dirasakan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang yang ada di dekatnya.

Hal_Hal yang Menghalangi Melaksanakan Shalat Jum’at

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hukum shalat Jum’at adalah wajib, namun jika ada hal_hal yang menglangi seseorang sehingga menyebabkan kesulitan melaksnakan shalat Jum’at, maka kewajiban tersebut dapat ditinggalkan. Tetapi orang tersebut tetap berkewajiban melaksanakan shalat zhuhur. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Shalat Jum’at itu hak yang wajib atas tiap_tiap orang Islam dengan berjama’ah, kecuali empat golongan, yaitu: hamba sahaya, perempuan, anak_anak dan orang sakit.”  [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al_Hakim]

Berdasarkan hadits di atas, maka hal_hal yang menghalangi seseorang melaksa-nakan shalat Jum’at adalah sebagai berikut:

  1. Hamba sahaya.
  2. Perempuan.
  3. Anak_anak
  4. Orang sakit

Selain keempat hal di atas, bagi orang yang sedang bepergian (musafir) boleh meninggalkan shalat Jum’at, tetapi tetap melaksanakan shalat Jum’at.

 

Ketentuan Khuthbah Jum’at

Fungsi khuthbah Jum’at adalah memberikan peringatan agar senantiasa meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan segala perintah_Nya dan menjauhi segala larangan_Nya sesuai dengan tuntunan Rasul-ullah shalallalahu ’alaihi wa sallam.

Ada beberapa syarat dan rukun khuthbah yang harus dipenuhi. Jika ketentuan-ketentuan khuthbah tersebut tidak terpenuhi, maka khuthbahnya tidak sah. Begitu juga dengan shalat Jum’atnya menjadi tidak sah, karena khuthbah men-jadi syarat sahnya shalat Jum’at.

Syarat_Syarat Khuthbah Jum’at

Nor Hadi dalam bukunya, Ayo Memahami Fikih mengatakan bahwa syarat_syarat khuthbah Jum’at adalah sebagai berikut:

  1. Khuthbah dimulai setelah masuk waktu zhuhur.
  2. Dilakukan dengan berdiri, jika mampu.
  3. Duduk di antara dua khuthbah, sekurang_kurangnya berhenti sebentar.
  4. Dilakukan secara urut, rukunnya, khuthbah pertama dan khuthbah kedua dilakukan sebelum shalat Jum’at.
  5. Khuthbah diucapkan dengan suara yang keras, maksudnya terdengar oleh jama’ah.
  6. Khotib dalam keadaan suci dari hadats dan najis.
  7. Menutup aurat.

Rukun_Rukun Khuthbah Jum’at

Rukun_rukun khuthbah Jum’at adalah segala sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan khuthbah. Jika salah satu di antaranya tidak ada, maka khuthbah-nya tidak sah. Adapun rukun_rukun khuthbah Jum’at adalah sebagai berikut:

  1. Mengucapkan hamdalah (pujian) kepada Allah Ta’ala, pada permulaan khuthbah. Misalnya: Alhamdulillah….. dan seterusnya.
  2. Membaca shalawat atas Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Misalnya: Allahumma shalli ’ala Muhammad….. dan seterusnya.
  3. Membaca dua kalimat syahadat.
  4. Berwasiat untuk bertaqwa, dan memberi nasehat_nasehat yang bermanfaat.
  5. Membaca ayat Alquran pada salah satu dari dua khuthbah.
  6. Berdoa untuk kaum mukminin pada khuthbah yang kedua.

Sunnah_Sunnah Khuthbah

Mohammad Fauzi, A.G., dalam bukunya Pendidikan Agama Islam mengatakan bahwa sunnah_sunnah khuthbah Jum’at adalah sebagai berikut:

  1. Tempat berkhuthbah agak lebih tinggi seperti mimbar podium.
  2. Seorang khotib hendaklah yang fasih bacaannya.
  3. Memberi salam setelah naik mimbar.
  4. Duduk setelah memberi salam.
  5. Menertibkan rukun khuthbah yang tiga, dimulai dengan tahmid, shalawat, kemudian wasiat.
  6. Membaca surat Al_Ikhlash pada saat duduk antara dua khuthbah.
  7. Tidak lengah pada waktu khuthbah.
  8. Menggunakan bahasa Arab.
  9. Khuthbah tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang.

 

Mempraktikkan Shalat Jum’at

  1. Sebelum shalat Jum’at dilaksanakan, terlebih dahulu harus dipenuhi ketentuan_ketentuan shalat Jum’at, antara lain syarat sah dan syarat wajib shalat Jum’at.
  2. Setelah waktu shalat telah tiba, khatib naik mimbat mengucapkan salam kepada jama’ah.
  3. Muadzin mengumandangkan adzan.
  4. Khatib membacakan khuthbahnya.
  5. Ketika khatib sedang membacakan khutbah, maka jama’ah hendaklah tenang, tertib, dan teratur; mendengarkan dengan khidmat; dan tidak berbicara, berbisik, maupun senda gurau karena perbuatan tersebut dapat menjadikan shalat Jum’atnya sia_sia. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila engkau berkata kepada temanmu pada hari Jum’at ’diam’ sewaktu khatib berkhuthbah, maka sesungguhnya telah rusaklah Jum’atmu.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
  6. Setelah khuthbah pertama selesai, maka khatib duduk di antara dua khuth-bah.
  7. Kemudian khatib berdiri lagi untuk membacakan khuthbah kedua.
  8. Shalat Jum’at dilakukan setelah khuthbah kedua.
  9. Ketika shalat Jum’at berlangsung, maka perlu diperhatikan untuk memben-tuk shaf yang lurus, rapat, dan rapi; mengikuti peraturan shalat berjama’ah sebagaimana lainnya.; dan melakukan shalat Jum’at dengan khusyu’ dan tertib, baik secara lahir maupun batin
  10. Setelah selesai shalat Jum’at, maka kita tidak langsung meninggalkan tempat shalat, tetapi dianjurkan untuk berdzikir, berdoa, dan melaksanakan shalat ba’diyah Jumat dua rakaat atau empat rakaat.

 

Adab_Adab Hari Jum’at

’Abdul Hamid bin Abdurrahman As_Suhaibani dalam kitab Aadaab Islamiyyah menjelaskan ada beberapa adab pada hari Jum’at sebagai berikut:

  1. Memperbanyak doa dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, karena di hari Jum’at terdapat waktu yang mustajab (dikabulkan doanya). Hal ini berdasarkan hadits, ”Di hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan. Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang mwnunjukkan sedikitnya waktu itu.” [Hadits shahih, diriwayat-kan oleh Al_Bukhari hadits no. 9300 dan Muslim hadits no. 852]
  2. Memperbanyak shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Berdasarkan hadits, ”Perbanyaklah oleh kalian shalawat kepadaku pada hari Jum’at dan malam Jum’at, karena barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Al_Baihaqi dari Anas radhiyallahu ’anhu dengan sanad hasan. Lihat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani, Silsilah Al_Ahaadits Ash_Shahiihah no. 1407]
  3. Mandi wajib, memakai wangi_wangian, dan memakai pakai_pakaian yang terbagus. Hal ini berdasarkan hadits, ”Tidaklah seorang mandi pada hari Jum’at, dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau meng-oleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhuthbah, melainkan akan diampuni (dosa_dosanyay yayng terjadi) antara Jum’at tersebut dan ke Jum’at berikutnya. ” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari]
  4. Membaca Alquran surat Al_Kahfi. Berdasarkan hadits, ”Barangsiapa membaca surat Al_Kahfi pada hari Jum’at akan diberikan cahaya baginya di antara dua Jum’at.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Hakim (II/368) dan Al_Baihaqi (III/249) dishahihkan oleh Syaikh Al_Albani dalam kitab Irwa Al_Ghalil no. 626]
  5. Bersegera untuk datang lebih awal pada shalat Jum’at. Berdasarkan hadits, ”Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at seperti mandi janabah, lalu segera pergi ke masjid, maka seakan_akan berkurban dengan unta yang gemuk.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari no. 881 dan Muslim no. 850, Abu Dawud no. 351, At_tirmidzi no. 499]
  6. Hendaknya mengerjakan shalat sunnah empat rakaat setelah selesai shalat Jum’at. Berdasarkan hadits, ”Apabila kalian telah selesai mengerjakan shalat Jum’at, maka shalat (sunnah)lah empat rakaat.” [Hadits shahih, diriwayat-kan oleh Muslim no. 881]

 

Fungsi Shalat Jum’at dalam Kehidupan

Di anatara beberapa fungsi shalat Jum’at adalah sebagai berikut:

  1. Mempererat tali persaudaraan. Dengan berkumpul, maka umat Islam yang berada dalam satu masjid dapat menumbuhkan rasa saling mengenal dalam suasana yang penuh persaudaraan.
  2. Menambah keimanan. Khuthbah yang menyentuh hati dan shalat yang penuh dengan kekhusyu’an dapat meningkatkan keimanan kaum muslimin kepada Allah Ta’ala.
  3. Menambah ilmu pengetahuan. Mendengarkan hal_hal yang bermanfaat dari isi khuthbah dapat menambah ilmu pengetahuan, terutama yang berhubungan dengan Islam.
  4. Manambah pahala. Dalam rangkaian shalat Jum’at banyak hal_hal sunnah yang perlu dikerjakan, seperti shalat tahiyatul masjid, membaca Alquran, berdzikir, dan sebagainya, maka semua itu akan menambah pahala di sisi Allah Ta’ala.

Shalat Berjamaah


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Pengertian Shalat Berjama’ah

Shalat jama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama_sama yang tidak memiliki udzur untuk melaksanakannya, salah satu di antara mereka ada sebagai imam dan yang lainnya sebagai makmum dengan syarat_syarat yang telah ditentukan. [Lihat Nor Hadi, Ayo Memahami Fikih, hal. 75; dan Achmad Wahid dan Masrun,Pendidikan Agama Islam, hal. 70]

Dasar Hukum Shalat Berjama’ah

Hukum shalat berjama’ah adalah sunnah mu’akad, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan kepada orang_orang beriman yang tidak mempunyai udzur untuk menghadirinya. Allah Ta’ala berfirman,

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu…..”  [QS. An_Nisa’ (4): 102]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ada tiga orang di salah satu desa atau kampung namun tidak mengadakan shalat jama’ah, maka setan berkuasa atas mereka. Oleh karena itu, hendaklah kalian selalu berjama’ah, karena serigala itu memakan kambing yang jauh (terpisah) dari kelompoknya.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An_Nasa’i, dan Al_Hakim]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ”Demi jiwaku yang berada di tangan_Nya sungguh aku bertekad menyuruh mengumpulkan kayu bakar. Kemudian aku suruh seseorang adzan untuk shalat dan seseorang untuk mengimami manusia. Kemudian aku pergi kepada orang_orang yang tidak iikut shalat. Kemudian aku bakar rumah mereka.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

Maksud hadits di atas adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan shalat berjama’ah di masjid sehingga beliau ingin membakar rumah_rumah orang yang tidak berjama’ah agar mereka keluar dari rumah masing_masing dan ikut berjama’ah di masjid.

Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pembelajaran yang keras tentang shalat berjama’ah sebagaiamana diriwayatkan dalam hadits di atas. Salah seorang sahabat juga meriwayatkan dalam riwayat berikut ini, “Seorang buta berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai penuntun yang menuntunku ke masjid.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya untuk tidak ikut shalat berjama’ah. Ketika orang buta tersebut hendak pergi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah engkau mendengar suara adzan?’ Orang buta tersebut menjawab: Ya…mendengar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jawablah adzan.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]

Keutamaan Shalat Berjama’ah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Shalat jama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

Syarat_Syarat Shalat Berjama’ah

A. Syarat Shalat Berjama’ah

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam shalat berjama’ah. Syarat-syarat shalat berjama’ah adalah sebagai berikut:

  1. ada imam
  2. ada makmum
  3. shalat dilakukan dalam satu majelis (tempat)
  4. shalat makmum harus sesuai dengan shalat imam, kecuali makmum yang shalat jama’ atau qashar.

B. Syarat Imam

Imam adalah pemimpin. Imam shalat adalah orang yang mempunyai tugas untuk memimpin shalat berjama’ah yang wajib untuk diikuti oleh semua peserta shalat (makmum). Adapun orang yang ditunjuk menjadi imam harus mempunyai syarat_syarat tertentu sebagai berikut:

  1. Laki_laki, adil, dan faqih (ahli ilmu agama). Dengan demikian tidak sah wanita menjadi imam bagi laki_laki. Orang fasik juga tidak sah menjadi imam, kecuali jika ia penguasa yang sangat ditakuti. Begitu juga tidak sah orang buta huruf yang bodoh menjadi imam, kecuali bagi orang_orang yang seperti dirinya.
  2. Orang yang kaya akan hapalan ayat_ayat Alquran dan yang lebih fasih membacanya daripada yang lainnya. Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Yang lebih berhak menjadi imam di antara mereka adalah yang paling bagus bacaannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dari Anas]
  3. Orang yang mendapat simpati atau disepakati oleh para jama’ah, artinya buka orang yang dibenci atau dijauhi oleh jama’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Allah tidak akan menerima shalatnya suatu kaum karena yang menjadi imam dibenci oleh mereka.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud]

C. Syarat Makmum

Makmum adalah orang yang mengikuti gerak_gerik imam dalam shalat berjama’ah. Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh makmum adalah sebagai berikut:

  1. Berniat sebagai makmum
  2. Makmum berada di belakang imam, apabila shalat berjama’ah lebih dari dua orang, tetapi jika shalat berjama’ah hanya dua orang, maka mak-mum sejajar berada di sebelah kanan imam.
  3. Makmum hendaklah mengikuti imam dalam segala gerakkan shalat dan dilarang mendahuluinya atau terlalu lama tertinggal gerakkan imam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Apakah seseorang tidak takut, apabila ia mengangkat kepalanya mendahului imam, maka Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala keledai?.” [Hadits shahih, diriwayatkan secara jama’ah]
  4. Imam dan makmum berada dalam satu majelis (tempat)
  5. Shalat makmum hendaklah sama dengan shalat imam, apabila imam shalat ashar makmum juga shalat ashar, kecuali seseorang yang shalat jama’ atau qashar.
  6. Janganlah makmum berimam kepada orang yang diketahuinya bahwa shalatnya tidak sah.

Tata Cara Shalat Berjama’ah

Cara melakukan shalat berjama’ah adalah salah satu di antara jama’ah yang dipandang berhak menjadi imam bertindak sebagai imam. Adapun yang lainnya berjajar teratur di belakang imam sebagai makmum. Imam berniat sebagai imam dan makmum berniat sebagai makmum. Selanjutnya, imam memimpin shalat berjama’ah dan makmum mengikuti segala gerak_gerik imam dari takbiratul ihram sampai salam.

1. Tata cara sebagai imam

Sebelum melaksanakan shalat berjama’ah, hendaklah imam melakukan hal_hal sebagai berikut:

  1. Imam menghadap ke belakang memperhatikan makmum dan menyuruh agar merapatkan shaf yang belum rapat.
  2. Imam menyuruh para makmum agar meluruskan shafnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskan shafmu karena lurusnya shaf itu merupakan kesempurnaan dalam shalat.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]
  3. Imam menyuruh makmum agar memenuhi shaf yang masih kosong sehingga rapat satu dan yang lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Penuhilah jarak yang kosong di antara kamu karena sesungguhnya setan akan masuk di antara kamu pada tempat yang kosong.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, hadits no. 21233]
  4. Setelah shaf rapi dan teratur, imam memulai shalat berjama’ah dengan khusyu’, tuma’ninah, tidak terlalu cepat, dan tidak terlalu lama.

2. Tata cara sebagai makmum

Apabila dalam shalat berjama’ah yang bertindak sebagai makmum, maka kita harus melakukan hal_hal sebagai berikut:

  1. Memenuhi shaf depan yang masih kosong
  2. Merapatkan dan meluruskan shaf
  3. Mengikuti segala gerak_gerik imam dari takbiratul ihram sampai salam
  4. Apabila imam membaca surat Al_Fatihah pada rakaat pertama dan kedua sampai pada lafal ”waladh_dhalliin”, makmum menyahutnya dengan mengucapkan ”aamiin.”
  5. Apabila imam lupa melakukan salah satu rukun shalat, maka makmum mengingatkannya dengan mengucapkan ”subhanallah” bagi makmum laki_laki dan bagi makmum perempuan dengan menepuk tangan.
  6. Apabila imam keliru membaca atau salah membaca surat atau ayat Alquran, maka makmum mengingatkannya dengan mengucapkan lafal yang sebenarnya.
  7. Jika imam batal, maka makmum yang terdekat dari imam segera maju menggantikannya.

3. Pengaturan shaf

Shaf artinya adalah barisan dalam shalat berjama’ah. Keteraturan shaf dalam shalat berjama’ah merupakan bagian dari kesempurnaan shalat berjama’ah. Oleh karena itu, sebelum shalat berjama’ah dimulai terlebih dahulu shaf diatur diluruskan dan dirapatkan sesuai dengan ajaran_ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun pengaturan shaf dalam shalat berjama’ah adalah sebagai berikut:

  1. Apabila makmum hanya seorang laki_laki, maka makmum berdiri sejajar di sebelah kanan imam.
  2. Apabila makmum terdiri atas dua orang laki_laki, maka makmum yang satu berada tepat di belakang imam dan yang lain berada di sebelah kanan makmum pertama.
  3. Apabila makmum hanya seorang perempuan, maka makmum berdiri tepat di belakang imam.
  4. Apabila makmum terdiri atas dua orang perempuan, maka makmum berjajar rapat di belakang imam.
  5. Apabila makmum terdiri atas beberapa orang laki_laki, maka makmum berjajar rapat di belakang imam.
  6. Apabila makmum terdiri atas beberapa orang laki_laki, perempuan, anak laki_laki, dan anak perempuan, maka pengaturan shafnya adalah sebagai berikut:
  • shaf paling depan adalah laki_laki dewasa
  • shaf berikutya adalah anak laki_laki
  • shaf berikutnya adalah anak perempuan
  • shaf berikutnya adalah perempuan dewasa

4. Bacaan sir dan jahr

Dalam shalat berjama’ah ada beberapa bacaan yang harus dibaca sir (lirih) dan dibaca jahr (nyaring). Adapun bacaan yang harus dibaca sir oleh imam pada shalat zhuhur dan ashar adalah sebagai berikut:

  • doa iftitah
  • al_Fatihah dan surat atau ayat Alquran
  • doa ketika ruku’ dan sujud
  • doa ketika duduk di antara dua sujud
  • doa ketika ’itidal
  • doa tahiyat awal dan akhir

Adapun pada shalat zhuhur dan ashar, bacaan_bacaan yang harus dibaca jahr adalah sebagai berikut:

  • takbiratul ihram
  • takbir akan ruku’
  • bangkit dari ruku’ (sami’allahu liman hamidah)
  • takbir akan sujud
  • takbir bangkit dari sujud
  • takbir bangkit dari tahiyat awal
  • bacaan salam

Kemudian, bacaan_bacaan yang harus dibaca sir pada shalat maghrib, isya,’ dan shubuh berjama’ah adalah sebagai berikut:

  • doa iftitah
  • al_Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat shalat maghrib dan isya’
  • doa ketika ruku’ dan sujud
  • doa ketika duduk di antara dua sujud
  • doa tahiyat awal dan akhir

Adapun bacaan_bacaan yang harus dibaca jahr pada shalat maghrib, isya’, dan shubuh adalah sebagai berikut:

  • takbiratul ihram
  • takbir akan ruku’
  • bangkit dari ruku’ (sami’allahu liman hamidah)
  • takbir akan sujud
  • takbir bangkit dari sujud
  • takbir bangkit dari tahiyat awal pada shalat maghrib dan isya’
  • bacaan salam

5. Makmum masbuq

Masbuq adalah makmum yang datang terlambat dalam mengikuti shalat berjama’ah. Sementara itu, imam telah mengerjakan beberapa rukun shalat. Adapun hal_hal yang perlu diperhatikan oleh makumum masbuq adalah sebagai berikut:

1.  Hendaklah berjalan mendatangi shalat berjama’ah dengan tenang dan tidak tergesa_gesa.

2.  Begitu sampai di tempat shalat berjama’ah hendaklah langsung takbiratul ihram dengan niat makmum dan mengikuti segala gerak_gerik imam, walalupun imam sedang ruku’, sujud, ataupun duduk iftirasy. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Jika salah seorang di antara kalian mendatangi shalat, dan imam sedang berada pada salah satu kondisi, hendaklah ia berbuat seperti yang diperbuat imam.” [Hadits ini diriwayatkan oleh At_Tirmidzi]

3.  Apabila makmum masbuq dapat ruku’ bersama imam, maka hal itu dihitung dapat satu rakaat. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Jika kalian mendatangi shalat, dan kami sedang sujud, maka sujudlah. Namun kalian jangan menghitung satu sujud tersebut (sebagai satu rakaat). Dan barangsiapa mendapati ruku’, maka ia mendapatkan satu rakaat.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud]

4.  Apabila makmum masbuq datang sesudah imam melakukan ruku’, maka hal itu tidak dihitung satu rakaat dan ia harus menyempurnakan rakaat shalatnya yang kurang tersebut.

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, ”Apa yang kalian dapatkan, maka shalatlah dan apa yang tidak kalian dapatkan maka sempurnakanlah.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Dan apa yang hilang dari kalian, maka gantikanlah.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari]

5.  Apabila makmum masbuq mendapatkan imam sedang membaca tasyahud akhir, maka ia langsung ikut duduk bersama imam. Hal ini tidak dihitung mendapatkan bilangan rakaat, tetapi insya Allah mendapatkan pahala berjama’ah.

6. Tata cara menegur imam

Dalam keadaan salah atau lupa, imam perlu mendapat teguran dari makmum agar pelaksanaan shalat tidak menyalahi aturan. Untuk menegur Imam ada ketentuan_ketentuan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sebagai berikut:

  1. Apabila imam lupa mengenai jumlah rakaat atau hal_hal lain, maka makmum laki_laki harus mengingatkan imam dengan membaca ”subha-nallahu.” Adapun bagi makmum perempuan adalah dengan menepuk punggung tangan sebelah kiri dengan telapak tangan kanannya.
  2. Apabila imam salah dalam membaca surat atau ayat_ayat Alquran karena lupa, maka makmum hendaklah mengingatkannya dengan membetulkan bacaannya.

6. Tata cara mengganti imam

Imam yang mengalami sesuatu yang membatalkan shalat, misalnya buang angin (kentut) hendaklah mundur dan membatalkan shalatnya. Kemudian seseorang makmum yang berada di belakang imam maju dan menjadi imam untuk melanjutkan shalat berjama’ah.

Hal ini berdasarkan riwayat yang shahih dari Amar bin Maimun bahwa, ”Pagi hari ketika Umar bin Khaththab terbunuh (tertikam), antara aku dengannya tidak ada orang lain kecuali Abdullah bin Abas. Belum lama ia bertakbir, tiba_tiba saya mendengar ia berteriak: Aku dibunuh atau digigit oleh anjing? Saya melihat Umar menarik Abdurrahman bin Auf supaya maju dan menggantikannya, shalat dilanjutkan bersama orang banyak sebagaimana biasanya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari]

Hal_Hal yang Menyebabkan Halangan Shalat Berjama’ah

Apabila situasi dan kondisi seseorang tidak sehat, ata sebab_sebab lainnya, maka diizinkan untuk tidak melaksanakan shalat berjama’ah, namun tetap wajib shalat fardhu. Adapun hal_hal yang menyebabkan halangan shalat berjama’ah adalah sebagai berikut:

  1. Apabila sedang sakit dan tidak memungkinkan untuk shalat berjama’ah
  2. Hujan deras, sehingga sulit untuk pergi ke tempat shalat berjama’ah
  3. Pada saat seseorang sedang menahan buang air besar atau buang air kecil
  4. Apabila sangat lapar sekali, sedangkan hidangan telah tersedia
  5. Menunggu makmum, tetapi tidak ada seorangpun yang datang
  6. Apabila baru makan makanan yang baunya tidak sedap, sehingga dapat mengganggu jama’ah yang lain
  7. Ketika dalam perjalanan sebagai musafir
  8. Apabila makmum datang dan imam telah salam, maka makmum yang terlambat boleh melaksanakan shalat munfarid (sendirian).

Fungsi Shalat Berjama’ah dalam Kehidupan

Mohammad Fauzi A.G mengatakan bahwa di antara fungsi shlat berjama;ah dalam kehidupan sehari_hai adalah sebagai berikut:

  1. Meningkatkan dan memperbanyak pahala ibadah shalat
  2. Meningkatkan persatuan dan kesatuan umat
  3. Memperluas pergaulan
  4. Meningkatkan persamaan derajat
  5. Meningkatkan kedisiplinan diri
  6. Meningkatkan kesadaran untuk saling menghargai antara pemimpin dan yang dipimpin

Perkara-Perkara yang Membatalkan Shalat


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Perkara_Perkara yang Membatalkan Shalat

1. Yakin berhadats yang membatalkan wudhu

Pernah diadukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang sepertinya merasakan sesuatu (hadats) dalam shalatnya, maka beliau bersabda, “Ia tidak boleh membatalkan shalatnya hingga men-dengar suara atau mencium baunya.” [HR. Al_Bukhari dan Muslim]

2. Meninggalkan salah satu syarat atau salah satu rukun shalat

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang salah dalam shalatnya, ketika beliau melihatnya tidak thuma’ninah dalam shalatnya, “Shalatlah kembali karena sesungguhnya kamu belum shalat.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

3. Makan dan minum dengan sengaja

Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa siapa yang makan dan minum dalam shalat fardhu dengan sengaja, maka ia wajib mengulangi shalatnya.” Demikian pula dalam shalat sunnah – menurut jumhur ulama’ – karena apa yang membatalkan shalat fardhu juga membatalkan shalat sunnah.

4. Berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan shalat

Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam, ia mengatakan, “Dulu kami berbicara dalam shalat, seseorang dari kami berbicara dengan kawannya di samping-nya dalam shalat hingga turun ayat:

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. [QS. Al_Baqarah (2): 238]

Kemudian kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

5. Tertawa yang disertai dengan suara

Menurut ijma’ ulama sebagaimana yang dikutip oleh Ibnul Mundzir bahwa tertawa dalam shalat membatalkan shalat, karena tertawa itu lebih keji daripada berbicara, ini berarti melecehkan dan memainkan shalat.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al_Mushannaf (I/387) dari Jabir dan Abu Musa bahwa ada sejumlah atsar dari para sahabat bahwasan-nya yang menunjukkan batalnya shalat karena tertawa.

Penjelasan:

Adapun tersenyum, maka tidak membatalkan shalat. Tetapi jika bukan karena udzur, maka dimakruhkan. Dari Jabir, ia mengatakan, “Tersenyum tidak membatalkan shalat, tetapi yang membatalkan adalah terkekeh-kekeh.” [Hadits hasan, diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq dengan sanad yang hasan]

Demikianlah tulisan tentang shalat ini. Saya memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan nama-nama_Nya yang agung dan sifat-sifat_Nya yang mulia agar menjadikan amalan saya yang sedikit ini menjadi amalan yang berkah dan ikhlash semata-mata karena mengharapkan wajah_Nya yang mulia, serta menjadikan sarana pendekat kepada surga_Nya bagi penulis, penerbit, pembaca, dan orang-orang yang berpartisipasi dalam menyebarkan tulisan ini.

Saya juga memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar tulisan ini bermanfaat bagi saya dan semua orang yang membutuhkannya. Sesungguhnya Allah-lah sebaik_baik tempat memohon dan semulia_mulia tempat berharap.

 

Perkara-Perkara yang Dilarang Dalam Shalat


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Perkara_Perkara yang Dilarang Dalam Shalat

Perkara yang dilarang dalam shalat adalah perkara-perkara yang disebutkan dalam nash-nash syariat tentang keharamannya atau kemakruhannya dalam shalat. Tetapi larangan-larangan ini (bila dilanggar) tidak membatalkan shalat dan hanya mengurangi nilai pahalanya, yaitu sebagai berikut:

1. Berkacak pinggang dalam shalat.

Diriwayatkan dari Ziyad bin Shubaih, ia berkata, “Aku pernah shalat di samping Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dan aku letakkan kedua tangan-ku di atas pinggang. Setelah shalat, ia berkata, ‘Ini salib dalam shalat, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.’ ” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud, An_Nasa’i, dan Ahmad dengan sanad hasan]

Berdasarkan juga riwayat dari Aisyah bahwa ia membenci (memakruhkan) orang yang shalat dengan berkacak pinggang, seraya berkata, “Perbuatan ini dilakukan oleh kaum Yahudi.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Al_Bukhari]

2. Memandang ke langit.

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah mereka berhenti mengangkat pandangan mereka ke langit ketika berdoa dalam shalat, pandangan mereka akan direnggut (dibutakan).” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan An_Nasa’i (III/39)]

3. Melihat sesuatu yang dapat melalaikan shalat

Berdasarkan hadits dari Aisyah bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan mengenakan baju yang bercorak, maka beliau bersabda, “Corak pakaian ini telah mengggangu shalatku. Bawahlah jubah ini kepada Abu Jahm, lalu ambilkan untukku Anbajaniyah (baju kasar tanpa corak)nya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

4. Menoleh tanpa ada keperluan

Berdasarkan riwayat dari Aisyah, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat, maka beliau menjawab: Itulah ikhtilas (pencurian) yang dilakukan setan dari shalat seseorang hamba.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari, Abu Dawud, dan An_Nasa’i (III/8)]

Makna kata ikhtilas dalam hadits di atas adalah mengambil dengan cepat dan tersembunyi saat si pemilik barang lengah. [Lihat Abu Malik Kamal bin As_Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, hal. 552]

5. Menjalin jari-jemari

Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila salah seorang dari kalian berada di rumahnya lalu ia pergi ke masjid, maka ia masih dikate-gorikan sebagai orang yang shalat hingga ia kembali (ke rumahnya), dan janganlah melakukan seperti ini, seraya beliau menjalinkan di antara jari-jari tangannya.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Al_Hakim dalam kitab Shahih Al_Jami’ . Hadits ini ada penguatnya yang tertera dalam kitab Musnad Ahmad (III/42) dari Abu Sa’id]

6. Membunyi_bunyikan jari-jemari

Berdasarkan riwayat dari Syu’bah maula (pembantu) Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku pernah shalat di samping Ibnu Abbas, lalu aku membunyikan jari-jariku. Seusai shalat ia berkata, ‘Semoga ibumu hilang.’ Apakah kamu membunyikan jari-jemarimu sementara kamu sedang shalat?” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (II/334). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani menghasankannya dalam kitab Al_Irwa’ Al_Ghalil (II/99)]

7. Berselimut dengan kain danmeletakkan tangan di dalamnya

Berselimut dengan kain dan meletakkan tangan di dalamnya, lalu ruku’ dan sujud dalam keadaan seperti ini – hal ini disebut dengan sadl –. Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sadl  tersebut. [Hadits hasan, diriwa-yatkan oleh Abu Dawud dan At_Tirmidzi dengan sanad yang hasan]

Penulis berkata, “Sadl adalah melilitkan kain ke badan dan kedua tangan juga termasuk dalam lilitan kain tersebut, lalu ruku’ dan sujud dalam keadaan seperti itu.”

8. Menguap dalam shalat

Menguap dalam shalat tidak boleh dibiarkan, tetapi wajib dicegah dan meletakkan tangan pada mulut. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu  bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Menguap (dalam shalat) berasal dari setan. Jika salah seorang di antara kalian menguap, maka hendaklah ia menahannya semampunya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari, Muslim, dan At_Tirmidzi. Adapun tambahan lafaz di atas tertera di dalam riwayat oleh At_Tirmidzi]

9. Meludah ke arah kiblat atau ke sebelah kanan

Berdasarkan hadits dari Jabir, ia berkata, “Apabila salah seorang dari kalian berdiri untuk mengerjakan shalat, maka sesungguhnya Allah berada di hadapannya. Oleh karena itu, janganlah meludah ke arah depan dan ke sebelah kanannya. Tetapi hendaklah meludah ke sebelah kiri atau ke bawah kaki sebelah kirinya. Jika ia terdesak (yakni terdesak membuang ludah atau dahak) secara spontan, maka hendaklah ia meludah ke pakaiannya seperti ini, seraya beliau melipat pakaiannya dan menggosok-gosoknya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]

10. Memejamkan mata ketika shalat

Apabila memejamkan mata dalam shalat dimaksudkan untuk mendekatkan diri ke pada Allah, maka hal ini diharamkan, karena termasuk dalam perkara bid’ah (mengada-ada dalam urusan agama). Apabila bukan itu maksudnya, maka hukumnyya makruh, karena menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Qayyim Al_Jauziyah berkata, “Tidak ada petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang memejamkan mata ketika shalat… Dan yang dapat dijadikan sebagai dalil adalah beliau mengulurkan tangannya dalam shalat Kusuf untuk mengambil setandan anggur tatkala melihat surga. Demikian juga ketika beliau melihat neraka, yang di dalamnya terdapat seorang wanita yang pernah memelihara seekor kucing, dan pemilik tongkat. Demikian juga ketika beliau mengusir hewan yaang hendak melintas di hadapan beliau….” [Lihat Ibnul Qayyim Al_Jauziyah, Zadul Ma’ad  (I/294)]

Semua hadits-hadits di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa beliau tidak memejamkan kedua matanya pada saat mengerjakan shalat.

11. Menggeliat ketika shalat

Menggeliat dalam shalat hukumnyya makruh, kecuali sekedarnya karena memang dibutuhkan. Alasannya karena menggeliat menunjukkan sikap yang tidak khusyu’ dalam shalat.

Berdasarkan riwayat dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Menggeliat mengu-rangi pahala shalat.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (I/349)]

12. Tathbiq ketika ruku’

Tathbiq adalah menyatukan kedua telapak tangan lalu meletakkannya di antara kedua lutut dan paha ketika ruku.’

Penulis berkata, “Pada awalnya cara seperti ini disyariatkan, tetapi kemu-dian dilarang.”

Diriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’ad, ia berkata, “Aku shalat di samping ayahku lalu aku letakkan kedua tanganku di antara kedua lututku, maka ayahku berkata kepadaku, ‘Letakkan kedua telapak tanganmu di atas kedua lututmu.’ Pada kali lain aku ulangi cara tersebut, dan ayahku langsung memukul tanganku seraya berkata, ‘Kami dilarang melakukan cara seperti ini, dan kami diperintahkan untuk meletakkan kedua telapak tangan di atas lutut’.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

13. Membaca Alquran ketika ruku’ dan sujud

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahui-lah bahwa aku dilarang membaca Alquran dalam keadaan ruku’ dan sujud.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]

14. Menghamparkan kedua hasta (di atas lantai) ketiika sujud

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Luruslah dalam sujud dan jangan salah seorang di antara kalian menghamparkn kedua tangannya sebagaimana yang dilakukan anjing.” [Hadits shahih, diri-wayatkan oleh Al_Bukhari, Muslim, dan lain-lain]

15. Menggulung pakaian (menggulung agar tidak terjuntai ke tanah) ketika sujud

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk sujud di atas tujuh anggota badan, serta melarang kami menggulung rambut dan pakaian.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

Penulis berkata, “Termasuk dalam kategori ini adalah menggulung ujung lengan baju.”

16. Duduk Iq’a’

Duduk Iq’a’ adalah menempelkan kedua pinggul di lantai, menegakkan kedua betis, dan meletakan kedua tangan di atas lantai.

Berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang di dalamnya disebutkan, “Beliau melarang kami duduk seperti duduknya setan.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]

Penjelasan:

Duduk Iq’a’  seperti yang telah dijelaskan di atas adalah duduk yang terlarang. Hanya saja ada jenis duduk iq’a’ yang dibolehkan, yaitu menegak-kan kedua telapak kaki lantas duduk di ats tumitnya pada saat duduk di antara dua sujud. Bahkan duduk seperti ini disunnahkan.

17. Meletakkan kedua tangan di lantai ketika duduk dalam shalat, kecuali ada udzur

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang duduk dalam shalat dengan bersandar pada tangan kirinya.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Al_Hakim, dan Al_Baihaqi (II/136)]

18. Orang yang sakit sujud di atas sesuatu yang agak tinggi

Orang yang sakit jika mampu sujud di atas lantai, maka ia wajib melakukan-nya. Jika tidak sanggup maka cukuplah dengan isyarat kepalanya saja. Tidak perlu meletakkan bantal atau sejenisnya pada tempat sujudnya.

Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi menjengauk salah seorang sahabatnya yang sedang sakit, dan aku ikut bersama beliau, lalu beliau menjenguknya saat sahabat tersebut sedang shalat pada sebilah kayu dan meletakkan dahinya pada sebilah kayu itu. Beliau memberi isyarat kepadanya agar membuang sebilah kayu itu. Ketika ia mengambil bantal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Biarkan bantal itu. Jika engkau sanggup sujud di atas lantai (maka lakukanlah). Jika tidak mampu, maka lakukan dengan isyarat. Caranya, posisi sujudmu lebih rendah daripada posisi ruku’mu’.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ath_Thabrani dalam kitab Al_Kabir (XII/270). Hadits ini dikuatkan oleh hadits dari Jabir yang diriwayatkan oleh Al_Bazzar dan Al_Baihaqi. Syaikh Al_Albani menshahihkan hadits ini di dalam kitab Silsilah Al_Ahadits Ash_Shahihah, hal. 323]

19. Membersihkan krikil dari tempat sujud dan melakukan gerakan yang tidak perlu dalam shalat

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah mengusap tanah pada saat sedang shalat. Jika kamu harus melakukannya, maka cukup sekali saja untuk meratakan tanah.” [Hadits shahih, diriwayat-kan oleh Abu Dawud (I/946). Imam An_Nawawi mengatakan bahwa sanadnya sesuai dengan kriteria Al_Bukhari dan Muslim]

Penjelasan:

Apabila ada krikil atau tanah yang menempel di kening ketika sujud di tanah, maka makruh dibersihkan. Karena aktifitas ini dapat mengganggu shalat, apalagi jika dilakukan berkali-kali.

Ibnu Mas’ud berkata, “Ada empat macam tabi’at kasar… (beliau menyebut-kan di antaranya): seseorang yang membersihkan tanah yang melekat di dahinya pada saat sedang melaksanakan shalat.” [Hadits shahih, diriwayat-kan oleh Al_Baihaqi (II/285). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al_Albani dalam kitab Al_Irwa’ Al_Ghalil  (I/98)]

Penulis berkata, “Apabila tanah yyang melekat tersebut dapat mengganggu shalat, maka harus dibersihkan.” Wallahu ‘alam

20. Menurunkan kedua lutut sebelum kedua tangan ketika sujud

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  “Jika salah seorang dari kalian hen-dak sujud, maka janganlah ia turun seperti menderumnya unta. Hendaklah ia meletakkan kedua tangannya terlebih dahulu sebelum meletakkan kedua lututnya.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud, An_Nasa’i, dan Ahmad dengan sanad yang hasan]

21. Memberi isyarat ke kiri dan ke kanan dengan kedua tangan pada saat mengucapkan salam

Isyarat seperti ini banyak dikerjakan oleh orang-orang awam, baik laki-laki maupun perempuan, padahal perbuatan ini terlarang dalam shalat.

Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu bahwasannya ia berkata, “Jika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mengucapkan: As_salamu ‘alaikum warahmatullah, as_salamu ‘alaikum warahmatullah sambil memberi isyarat dengan tangan ke kiri dan ke kanan. Melihat hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Mengapa kalian memberi isyarat dengan tangan mirip seperti ekor-ekor kuda liar? Cukuplah salah seorang dari kalian meletakkan tangannya di atas pahanya, kemudian mengucapkan salam kepada saudaranya, yaitu orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya.” [Hadits shahih, diriwayaytkan oleh Muslim, An_Nasa’i, dan Abu Dawud]

Maksud ekor-ekor kuda di atas adalah kuda yang tidak dapat tenang bahkan selalu memberontak dan menggerakkan ekor dan kakinya (kuda liar). [Lihat Abu Malik Kamal bin As_Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, hal. 559]

22. Mendahului imam dalam gerakan shalat

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah salah seorang dari kalian takut, ketika mengangkat kepalanya mendahului imam, bila Allah akan merubah kepalanya menjadi kepala keledai atau Allah akan merubah rupanya menjadi keledai.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

23. Shalat ketika makanan sudah terhidangkan, atau shalat dengan menahan buang air kecil dan buang air besar

Diriwayaytkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak boleh mengerjakan shalat pada saat makanan telah dihidangkan, dan tidak boleh pula (shalat) pada saat menahan buang air besar dan kecil.” [Hadits shahih, diriwayat-kan oleh Muslim]

Ucapan atau Semakna Dengan Ucapan yang Boleh Diucapkan Ketika Shalat


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Ucapan atau Semakna Dengan Ucapan yang Boleh Diucapkan Ketika Shalat

a. Memberitahukan bacaan kepada imam

Apabila imam lupa bacaannya, maka orang yang ada di belakangnya boleh memberitahukannya. Ini dilakukan agar tidak ada pengubahan dalam Kalamullah.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasan-nya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dan ada bacaan yang terlupa. Seusai shalat beliau bertanya kepada Ubay, “Apakah tadi kamu shalat bersama kami?” Ubay menjawab, “Ya.” Beliau bertanya kembali, “Lantas apa yang menghalangimu untuk memberitahukan kepadaku?” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad yang hasan]

b. Mengulang-ulangan bacaan ayat pada shalat sunnah

Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini dan mengulang-ulangannya hingga Shubuh.

“Jika Engkau menyiksa mereka, Maka Sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, Maka Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al_Maidah (5): 118) [Hadits ini diriwayatkan oleh An_Nasa’i, Ahmad, dan Al_Hakim dengan sanad yang lemah]

Penulis berkata, “Mengenai masalah ini tidak ada riwayat yang menye-butkan bahwa hal ini dilakukan dalam shalat fardhu, sehingga tidak mengerjakannya dalam shalat fardhu adalah lebih utama.”

c. Menangis dan merintih ketika shalat

Menangis ketika shalat karena takut kepada Allah atau mengingat surga dan neraka seta lain-lainnya adalah perbuatan terpuji dan berpahala. Shalat tidak batal, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang. Demikian juga merintih karena sakit yang diderita atau musibah yang menimpa, maka hal itu tidaklah mengapa.

Dalil yang menunjukkan tidak batalnya shalat orang yang menangis atau merintih adalah sebagai berikut:

“Mereka itu adalah orang-orang yang Telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang Telah kami beri petunjuk dan Telah kami pilih. apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, Maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” [QS. Maryam (19): 58]

“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” [QS. Al_Isra’ (17): 109]

Dalil hadits adalah riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Tidak ada di antara kami yang mengendarai kuda pada perang Badar kecuali Al_Miqdad. Pada saat itu kami semua tidur, kecuali Raslullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shalat di bawah pohon dan menangis hingga waktu Shubuh.” [Hadits shahih, diriwayat- kan oleh Ahmad dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih]

Abdullah bin Syaddad berkata, “Aku pernah mendengar isakan tangis Umar radhiyallahu ‘anhu sementara aku berada di belakang shaf, saat ia membaca:

“Ya’qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah Aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan Aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.”  (QS. Yusuf (12): 86) [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari]

Penulis berkata, “Rintihan adalah jika engkau mengatakan: duhhh atau ahh. Ucapan ini tidak membatalkan shalat, hanya makruh hukumnya jika tidak ada keperluan.”

d. Meniup ketika shalat karena suatu keperluan

Diriwayatkan dari Aiman bin Nabil, ia berkata, “Aku katakan kepada Qudamah bin Abdullah bin Ammar Al_Kilabi – seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –, Aku merasa terganggu dengan bulu-bulu merpati di Masjidil Haram ketika kami bersujud. Ia menjawab, “Tiup saja.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Baihaqi (II/253) dan dishahihkan oleh Al_Hafizh Ibnu Hajar Al_Asqalani dalam kitab Fathul Bari (III/85)]

e. Berdehem dalam shalat karena suatu keperluan

Tidak mengapa berdehem dalam shalat, karena yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat hanyalah berbicara.

Berdehem sama sekali tidak termasuk dalam kategori ucapan. Karena dehem, dengan sendirinya maupun bersama-sama kata lainnya, tidak menunjukkan suatu makna pun. Pelakunya juga tidak disebut sebagai orang yang berbicara. Dehem hanya bisa dipahami maksudnya melalui kausal tertentu, sehingga ia menjadi seperti isyarat. [Lihat kitab Majmu’ Fatawa (XXII/617)]

f. Berbicara sedikit untuk kemaslahatan shalat

Berbicara untuk kemaslahatan shalat tidak membatalkan shalat, jika itu berasal dari imam atau makmum, dengan syarat tidak banyak dan berhenti bila sudah dipahami.

Hal ini berdasarkan hadits dari Dzul Yadain yang masyhur mengenai kisah shalat Nabi yang mengimami jamaah pada shalat Ashar, “Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam pada rakaat kedua. Maka Dzul Yadain berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau mengqashar shalat ataukah engkau lupa?’ Rasulullah menjawab, ‘Semuanya tidak.’ Dzul Yadain berkata, ‘Wahai Rasulullah engkau lupa.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke makmum dan bertanya, ‘Apakah benar yang dikatakan Dzul Yadain?’ Para sahabat menjawab, ‘Benar wahai Rasulullah.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan sisa rakaat shalatnya, kemudian setelah salam beliau bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

g. Mengucapkan Alhamdulillah dalam shalat ketika bersin.

Bagi yang bersin dalam shalat, ia boleh mengucapkan Alhamdulillah bagi dirinya, tapi bagi yang mendengarnya tidak perlu mengucapkan tasymit (yarhamukallah).

Hal ini berdasarkan hadits dari Rifa’ah bin Malik, ia berkata, “Aku shalat di belakang Rasulullah, lalu aku bersin dan aku ucapkan: Alhamdulillah hamdan katsiran mubarakan fihi kama yuhibbu rabbuna wayardhah. Seusai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kami dan bertanya, ‘Siapa tadi yang berbicara dalam shalat?’ Rifa’ah berkata, ‘Saya, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan_Nya, sungguh 30 lebih malaikat berlomba-lomba siapa yang lebih dahulu membawa kalimat tersebut naik ke atas …”” [Hadits ini diriwayatkan oleh At_Tirmidzi dan An_Nasa’i. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al_Bukhari tetapi tidak menyebutkan bersin]

Imam Asy_Syaukani berkata, “Ini menunjukkan atas disyariatkannya mengucapkan Alhamdulillah ketika bersin walaupun sedang mengerja-kan shalat. Hal ini dikuatkan oleh hadits-hadits umum yang mensyariat-kan hal itu tanpa membedakan antara di dalam dan di luar shalat.”

Penulis berkata, “Kesimpulan ini lebih dikuatkan lagi dengan hadits Mu’awiyah bin Ahkam. Ia berkata: Ketika aku sedang shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , seseorang bersin dan mengucapkan :

Alhamdulillah, maka aku jawab: Yarhamukallah….” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud]

Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjawab tahmid orang yang bersin, namun tidak melarang orang yang mengucapkan tahmid pada saat bersin. Ini berarti bahwa ucapan tersebut disyariatkan walaupun di dalam shalat. Wallahu ‘alam

h. Mengucapkan Alhamdulillah dalam shalat karena mendengar perkara yang menyenangkan

Dalam hadits Sahl bin Sa’ad tertera kisah perginya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Bani Amr bin ‘Auf untuk mendamaikan di antara mereka. Maka (sebagai pengganti beliau) majulah Abu Bakar sebagai imam. Pada saat shalat sedang berlangsung, Nabi datang dan Abu Bakar ingin mundur ke belakang, maka beliau memberinya isyarat agar tetap pada tempatnya. Kemudian Abu Bakar mengangkat kedua tang-annya sambil mengucapkan Alhamdulillah atas perintah yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

i. Berbica dengan orang yang sedang shalat dan bertanya kepadanya untuk suatu keperluan

Telah disinggung tentang kisah Jabir, ketika diutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Bani Mushthaliq bahwa ia datang dan berbicara dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau sedang shalat. Namun beliau tidak menjawabnya dan hanya memberi isyarat kepadanya dengan tangan beliau. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]

Perbuatan yang Boleh Dilakukan Dalam Shalat


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Perbuatan yang Boleh Dilakukan Dalam Shalat

a. Menggendong anak kecil ketika shalat

Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah. Apabila sujud, beliau meletak-kannya dan apabila beliau berdiri, beliau kembali menggendongnya. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

b. Berjalan sedikit menurut keperluan

Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di rumah dan pintu terkunci. Lalu aku datang meminta agar pintu dibuka, maka beliau berjalan dan membuka pintu tersebut lalu kembali ke tempat shalatnya. Saat itu pintu berada di arah kiblat.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh At_Tirmidzi, Abu Dawud, dan An_Nasa’i (III/11) hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al_Albani]

c. Bergerak untuk menyelamatkan anak kecil atau yang lainnya dari suatu yang membahayakan.

Diriwayatkan dari Al_Azraq bin Qais, ia berkata, “Kami pernah ke Ahwazi memerangi orang-orang Haruri (Khawarij). Ketika aku berada di pinggir sungai, ternyata ada orang yang sedang shalat – yaitu Abu Barzah Al_Aslami – dan tali kekang unta berada di tangannya. Lalu untannya meronta-ronta dan ia mengikuti gerakkan unta tersebut….. Ia mengatakan, ‘Aku ikut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tujuh atau delapan kali pertempuran dan aku menyaksikan kemudahan yang diberikannya. Sesungguhnya aku lebih suka kembali bersama untaku daripada aku biarkan untaku kembali sendiri ke kandangnya sehingga memberatkanku.’” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari]

Termasuk dalam kategori ini adalah jika kita sedang shalat lalu telepon berdering, maka kita boleh mengangkat gagang teleponnya dan mengeraskan suara agar si penelpon tahu kalau kita sedang shalat.

d. Menghadang orang yang melintas ketika shalat

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila salah seorang dari kalian sedang shalat, maka jangan ia biarkan seorang pun melintas di depannya dan ia harus berusaha semampunya untuk menghadangnya. Jika orang tersebut enggan, maka lawanlah karena dia itu setan.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan Al_Bukhari]

e. Membunuh ular, kalajengking, dan apa saja yang dapat mem-bahayakan orang yang shalat.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh dua hewan yang berwarna hitam ketika shalat (yaitu) kalajengking dan ular. [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, An_Nasa’i, At_Tirmidzi, dan An_Nasa’i. Lafal hadits di atas adalah riwayat Ibnu Majah]

f. Mencubit orang yang tidur karena suatu kebutuhan

Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Aku selonjorkan kakiku di sebelah kiblat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau sedang shalat. Jika hendak sujud, beliau mencubitku. Jika beliau bangkit berdiri, aku kembali selonjorkan kakiku.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Al_Bukhari dan Muslim serta lain-lain]

g. Menanggalkan sepatu ketika sedang shalat untuk suatu kebutuhan

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al_Khudri, ia berkata, “Ketika Rasulullah sedang shalat bersama para sahabatnya, tiba-tiba beliau menanggalkan sepatunya dan meletakkannya di sebelah kiri. Melihat itu para sahabat ikut menanggalkan sepatu mereka….”

h. Meludah di kain atau sapu tangan

Diriwayatkan dari Jabir, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Apabila seseorang dari kalian berdiri mengerjakan shalat, maka sesungguhnya Allah berada di hadapannya. Oleh karenanya, janganlah ia meludah ke arah depan dan ke sebelah kanannya. Hendaklah ia meludah ke sebelah kiri atau ke bawah kaki sebelah kiri. Jika ia tersedak secara spontan, maka hendaklah ia meludah ke pakaiannya seperti ini.” Kemudian beliau melipat pakaian-nya dan menggosok-gosokkannya. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud]

Makna tersedak dalam hadits di atas adalah terdesak membuang ludah atau dahak secara spontan.

i. Memperbaiki pakaian dan menggaruk ketika shalat

Diriwayatkan dari Jarir Adh_Dhabbi, ia berkata, “Apabila ‘Ali berdiri mendirikan shalat, ia meletakkan tangan kanannya di atas pergelangan tangan kirinya. Posisinya terus demikian hingga ruku’, kecuali bila ia memperbaiki pakaiannya atau menggaruk.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Al_Bukhari (II/58) dan Abi Syaibah (I/391) dengan sanad mu’allaq dan bentuk jazam (penegasan)]

Selain itu, Ibnu Abbas berkata, “Seseorang boleh melakukan sesuatu yang dibutuhkan oleh tubuhnya.” [HR. Al Bukhari]

j. Jika terjadi sesuatu (kelupaan) dalam shalat berjama’ah, maka bagi kaum laki-laki bertasbih dan bagi kaum wanita bertepuk.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “….Apabila terjadi sesuatu dalam shalat (berjama’ah), maka hendaklah ia mengucapkan subhanallah; sebab jika ia bertasbih maka akan menoleh kepadanya sesungguhnya tepuk itu untuk kaum wanita.”

Kata tashfih adalah sinonim dari kata tashfiq yang berarti memukulkan telapak tangan dengan telapak tangan yang lain. [Lihat dalam kitab An_Nihayah karya Ibnu Atsir]

 

Penjelasan :

Kita sudah ketahui bahwa wanita tidak disyariatkan untuk bertasbih ketika terjadi sesuatu dalam shalatnya. Tetapi mereka juga boleh mengucapkan tasbih, jika memang diperlukan di tempat yang tidak dihadiri oleh laki-laki.

Diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar, ia berkata, “Aku mendatangi Aisyah di saat terjadi gerhana matahari. Ternyata orang-orang sedang melaksana-kan shalat, dan ternyata dia juga sedang berdiri mengerjakan shalat. Lalu aku tanyakan, ‘Orang-orang sedang apa?’ Lalu ia mengisyaratkan ke arah langit dan berkata, ‘Subahanallah’.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

k. Menoleh ke kiri dan ke kanan untuk suatu keperluan

Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata, “Kami shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang sedang sedang sakit dan beliau shalat sambil duduk, sedang Abu Bakar memperdengarkan takbir beliau kepada para makmum. Lalu beliau menoleh kepada kami yang sedang shalat berdiri, lantas beliau memberi isyarat kepada kami agar kami ikut shalat sambil duduk, maka kami pun shalat duduk seperti shalat beliau.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan An_Nasa’i]

Dalam hadits dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, sementara orang-orang sedang shalat (berjama’ah). Lalu beliau mendekat hingga masuk ke dalam shaf, lantas orang-orang bertepuk dan Abu Bakar tidak menoleh di dalam shalat. Ketika tepukan semang-kin ramai, ia pun menoleh dan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

l. Memberi isyarat dengan tangan atau dengan kepala untuk suatu keperluan

Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku pada saat beliau pergi ke Bani Mushthaliq. Lalu aku datang menghadap dan berbicara dengan beliau, sementara saat itu beliau sedang shalat di atas untanya. Lantas beliau menjawab dengan tangannya seperti ini. Kemudian aku bicara kembali dan beliau kembali menjawab dengan isyarat tangannya begini. Saat itu aku mendengar bacaan beliau dan beliau memberikan isyarat dengan kepalanya. Setelah selesai, beliau bertanya, ‘Bagaimana hasilnya?’ Tadi aku tidak dapat menanggapi ucapanmu karena aku tadi sedang shalat.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud]

m. Membalas ucapan salam dengan isyarat

Jika seseorang mengucapkan salam kepada kita pada saat sedang shalat, sementara tidak mungkin menjawab salam dengan ucapan, maka kita boleh menjawabnya dengan menggunakan isyarat tangan.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Quba untuk mengerjakan shalat di sana, lalu orang-orang Anshar datang dan mengucapkan salam kepada beliau sementara beliau sedang shalat. Aku bertanya kepada Bilal, bagaimana cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salam kalian pada saat beliau sedang shalat? Ia menjawab: ‘Bagini’ sambil menghamparkan telapak tangannya (telapak tangan mengarah ke bawah dan punggung telapak tangan mengarah ke atas).” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih]

n. Jika imam terlalu memperlama sujud, makmum boleh meng-angkat kepalanya untuk mengetahui apa yang terjadi pada imam

Apabula kita shalat berjama’ah dan imam terlalu memperlama sujud, kita tidak mendengar takbir imam, atau disebabkan hal-hal lainnya, maka kita boleh bangkit dari sujud untuk melihat apa yang dikerjakan imam.

Hal ini berdasarkan hadits dari Abdullah bin Syaddad dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah keluar untuk mengimami kami shalat Isya’ sambil menggendong Hasan dan Husain. Lalu beliau maju ke depan dan meletakkan kedua cucunya itu lantas mengucapkan takbir shalat dan memulai shalatnya. Pada saat itu beliau sujud dengan sujud yang sangat lama.” Ayahku berkata, “Aku mengangkat kepalaku, dan ternyata Hasan dan Husain sedang duduk di atas punggung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang sujud. Lalu aku kembali ke sujudku. Seusai shalat, orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, engkau tadi sujud terlalu lama, hingga kami kira telah terjadi sesuatu, atau engkau sedang menerima wahyu.’ Beliau menjawab, ‘Tidak terjadi apa-apa, tetapi tadi cucuku menaiki punggungku dan aku tidak suka menurunkan mereka hingga mereka merasa puas’.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh An_Nasa’i (II/230)]

Maksud menaiki punggung adalah cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengendarainya dengan menaiki punggungnya.

o. Membaca Alquran dengan melihat mushaf pada shalat sunnah untuk suatu keperluan

Apabila seseorang ingin memperpanjang bacaan pada shalat sunnah sementara tidak ada surat panjang yang dihapalnya, maka tidak mengapa shalat dengan membaca mushaf.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Al_Qasim bahwasannya Aisyah pernah shalat di bulan Ramadhan dengan membaca langsung dari Mushaf. Al_Qasim berkata, “Pernah Aisyah diimami oleh hamba sahaya yang membaca pada mushaf.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dengan sanad mu’allaq dalam kitab Adzan, pada bab “Imam seseorang hamba.” Ibnu Abi Syaibah menyebutkan sanad yang bersambung, dan Abu Dawud dalam kitab Al_Mushahif ]

Penulis berkata, “Hadits ini tidak boleh dikerjakan pada shalat fardhu. Demikian juga pada shalat sunnah, jika tidak untuk suatu keperluan.”