Berbagi Perspektif Kebijakan Pendidikan Tinggi


Jakarta 31 Januari 2011, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) bekerjasama dengan Komisi X DPR RI menggelar “Cross-Sectoral Dialogue: International Perspective on Tertiary Education Policies in Indonesia”. Hadir sebagai pembicara pada acara tersebut Koordinator World Bank’s Network of Tertiary Education Professionals, Mr. Jamil Salmi dan Koordinator Tim RUU-RPP Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Siswo Wiratno.

Workshop ini bertujuan agar para penyusun draft undang-undang baru tentang pendidikan tinggi dan para pembuat keputusan memperoleh perspektif baru mengenai kebijakan pendidikan tinggi internasional. Sehingga diharapkan melalui workshop ini, para stakeholder dapat belajar dan mengidentifikasikan best practice yang dapat diadaptasikan ke dalam konteks pendidikan tinggi di Indonesia. Workshop yang dibuka secara resmi oleh Dirjen Dikti Djoko Santoso dihadiri oleh anggota Komisi X DPR RI, pejabat di lingkungan Kemdikbud, Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Nasional serta perwakilan dari beberapainstansi pendidikan internasional.

Djoko dalam sambutannya menekankan agar peserta workshop dapat menjadikan pengalaman dan pengetahuan dari Mr. Jamil sebagai referensi untuk menentukan kebijakan baru di bidang pendidikan tinggi. Pengalaman dan pengetahuan tersebut bukan untuk ditiru seratus persen, namun hanya diambil bagian terbaik untuk diadaptasi sesuai dengan konteks pendidikan di Indonesia. Menurut Djoko, beberapa isu di pendidikan tinggi yang perlu dicari solusi terbaiknya adalah mengenai Angka Patisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi dan penguatan pendidikan vokasi.

Dalam paparannya, Mr Jamil menekankan tiga aspek dalam perkembangan pendidikan tinggi  yaitu; pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan, perubahan akan kebutuhan dan praktek pendidikan tinggi serta dampak dan manfaat pendidikan tinggi bagi negara berkembang. Jamil menjelaskan bahwa perguruan tinggi harus memperbaharui ilmu pengetahuan mereka, terutama ilmu pengetahuan yang sangat berkaitan erat dengan kebutuhan daerah mereka masing-masing. Bidang ilmu seperti seismologi, vulkanologi dan klimatologi adalah bidang ilmu yang harus dikembangkan di daerah yang rawan bencana. Adapun bagi perguruan tinggi di negara berkembang, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi yaitu kualitas pendidikan dan relevansinya, pendanaan yang berkelanjutan dan fleksibilitas.

Perubahan cara mendapatkan pendidikan juga mengharuskan perguruan tinggi untuk lebih kreatif mengikuti perubahan tersebut. Dapat dibayangkan kecepatan mendapatkan pengetahuan didukung oleh perkembangan teknologi saat ini sehingga seseorang dengan mudah mendapatkan pengetahuan kapan pun dan dimana pun. Jamil yakin bahwa dimasa yang akan datang akan lebih banyak mahasiswa belajar secara online dibandingkan belajar di kampus.

Dalam kesempatan yang sama, Siswo Wiratno menjelaskan pengalaman Indonesia dalam pembuatan kebijakan pada sektor pendidikan tinggi. Melalui workshop ini Siswo menekankan bahwa Undang-Undang Otnomi Perguruan Tinggi bukanlah ditujukan untuk komersialisasi ataupun liberalisasi pendidikan tinggi, namun untuk peningkatan kualitas perguruan tinggi. Senada dengan Siswo, Ketua Komisi X, Rully Choirul Azwar, mengharapkan agar dengan adanya undang-undang otonomi perguruan tinggi, masyarakat dapat lebih berpartisipasi dan bertanggungjawab terhadap dunia pendidikan tinggi, dengan tetap menjaga keterjangkauan perguruan tinggi bagi kalangan yang tidak mampu.

Sumber: http://www.dikti.go.id

Tumbuhkan Kesadaran Kolektif Gemar Membaca


Sumber: http://www.depdiknas.go.id/

Jakarta, Senin (14 Desember 2009) — Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menegaskan, urusan pembudayaan membaca tidak bisa diselesaikan hanya dengan undang – undang, tetapi justru harus dikembangkan kesadaran kolektif bagi masyarakat agar gemar membaca.

“Kita itu kekurangan pada kolektivitasnya. Ada orang yang sangat gemar membaca di Indonesia, sangat banyak, tetapi banyaknya itu belum cukup menggerakkan dibandingkan dengan populasi penduduk kita. Paling tidak para pengelola perpusatakaan itu semuanya sudah gemar (membaca), tetapi berapa jumlah orangnya? tidak ada sekian persen dari jumlah populasi. Oleh karena itu, kita perlu menumbuhkan kesadaran kolektif (gemar membaca),” katanya saat membuka Seminar Nasional Pembudayaan Kegemaran Membaca di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Senin (14/12/2009).

Mendiknas menyampaikan, untuk menumbuhkan gemar membaca harus menyiapkan pertama adalah bahan bacaan. Kalau itu berupa buku, kata Mendiknas, maka dipengaruhi oleh bentuk fisik dari buku itu. “Kalau bukunya itu sendiri sudah tidak menarik maka jangan berharap orang bisa tertarik untuk membacanya,” katanya.

Hal kedua yang harus disiapkan, kata Mendiknas, adalah karakter atau huruf dalam bahan bacaan. Di situ pula, lanjut Mendiknas, tentang pentingnya pemberantasan buta huruf. “Orang tidak mungkin mau membaca kalau dia sendiri tidak mengenal karakter dari apa yang mau dibaca,” ujarnya.

Lebih lanjut Mendiknas mengatakan, hal yang ketiga, yang sangat substantif, adalah isi dari buku itu sendiri. “Menjadi tantangan bagi para penulis kita termasuk kita semua untuk membiasakan menulis dan isi dari tulisan itu harus bisa memberikan pencerahan dan pencerdasan bagi kita semua,” katanya.

Sementara, kata Mendiknas, jika dilihat dari sisi pembaca, seseorang akan gemar membaca adalah bukan karena paksaan. Untuk itu, lanjut Mendiknas, yang tidak boleh dilupakan adalah menumbuhkan ketertarikan. Jika bahan bacaannya menarik maka bukan dari sekedar bahan – bahan yang sudah tersedia lalu seseorang baru mau membaca, tetapi dia akan mencarinya. “Oleh karena itu, kita bangun kesadaran bersama – sama, kita ajak kawan – kawan untuk membiasakan menulis dan menyiapkan bahan bacaan secara atraktif dan menarik,” ujarnya.

Mendiknas mengemukakan, selama ini orang salah meletakkan paradigma yang meletakkan perpustakaan sebagai dapur, sehingga tidak perlu dikemas dalam bentuk yang atraktif. Mendiknas menyarankan, agar merombak tampilan perpustakaan mulai dari bangunan, tanpa harus dirobohkan, lalu akrab dengan teknologi, dan update bahan – bahan. “Menunjukkan bahwa perpustakan itu bukan sesuatu yang harus ditaruh di belakang seperti lazimnya sekedar pelengkap penderita, tetapi justru mestinya perpustakaan itu dengan segala rentetannya dia menjadi penjuru, menjadi yang harus di depan untuk memberikan guidance, memberikan bahan – bahan pencerdasan adik – adik dan anak – anak kita,” katanya.

Plt Perpustakaan Nasional RI Liliek Sulistyowati mengatakan, diantara ciri masyarakat yang berbudaya baca tinggi adalah besarnya apresiasi mereka terhadap buku, pengarang, dan penulis, di mana terdapat hubungan yang positif antara minat baca, kebiasaan membaca, serta kemampuan membaca dan menulis. “Minat baca yang tinggi akan menimbulkan kebiasaan membaca yang baik, sehingga mempertinggi kemampuan seseorang di dalam membaca dan menulis,” katanya.

Liliek mengungkapkan, minat dan kemampuan baca di Indonesia dikatakan masih rendah. Dia menyebutkan, menurut hasil survei yang dilakukan oleh UNESCO dua tahun yang lalu, minat baca masyarakat Indonesia adalah paling rendah di ASEAN, sedangkan survei yang dilakukan terhadap 39 negara – negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-38. “Ada banyak faktor yang menyebabkan budaya atau minat baca masyarakat Indonesia masih rendah antara lain disebabkan oleh sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat pelajar atau mahasiswa harus membaca buku, mencari, dan menentukan informasi lebih dari sumber yang diajarkan di sekolah,” katanya.

Faktor lainnya, kata Liliek, yaitu kurang atau jarangnya guru atau dosen memberikan tugas yang membuat anak didik harus mencari informasi di perpustakaan, serta budaya baca yang tidak pernah diwariskan oleh nenek moyang kita, “Kita lebih terbiasa mendengar orang tua ataupun kakek nenek kita bercerita dan mendongeng ketimbang membacakan buku – buku cerita ataupun bahan bacaan lainnya.

Faktor berikutnya, lanjut Liliek adalah pengaruh budaya dengar, tonton, dan media elektronik yang berkembang pesat. Lalu, kebiasaan para orang tua di rumah tangga belum memotivasi anak-anak untuk gemar membaca ditambah lagi tidak atau kurang tersedianya bahan bacaan yang sesuai dengan usia anak – anak.

Selain beberapa faktor tersebut, Liliek menambahkan, hal lain yang menyebabkan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia adalah sebagian besar masyarakat Indonesia menghabiskan waktunya untuk bekerja, sehingga tidak tersedia waktu untuk membaca. “Hanya kalangan tertentu saja yang benar – benar mencurahkan waktu untuk membaca dan atau menulis seperti wartawan, guru, dosen, peneliti dan pustakawan. Itupun dalam jumlah yang terbatas,” ujarnya.

Kurang tersedianya buku – buku yang berkualitas dengan harga yang terjangkau, sehingga buku masih dianggap sebagai barang mewah juga menjadi faktor penyebab rendahnya minat baca. Selain itu, kurang tersedianya perpustakaan di tempat-tempat umum yang mudah dijangkau, serta tidak memadai koleksi, fasilitas, dan pelayanan yang ada. Kemudian, tidak meratanya penerbitan buku dan distribusinya ke seluruh pelosok tanah air di indonesia. “Buku – buku terbaru dan bermutu lebih terkonsentrasi di kota – kota besar,” kata Liliek.

Duta Baca Indonesia Tantowi Yahya menyampaikan, selain sekolah sebagai institusi yang mengajarkan membaca, peran ibu juga sangat penting. Seorang ibu, kata dia, memiliki waktu jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayah. Anak juga lebih dekat dengan ibu. “Ibu punya kekuatan luar biasa untuk membentuk anak. Kalau ibu menggunakan peranannya dalam konteks memberikan contoh yang baik bagi anaknya, dalam hal ini membaca, Insya Allah anak akan menjadi pembaca. Apa yang dilakuan ibu saya sebagai orang kampung lulusan madrasah adalah dia tidak memaksa saya untuk membaca, tetapi di depan saya dia baca terus. Jadi dia memberikan contoh. Contoh itu yang terlihat dan kemudian terekam di saya seumur hidup saya,” katanya.

Kepala Sub Direktorat Kemitraan Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Kasubdit Kemitraan Dit.Dikmas Ditjen PNFI) Depdiknas Pahala Simanjuntak menyampaikan, pemerintah memberikan dukungan bagi taman bacaan masyarakat (TBM) termasuk untuk merintis yang baru.

Pahala menyebutkan, ada dua jenis bantuan yang diberikan. Pertama adalah TBM  Keaksaraan. Bantuan sebanyak Rp 15 juta diberikan untuk membeli buku-buku yang relevan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Bantuan yang kedua adalah TBM Penguatan Minat Baca sebanyak Rp 25 juta. “TBM ini untuk mengembangkan minat baca  dalam rangka pembudayaan kegemaran membaca. “Seringkali masyarakat kita yang putus sekolah akhirnya terpengaruh oleh hal – hal yang tidak kita inginkan karena tidak adanya wawasan untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas hidup,” katanya.***

TIK sebagai Bagian Budaya Para Pendidik


Sumber: http://www.depdiknas.go.id/

Yogyakarta, Rabu (9 Desember 2009) — Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah memasukkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ke dalam salah satu program prioritasnya. TIK dianggap memiliki peran besar dalam upaya memperluas akses dan meningkatkan mutu pendidikan. TIK memungkinkan terjadinya proses belajar efektif, menyediakan akses pendidikan untuk semua, memfasilitasi terjadinya proses belajar kapan saja dan di mana saja.

Sekretaris Jenderal Depdiknas Dodi Nandika mengatakan, pemanfaatan TIK hendaknya tidak hanya berkutat pada penyediaan perangkat keras saja. Menurut dia, TIK hendaknya diletakkan sebagai aspek kultur dan budaya para pendidik. “Tantangan terbesar kita bukan pada perangkat keras dan jaringan, tetapi bagaimana budaya TIK menjadi bagian dari para guru kita dalam memberikan proses-proses pembelajaran di kelas – kelas,” katanya saat mewakili Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) pada pembukaan International Symposium On Open, Distance, and E-Learning (ISODEL) 2009 di Hotel Sheraton, Yogyakarta, Rabu (9/12/2009).

Membacakan sambutan tertulis Mendiknas, Dodi menyampaikan, pemanfaatan TIK untuk pendidikan terjadi melalui empat tahapan yaitu konektivitas, transaksi, kolaborasi, dan transformasi. Pemerintah, kata dia, telah dan akan terus memfasilitasi terjadinya konektivitas, salah satunya melalui Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas). Dia menyebutkan, saat ini Jardiknas telah menghubungkan 25.382 titik yang terdiri atas lebih dari 18.080 sekolah jenjang SD, SMP, SMA/SMK, dan 363 perguruan tinggi, 939 kantor dinas pendidikan di tanah air, serta 6.000 guru. “Ke depan jumlah ini masih akan bertambah,” katanya.

Sementara, lanjut Dodi, pada tahap transaksi, pemanfaatan TIK akan memberikan akses dan kemudahan terjadinya pertukaran dan kesempatan berbagi pengetahuan antar berbagai pihak dalam komunitas pendidikan. Kolaborasi merupakan tahapan berikutnya dalam pemanfaatan TIK untuk pendidikan. “Pemanfaatan TIK dalam pendidikan tidak pernah luput dari jaringan kerja sama yang kuat dalam bentuk jejaring atau konsorsium pendidikan yang melibatkan berbagai pihak dan sektor,” katanya.

Adapun pada tahap transformasi, Dodi menjelaskan, TIK merupakan pengungkit dari proses transformasi pendidikan menuju pendidikan modern. “TIK membawa beragam perubahan dalam tradisi dan budaya pendidikan yang harus dicermati dengan bijak oleh berbagai pihak yang terlibat,” katanya.

Dodi mengatakan, dengan TIK, perguruan tinggi diharapkan dapat bertransformasi menjadi perguruan tinggi kelas dunia, dan sekolah-sekolah menjadi sekolah berstandar internasional yang memiliki daya saing dalam percaturan pendidikan tingkat global. “Keberhasilan proses transformasi budaya pendidikan di tanah air akan tercapai jika TIK tidak ditempatkan sebagai teknologi  yang kosong. Untuk itu, diperlukan konten yang mengisi teknologi tersebut, serta sumber daya manusia terutama guru yang terampil memanfaatkan teknologi secara tepat, sehingga peningkatan kualitas pembelajaran dapat dicapai,” katanya.

Dodi menambahkan, sejak tahun 2008 Depdiknas telah berkolaborasi dengan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) dalam menyediakan konektivitas untuk sekolah melalui Program Desa Berdering. Sinergi antara program desa berdering dan Jardiknas saling melengkapi. “Program Desa Berdering  memperkuat dengan telepon, kami memperkuat sekolah dengan jaringan internetnya, sehingga guru – guru, siswa – siswa, dapat belajar dari internet dibackup oleh Jardiknas. Mudah – mudahan makin sempit desa – desa yang tidak dapat diakses oleh jaringan telekomunikasi. Ini sangat penting, bukan hanya di pendidikan, tetapi berbagai aspek kehidupan seperti hubungan individu, perdagangan transaksi, dan sosial,” katanya.

Menjawab pertanyaan wartawan usai acara, Dodi mengatakan, pelaksanaan program TIK yang tertuang pada rencana strategis (Renstra) Depdiknas 2004 – 2009 ini didanai murni dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Di sisi lain, pemerintah terbuka dalam menjalin kerja sama dengan pihak manapun. “Kami tidak sama sekali mengandalkan bantuan luar negeri. Adapun dalam kerja sama kami welcome,” ujarnya.

Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan Depdiknas Lilik Gani menyampaikan, terkait Program 100 Hari Depdiknas untuk menyediakan konektivitas TIK bagi 17.500 sekolah, per 8 Desember 2009 telah terhubung 17.324 titik. Dia merinci, sebanyak 8.307 jenjang SD, 5.284 SMP, 1.586 MI, dan 2.147 MTs. “Jadi sudah 98,99 persen,” katanya.

Lebih lanjut Lilik menyebutkan, jika digabung dengan sebanyak 7.222 titik di jenjang SMA/MA/SMK total yang terkoneksi sebanyak 24.546 titik. “Program 100 Hari hanya untuk SD dan SMP sederajat,” ujarnya.***