Rhenald Kasali : IQ Saja Tidak Cukup


Depok, Rabu (3 Maret 2010)–Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia Rhenald Kasali menyampaikan, untuk meraih keberhasilan dalam hidup tidak cukup dengan mengandalkan IQ (intelligence quotient). Dia juga mengemukakan, menurut beberapa studi, talenta hanya merupakan potensi. Salah besar kalau hanya mengandalkan potensi itu sebagai IQ.

Menurut Rhenald, talenta akan menjadi suatu kenyataan, suatu yang dapat digunakan, jika seseorang berhasil memperoleh pegangan kehidupan, pekerjaan, profesi, maupun segala sesuatu yang bersifat nonmaterial. “IQ saja belum cukup karena itu hanyalah sekedar talenta,” katanya saat memberikan paparan pada Rembuk Nasional Pendidikan 2010 di Pusdiklat Kementerian Pendidikan Nasional, Depok, Jawa Barat, Rabu (3/3/2010).

Rhenald mengatakan, adalah tugas universitas untuk menyelaraskan talenta dengan kesempatan. Tugas universitas untuk menjembatani keduanya. “Mahasiswa punya talenta, bakat, kemudian kita juga lihat pasar yang menginginkan, ” ujarnya.

Rhenald berpendapat, enterpreneur bukan sekedar mencetak businessman dan usahawan, yang kaitannya dengan transaksi finansial. Enterpreneur sifatnya generik. Dia menyebutkan, ada tiga komponen penting dalam enterpreneur, yakni social enterpreneur, business enterpreneur, dan performance enterpreneur. “Orang di kampung yang kami latih supaya confidence ternyata sekarang menjadi lebih efektif dalam belajar. Yang penting ada kreativitasnya karena buah atau esensi dari enterpreneurship itu adalah kreativitas, ” katanya.

Rhenald mengemukakan, studi yang dilakukan oleh penulis Malcolm Gladwell, terungkap bahwa tidak seorang pun penerima nobel  bidang Kimia dan Kedokteran yang memiliki IQ di atas 150 atau jenius. “Orang-orang yang genius itu tidak menemukan pintunya,” katanya.

Pengetahuan, lanjut Rhenald, adalah satu hal yang diberikan di dunia pendidikan, tetapi kalau tidak menemukan ‘pintunya’ maka tidak akan pernah berhasil. Sebaliknya orang-orang yang memiliki talenta terbatas, tetapi mencari ‘pintu’ maka akan menemukan ‘pintunya’ dan akan berhasil. “Akhirnya dia akan memperoleh happiness dalam karir, keluarga, dan lain sebagainya,” ujarnya.

Indonesian Confrence on Children with Special Needs-Multi Perspectives on Inclusion


Jakarta, – Direktorat  Jenderal Pendidikan  Tinggi (Ditjen  DIKTI), Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia berkolaborasi dengan IndoCARE (Indonesia Centre for Autism Resource and Expertise) mengadakan konferensi pers di gedung DIKTI Kemendiknas, Jakarta, dengan narasumber Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal, Direktur Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Muchlas Samani dan Chairman of Indocare, Juny Gunawan, Senin (1/3) Sore.

Dalam keterangan pers wamendiknas menyampaikan, “Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) akan memperbanyak keberadaan sekolah inklusi. Saat ini terdapat 811 sekolah inklusi dengan 15.144 siswa. Mereka yang belajar di sekolah inklusi adalah gabungan siswa normal pada umumnya dan siswa berkebutuhan khusus,” katanya.

“Indonesia melakukan pendidikan yang mengarah kepada inclusive educationdengan memasukkan sebanyak mungkin potensi anak dengan kebutuhan khusus ke dalam sistem sekolah formal,” kata Fasli.

Fasli menyampaikan, meskipun anak-anak ini memerlukan kebutuhan khusus, tetapi kalau dimasukkan bersama-sama anak-anak normal lainnya justru lebih cepat kesembuhannya. Anak itu, kata dia, merasa tidak terasing dan bisa mengikuti apa yang dilakukan teman-temannya di sekolah inklusif. “Anak-anak normal, keluarga, dan guru, juga makin tahu bagaimana melayani anak berkebutuhan khusus ini. Akan kita kembangkan di seluruh provinsi dan masuk ke kabupaten dan kota,” ujarnya.

Kemendiknas, kata Fasli, akan berupaya memberikan penyadaran kepada guru dan kepala sekolah agar tidak melihat keberadaan siswa berkebutuhan khusus di sekolahnya sebagai beban. Menurut dia, hal ini adalah tugas mulia yang harus diemban. “Justru mereka yang seharusnya terpanggil bagaimana memberikan akses pendidikan yang bermutu kepada anak-anak yang berkebutuhan khusus ini. Mudah-mudahan orang tua dan pengambil kebijakan seperti DPR dan DPRD juga menuntut supaya pelayanan publik untuk anak-anak ini jangan sampai menjadi kelas dua dan sama dengan anak-anak yang lain,” katanya.

Fasli menyampaikan, Indonesia akan menjadi tuan rumah konferensi tentang anak dengan kebutuhan khusus atau Indonesian Conference on Children with Special Needs. Acara yang akan diselenggarakan pada 11-12 Maret 2010 ini terbuka bagi guru, orang tua, dan tokoh-tokoh masyarakat di seluruh Indonesia. “Seminar akan membahas dari multi perspektif baik dari sisi keilmuan dari sudut psikologi, pedagogi, kesehatan, dan gizi maupun juga dari orangnya, ada orang tua, tokoh
masyarakat, guru, birokrasi, dan legislatif,” katanya.

Untuk mengembangkan sekolah inklusi ini, kata Fasli, pemerintah akan memperbaiki sistem pelatihan guru, mengembangkan Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak-kanak dan Pendidikan Luar Biasa (P4TK TK dan PLB) di Bandung, Jawa Barat, dan memberikan insentif bagi sekolah-sekolah yang mau mencanangkan dirinya menjadi sekolah inklusif. “Sekolah bisa melakukan pelatihan lokal. Pelatihnya bisa outsource, tapi dananya kita berikan ke sekolah,” katanya.

Direktur Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Muchlas Samani, menyampaikan, guru-guru yang sekolahnya berminat menjadi sekolah inklusi akan diberikan pelatihan khusus. Selain itu, akan ada pembimbing khusus yang akan mengajar dari satu kelas ke kelas lainnya. “Harapannya makin banyak sekolah yang mau menerima anak-anak yang punya kebutuhan khusus,” katanya.

Pengurus Indocare, Juny Gunawan, mengatakan, pelatihan praktis diberikan kepada guru dan terapis. Selain itu, ada modul pelatihan bagi pendamping yang mengasuh. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang khusus menangani anak-anak autis usia 2-8 tahun ini juga akan melibatkan lulusan SMK Sosial untuk dibina dengan modul-modul vokasional menjadi guru di rumah. “Nanti lama-lama akan jadi guru di sekolah atau menjadi shadow teacher,” katanya.

Mendiknas Resmikan Rumah Sakit Pendidikan


Makassar, Menteri Pendidikan Nasional M Nuh meresmikan Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin (Unhas), Senin (15/2) kemarin.Rumah Sakit Pendidikan yang berlokasikan di bibir Kampus Unhas, Tamalanrea ini memiliki fungsi penelitian dan pendidikan, dan juga untuk pengobatan pasien, disamping itu juga ada pelayanan Fertility Endocrine Reproductive Centre atau bayi tabung. Operasional rumah sakit pendidikan ini baru akan dimulai pada minggu pertama Maret 2010 karena masih menunggu sambungan listrik.

Mendiknas, Mohammad Nuh mengatakan bahwa rumah sakit pendidikan menitikberatkan pada pelatihan tenaga medis ataupun dokter, baik untuk riset maupun pendidikan. Ini merupakan program nasional dari Kementerian Pendidikan Nasional untuk fakultas kedokteran yang ada di Indonesia.

Sementara itu, Mendiknas melanjutkan, karakter rumah sakit pendidikan sebagai pusat riset dan pendidikan jangan dimaknai bahwa pasien akan menjadi bahan eksperimen. Layanan kesehatan di rumah sakit pendidikan ini tetap berpegang teguh pada etika kedokteran dan asas profesionalitas.

“Saat ini, fasilitas serupa sedang dibangun di Surabaya, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan Medan. Tahun 2011 diperkirakan rampung,” kata Mendiknas.

Pada Kesempatan yang sama, Rektor Universitas Hasanuddin Prof Idrus Paturusi,menerangkan bahwa Hasanuddin University Hospital (HUH) lebih berkonsentrasi pada diagnostic centre dan hightech treatment melalui pemanfaatan teknologi dan alat kedokteran yang canggih serta sebagai pusat pelatihan bagi mahasiswa yang sedang belajar di perguruan tinggi atau pun tenaga praktisi rumah sakit yang hendak menambah keterampilan dan pengetahuan guna meningkatkan kualtas pelayanan kesehatan.

“Rumah sakit ini akan bekerja sama dengan RSUP Wahidin Sudirohusodo (RSWS) yang letaknya berdampingan dalam menyajikan pelayanan kesehatan,” jelas Idrus.

Mendiknas juga mengatakan, sebelumnya memang sudah ada kemitraan fakultas kedokteran dengan rumah sakit milik pemerintah. Namun, penekanan lebih diberikan pada pelayanan kesehatan daripada riset dan pendidikan.

Keberadaan rumah sakit pendidikan diharapkan bisa mengatasi tingginya rasio terisinya tempat tidur (bed occupation rate) karena digunakan pasien. Rumah sakit pendidikan juga akan menerima peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

Pendidikan Jangan Dijadikan Komoditas Politik


Makassar, Minggu (14 Februari 2010)–Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh meminta agar pendidikan jangan dijadikan komoditas politik. Untuk mengurusi pendidikan, kata Mendiknas, diperlukan politik pendidikan, tetapi tidak kemudian dijadikan komoditas sebagai barang jualan.

“Jangan jadikan komoditas politik oleh siapapun termasuk pemerintah pusat, pemerintah ini, calon presiden A, calon bupati, walikota, gubernur, jangan! Biarkan dengan alur pikir dari dunia akademik itu sendiri. Please, don’t touch,” kata Mendiknas saat melakukan kunjungan ke Harian Fajar, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (14/2/2010).

Pada kesempatan tersebut Mendiknas diterima Wakil Direktur Utama Agus Salim Alwi Hamu, Pemimpin Redaksi Harian Fajar Sukriyansah S.Latief, dan Wakil Pemimpin Redaksi Muhammad Yusuf AR.

Mendiknas menyampaikan, pendidikan gratis adalah bagus jika untuk membantu, tetapi kalau sasarannya untuk komoditas dan tidak melihat dari sektor lain maka akan menjebak sendiri. Oleh karena itu, kata Mendiknas, yang dilakukan sekarang bukan sekolah gratis karena kalau sekolah gratis seakan-akan gratis semua dan bisa muncul efek negatif. “Karena nggak bayar, ya seenaknya saja, ngga bayar kok? Oleh karena itu, yang kita kembangkan sekarang adalah (pendidikan yang) terjangkau. (Bagi) yang kaya ya subsidi lah, bayar lah, tetapi yang miskin yang tidak cukup, gratislah. Jadi sifatnya selected,” ujarnya.

Terkait pemanfaatan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Mendiknas mengatakan, BOS sifatnya adalah membantu bukan menutupi. BOS, lanjut Mendiknas, bukan untuk menjamin kebutuhan sekolah. “Bukan JOS, jaminan operasional sekolah, tapi BOS, bantuan. Oleh karena itu, ya yang cukup, yang kaya, ikut memberikan komputer, sehingga investasi di situ semakin besar,” katanya.

Menjawab pertanyaan wartawan tentang adanya arahan pembelanjaan dana BOS dari dinas, Mendiknas menegaskan, hal tersebut tidak dibenarkan. Kewenangan penggunaan BOS, kata Mendiknas, ada pada kepala sekolah. “Kenapa itu dilakukan? sebenarnya untuk memberikan otonomi sekolah-sekolah itu. Kalau tadi yang sampeyan sampaikan untuk pembelanjaan pengadaan ada direction dari atas maka menyalahi kodrat dari otonomi tadi. Jadi dengan adanya direction itu memunculkan ketidakpercayaan pemda dengan unit sekolahnya itu sendiri,” katanya.

Mendiknas menambahkan, pemerintah mengalokasikan dana alokasi khusus (DAK) sebanyak Rp 9,2 triliun. Mendiknas menjelaskan, dana itu digunakan untuk membangun kelas baru, perpustakaan, dan laboratorium. Selain DAK, kata Mendiknas, ada program yang tidak disalurkan melalui kabupaten atau kota, tetapi langsung dalam bentuk bangunan. “Kalau DAK ini kan ini dananya seratus.. langsung ditransfer ke kebupaten kota A. Nanti kabupaten kota sendiri yang menentukan dipakai untuk sekolah yang mana. Kami hanya memberikan panduan kalau dipakai untuk memberikan laboratorium ukurannya sekian-sekian, peralatannya, dan sebagainya,” katanya.***