Keutamaan Puasa Ramadhan


 imagesSegala puji bagai Allah. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi terakhir, Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabat dan siapa saja yang mengambil petunjuknya hingga hari kiamat.

Adapun selanjutnya:

 

Puasa memiliki berbagai keutamaan, sehingga sudah selayaknya engkau, wahai saudaraku Muslim, memperhatikan puasamu. Di antara keutamaan puasa Ramadhan:

  1. Puasa Ramadhan merupakan sebab penghapusan dosa. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:

((مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ))

“Siapa yang puasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

[HR. As-Syaikhân]

Sabda Nabi -shalallahu alaihi wasalam- yang lain:

(( الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ))

“Antara shalat lima waktu, Jumat ke Jumat, Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa di antara itu semua, jika dosa besar dapat dihindari.”

[HR. Muslim dan selainnya]

  1. Balasan pahala puasa tidak terhingga. Tidak ada batasan jumlahnya.

Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:

((قال الله تعالى :كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ))

“Allah -ta’âla- berfirman: ‘Seluruh amal anak Adam untuknya, kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, dan Aku yang akan mengganjarnya.”

[HR. As-Syaikhân]

Dalam riwayat Muslim:

(( كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي))

“Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya sepuluh kali lipat hingga 700 kali lipat. Allah -azzawajalla- berfirman, ‘Kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, dan Aku yang akan mengganjarnya. Dia meninggalkan nafsu dan makanannya demi Aku.”

[HR. As-Syaikhân]

  1. Bau mulut orang yang puasa lebih wangi di sisi Allah dari bau minyak misk. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:

((وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ))

“Demi yang jiwa Muhammad berada di tanggan-Nya, sungguh bau mulut orang yang puasa lebih wangi di sisi Allah dari pada bau misk.”

[HR. Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim)]

  1. Orang yang puasa memiliki dua kebahagiaan. Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- :

((وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ))

“Orang yang puasa memiliki dua kebahagiaan yang membuatnya berbahagia; bahagia ketika berbuka puasa dan bahagia ketika berjumpa Tuhannya dengan puasanya.”

[HR. Syaikhân)

  1. Puasa adalah tameng dan pelindung. Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:

((وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ))

“Puasa adalah tameng.”

[HR. Syaikhân]

  1. Puasa memberi syafaat kepada pengamalnya pada hari kiamat. Dalam Hadits Abdullah Ibnu Amr -radiallahu’anhu- Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:

(( الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ))

“Puasa dan al-Quran memberi syafaat kepada seseorang pada hari kiamat. Puasa berkata, “Wahai Tuhanku, aku cegah dia dari makan dan nafsunya di siang hari, jadikan aku sebagai penyafaatnya.’ Al-Quran berkata: “Aku cegah dia dari tidur malamnya, jadikan aku sebagai penyafaatnya.’ Nabi berkata: “Keduanya pun memberinya syafaat.”

[HR. Ahmad dan Hakim. Hadits sahih]

  1. Di surga terdapat pintu bernama Ar-Royyân yang dimasuki hanya oleh orang-orang yang puasa. Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:

(( وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ))

“Siapa yang termasuk ahli puasa, akan dipanggil dari pintu surga ar-Royyân.”

[HR. Syaikhân]

Sabdanya -shalallahu alaihi wasallam- yang lain:

(( إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ))

“Di surga ada pintu yang disebut ar-Royyân. Orang-orang yang puasa akan masuk dari pintu itu pada hari kiamat, tidak seorang pun masuk selain mereka. Diserukan: “Mana orang-orang yang berpuasa!” Maka mereka pun mendatanginya. Tidak seorang pun dari mereka selain memasukinya. Jika semua telah masuk, pintu pun ditutup, tak seorang pun memasukinya setelah itu.”

  1. Puasa sehari fii sabilillah (dalam jihad), menjauhkannya dari panas neraka jahanam sejauh 70 tahun. Sebagaimana sabda Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-:

(( مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ حَرَّ جَهَنَّمَ عَنْ وَجْهِهِ سَبْعِينَ خَرِيفًا))

“Siapa yang puasa sehari dalam jihad, Allah jauhkan dengan satu hari itu panas neraka jahanam dari wajahnya sejauh 70 tahun.”

[HR. An-Nasai dan Ibnu Majah. Hadits sahih. As-Syaikhân juga meriwayatkan yang serupa]

Tarhib Ramadhan Terbaru


Tarhib Ramadhan: Menjadi Lulusan Madrasah Ramadhan Dengan Gelar M.Tq.*

 

Bulan Sya’ban telah hampir kita masuki. Dalam bulan-bulan mulai bulan Rajab, pendahulu kita menganjurkan untuk melantunkan do’a:
“Allaahumma baariklanaa fii Rajaba wa Sya’bana wa balighna Ramadhana.”
Yang artinya: “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban ini, dan sampaikanlah umur kami bertemu Ramadhan.”

Dalam lafadz do’a di atas terdapat kata “berkahilah”. Apakah makna dari “berkah” itu? Berkah memiliki makna ziyadatul hasan atau ziyadatul khair, yaitu bertambahnya kebaikan. Sesuatu itu bisa disebut berkah manakala ada sebuah peningkatan atau bertambahnya kebaikan yang dikarenakan sesuatu itu. Misalnya seseorang memiliki keberkahan rizki, itu berarti rizki tersebut memberikan tambahan kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Entah dengan rizki itu dia dapat menjalankan ibadah dengan lebih baik, atau menunaikan hak orang-orang fakir dan miskin, dan seterusnya. Yang jelas ada nilai kebaikan dari sesuatu itu, yang tentunya kebaikan tidak hanya di dunia namun juga di akhirat.

Kaitannya dengan bulan Rajab dan Sya’ban ini, kita memohon kepada Allah keberkahan agar ada suatu pertambahan kebaikan dalam diri kita. Sehingga nantinya juga siap dalam memasuki sebuah masa tarbiyah selama sebulan yang telah diprogramkan Allah secara rutin. Rasulullah saw. pun senantiasa mempersiapkan diri dalam menghadapi Ramadhan ini sejak Rajab, salah satunya dengan memperbanyak puasa. Dan kita, tentunya juga harus melakukan persiapan-persiapan menuju sarana tarbiyah kita, Madrasah Ramadhan ini sehingga nantinya kita dapat memperoleh hikmah Ramadhan.

Kita berdo’a: “Ya Allah, jadikanlah Ramadhan kami kali ini hamparan taman bunga, tempat kami merasakan indahnya hidup bebas dari segala amarah dan syahwat.”

Ramadhan adalah bulan dimana kita hendaklah melepaskan diri dari amarah dan syahwat. Karena sejatinya berpuasa dalam bulan Ramadhan adalah menahan diri dari syahwat (keinginan) baik mulut, perut dan apa yang ada di bawah perut, serta menahan diri dari amarah. Dua hal itulah yang senantiasa membebani hidup manusia sehingga tidak dapat merasakan hakikat hidup. Ketika kita bisa membebaskan diri dari amarah dan syahwat, maka hidup ini akan terasa enak, nikmat, ringan dalam beramal dan berbuat kebaikan. Nah, hal itulah yang menjadi target kualifikasi dari para lulusan Madrasah Ramadhan. Lalu, bagaimanakah persiapan kita agar dapat menjadi murid yang baik di Madrasah Ramadhan?

Spesifikasi Madrasah Ramadhan
Program Madrasah Ramadhan dirancang untuk menghasilkan lulusan dengan gelar M.Tq. (Manusia Taqwa atau Master of Taqwa juga boleh dech ^___^). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Dalam ayat itu terdapat kata “la’alla”. Kata “la’alla” ini jika yang mengucapkan manusia maka memiliki makna harapan. Jadi “la’allakum tattaquun” berarti “semoga kamu bertaqwa”. Akan tetapi lain halnya jika yang mengatakan “la’alla” adalah Allah, maka bukan bermakna harapan lagi namun bermakna kepastian (insya’i). Sehingga “la’allakum tattaquun” berarti “agar kamu bertaqwa”.

Dari makna “la’alla” di atas dapat dipahami bahwasannya menjadi taqwa itu adalah kepastian, meraih gelar M.Tq. adalah sebuah keniscayaan. Namun tentu saja dengan syarat, telah memenuhi kualifikasi tertentu. Sebagaimana kita ingin meraih gelar sarjana, tidak mungkin kita mencapainya tanpa kita melaksanakan aturan-aturan sebagaimana yang ditetapkan, misalnya kita sering sekali mombolos kuliah, tidak mengerjakan tugas yang diberikan dosen, tidak mengikuti ujian dan sebagainya. Untuk meraih gelar M.Tq. pun kita diharuskan memenuhi beberapa kualifikasi.

Gelar M.Tq. akan dianugerahkan jika memenuhi kualifikasi berikut ini.
a. Tawadhu’
Kesadaran bahwa seluruh kelebihan dan keistimewaan yang ada pada diri kita bukanlah alat untuk menyombongkan diri.

b. Qana’ah
Selalu menerima dengan lapang apa saja yang Allah karuniakan. Mendekap suka maupun duka dengan kadar kemesraan yang sama.

c. Wara’
Menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah. Pada bulan Ramadhan, yang halal saja (makan dan minum) ditahan apalagi yang haram.

d. Yakin
Bahwa sesuangguhnya musibah yang ditimpakan kepada diri, suatau saat akan sirna tenggelam di batas cakrawala kehidupan yang tunduk di hadapan Kehendak dan Keagungan Allah.

Coba kita lihat dari empat produk dari puasa (natiijatush- shaum) yakni tawadhu’, qana’ah, wara’ dan yakin, apabila ditulis huruf bahasa Arab maka huruf pertama dari masing-masing kata tersebut adalah ta’, qaf, wawu dan ya’. Apabila huruf-huruf pertama itu disusun, maka akan terbentuk kata TAQWA. Inilah sebenarnya sesuatu yang akan dicapai dari ibadah puasa itu.

Mari kita kaitkan dengan empat hal yang PASTI akan terjadi dalam hidup kita, yakni:
1. Kita membutuhkan sesama manusia
Kita tidak bisa hidup sendiri. Coba kita ambil contoh salah satu kebutuhan pokok kita yakni sandang, dan kita ajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan asal muasal sandang itu. Baju yang kita pakai itu siapa yang membuat? Baju itu dibuat dari kain, nah siapa yang membuat kain? Kain itu dari benang-benang yang dirajut, lalu siapa yang merajut benang itu? Benang itu dipintal dari kapas, lalu siapa yang memintal kapas itu? Kapas itu diambil dari pohon kapas, lalu siapa yang menanamnya? Dalam budidaya tanaman kapas, dibutuhkan beberapa alat, juga pupuk, obat dal lain-lain. Siapa saja yang membuat itu? Nah, jika dirunut ke asal-muasal suatu barang yang kita punya, maka mungkin dia melibatkan banyak sekali manusia dalam proses pembuatannya. Coba bayangkan jika kita hidup sendirian.

Kita membutuhkan orang lain, maka harus bisa diterima oleh orang lain. Agar bisa diterima oleh sesama manusia, maka membutuhkan sifat tawadhu’ (rendah hati). Orang yang tawadhu’ akan disukai oleh orang lain, berbeda dengan orang yang angkuh dan sombong, biasanya dibenci orang lain.

2. Kita membutuhkan harta
Bagaimana kita bisa hidup tanpa harta? Semua benda fisik yang kita miliki sejatinya adalah harta. Namun, semua harta di dunia tidak harus dimiliki manusia agar manusia merasa cukup. Banyak orang salah mengira bahwa dia akan puas manakala memiliki banyak harta seperti rumah mewah, mobil berlimpah, simpanan di bank meruah-ruah, istri… ya nggak hanya satu lah. Nyatanya banyaknya harta itu tidak membuat bahagia, karena tidak pernah merasa cukup.

Nah, manusia akan senantiasa merasa cukup manakala ada sifat qana’ah dalm dirinya. Orang yang qana’ah dapat menerima apa saja dan bagaimana saja keadaan dirinya. Setelah berusaha apa saja yang dia bisa, dia akan menyerahkan sisanya pada Allah dan menerima apa saja yang dikaruniakan padanya dan mensyukurinya. Orang qana’ah ini akan hidup pas-pasan, pas ada pas butuh, dan pas tidak ada pas tidak butuh. Karrena dia tidak mau mengada-adakan yang tidak ada, dan berpikir pada apa saja yang ada.

3. Kita membutuhkan Allah swt.
Selaku makhluk kita tentunya sangat membutuhkan Allah swt. Dialah yang menciptakan kita, menjaga kita, memberi rizki pada kita, menolong kita, mengabilkan do’a kita, memberikan yang kita ingini … apa saja. Maka mau jadi apa kita kalau tidak membutuhkan Dia?

Orang yang membutuhkan Allah hendaknya berusaha semaksimal mungkin agar dincintai Allah. Dengan dicintai Allah, maka semua harapannya akan terpenuhi. Agar dicintai Allah maka haruslah wara’ karena wara’ adalah salah satu wujud ketaatan pada-Nya.

4. Kita membutuhkan ketenangan
Ketenagan adalah hal yang kita dambakan. Itulah salah satu faktor yang akan membuat kita bahagia. Ketenangan hidup dicapai manakala manusia mempunyai keyakinan, bahwa apapun yang Allah berikan adalah demi kebaikan dirinya. Meskipun Allah memberikan musibah, pastilah itu juga demi kebaikan manusia. Meski pula apa yang kita harapkan belum terkabulkan. Allah tahu apa yang terbaik bagi kita. Keyakinan seperti itulah yang akan memberikan ketenangan pada diri manusia.

Ramadhan adalah hamparan waktu yang dibentangkan Allah Ta’ala agar kita bisa menjadi tawadhu’, qana’ah, wara’ dan yakin. Maka hendaknya kita tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk menjadi murid yang baik dalam Madrasah Ramadhan dan akhirnya nanti lulus dengan spesifikasi tersebut.

Ramadhan yang akan datang adalah bagai tamu agung, yang tentu harus disambut dengan sebaik-baiknya. Ada adab yang berlaku untuk menyambut tamu yang juga berlaku untuk menyambut tamu agung Ramadhan.
1. Tidak membiarkan rumah kita seperti rumah hantu
Suatu hari kita berkunjung ke rumah teman kita. Ternyata setelah sampai ke sana, halaman rumahnya penuh dengan daun-daun kering tanda tidak pernah disapu. Saat masuk, ternyata sarang labah-labah memenuhi sela-sela ruangnya. Banyak juga penghuni rumah selain manusia, ada tokek, banyak nyamuk, berkeliaran tikus, kecoak. Belum lagi saja terlihat seperti mau roboh. Coba, apa yang ada di benak kita sebagai tamu?

Maka jangan biarkan ’rumah’ yang kita miliki seperti itu. Kita jadikan rumah yang berujud hati kita, bersih, indah lagi menawan. Maka untuk menyambut tama Ramadhan kita, hati kita hendaknya bebas dari segala kotoran, bersih dari segala penyakit hati.

2. Tidak menjadikan rumah kita, rumah yang ’tertutup’
Bagaimana tamu mau masuk ke rumah yang tertutup? Rumah yang tertutup bisa jadi akan memberikan kesan bahwa si empunya rumah tidak menerima tamu. Sehingga yang ingin bertamu menjadi segan. Berbedadengan rumah yang senantiasa terbuka, maka kapanpun ada tamu pasti akan disambut.

Maka jadikan rumah itu rumah yang senantiasa terbuka. Ketika rumah itu , yaitu hati yang mudah tersentuh dengan segala kebaikan dan kemuliaan.

3. Tidak membiarkan rumah kita, rumah yang  gelap gulita
Agak meragukan juga melihat rumah yang gelap gulita. Tamu akan ragu apakah di dalamnya ada penghuninya ataukah tidak. Dan yang akan bertamu akan segera berpikir, rumah itu sedang kosong sehingga mau tidak mau dia tidak jadi bertamu di rumah itu.

Untuk menyambut tamu kita, kita terangi rumah (hati) kita dengan penerangan terbaik. Dan penerangan terbaik adalah dengan cahaya ingat mati dan rindu akhirat. Tanda hati yang bertabur cahaya adalah:
a. telah kembali ke kampung akhirat, yakni selalu membayangkan atau berangan-angan telah berada di akhirat (merasakan suasana surga).
b. bersih dari segala tipu daya dunia
c. selalu siap kapan pun kematian datang menyapa

4. Kita sambut semua tamu yang datang dengan ’senyum’
Senyum itu adalah rasa bahagia hati kita menyambut tamu Ramadhan.

5. Kita suguhi tamu kita dengan suguhan terlezat dan minuman ternikmat
Suguhan yang disukai oleh Ramadhan:
a. tilawah Al-Qur’an
b. shadaqah dan infaq
c. memperbanyak shalat
d. puasa dengan ihtisab (ikhlas)

Isinya disalin dari blog tetangga ….

Menantikan Malam Kemuliaan (Lailatul Qadar)


Menantikan Malam Kemuliaan (Lailatul Qadar)

Ditulis Ulang Oleh: Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I


Segala puji bagi Allah atas berbagai macam nikmat yang Allah berikan. Shalawat dan salam atas suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya dan para pengikutnya.

Para pembaca -yang semoga dimudahkan Allah untuk melakukan ketaatan-. Perlu diketahui bahwa sepertiga terakhir bulan Ramadhan adalah saat-saat yang penuh dengan kebaikan dan keutamaan serta pahala yang melimpah. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Oleh karena itu suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamdahulu bersungguh-sungguh untuk menghidupkan sepuluh hari terakhir tersebut dengan berbagai amalan melebihi waktu-waktu lainnya. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa beristiqomah dalam beribadah di malam-malam kemuliaan (lailatul qadar) tersebut.

Keutamaan Lailatul Qadar

Pertama, lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan (bertambahnya kebaikan). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar: 1). Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya (yang artinya), Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar: 3-5). Sebagaimana kata Abu Hurairah, malaikat akan turun pada malam lailatul qadar dengan jumlah tak terhingga. Malaikat akan turun membawa kebaikan dan keberkahan sampai terbitnya waktu fajar. (Zaadul Maysir, 6/179)

Kedua, lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan. An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” Mujahid dan Qotadah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar.

Ketiga, menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat akan mendapatkan pengampunan dosa. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi?

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017)

Lalu kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh beliau adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun (Fathul Baari, 6/306, Mawqi’ Al Islam Asy Syamilah). Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari no. 2021)

Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan.

Do’a di Malam Lailatul Qadar

Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata, ”Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab, ”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adapun tambahan kata “kariimsetelahAllahumma innaka ‘afuwwun …tidak terdapat satu dalam manuskrip pun. Lihat Tarooju’at no. 25)

Tanda Malam Lailatul Qadar

Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh/terpercaya)

Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.

Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.

Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim no. 1174)

Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?

Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang terluput dari lailatul qadar, maka dia telah terluput dari seluruh kebaikan. Sungguh merugi seseorang yang luput dari malam tersebut. Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Di bulan Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik dari 1000 bulan. Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di dalamnya, maka dia akan luput dari seluruh kebaikan.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat beribadah ketika itu dengan dasar iman dan tamak akan pahala melimpah di sisi Allah. Seharusnya dia dapat mencontoh Nabinya yang giat ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. ‘Aisyah menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)

Seharusnya setiap muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu, menjauhi istri-istrinya dari berjima’ dan membangunkan keluarga untuk melakukan ketaatan pada malam tersebut. ‘Aisyah mengatakan, “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksana kan shalat jika mereka mampu. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)

Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam kemuliaan (lailatul qadar) adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan bukan seluruh malam. Pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 3/313, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah). Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

Bagaimana Wanita Haidh Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?

Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang tidur (namun hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh Dhohak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)

Dari riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun karena wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu, maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita haidh lakukan ketika itu adalah: (1) Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf, (2) Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya, (3) Memperbanyak istighfar, dan (4) Memperbanyak do’a.

Beri’tikaf Demi Menanti Lailatul Qadar

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. Inilah penuturan ‘Aisyah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu. (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim 1172)

Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika ingin beri’tikaf.

Pertama, i’tikaf harus dilakukan di masjid dan boleh di masjid mana saja. I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali.

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”. Perlu diketahui, hadits ini masih dipersilisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat).

Kedua, wanita juga boleh beri’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. Namun wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat: (1) Diizinkan oleh suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki).

Ketiga, yang membatalkan i’tikaf adalah: (1) Keluar masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan, mandi junub, yang hanya bisa dilakukan di luar masjid), (2) Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah: 187 di atas.

Keempat, hal-hal yang dibolehkan ketika beri’tikaf di antaranya: (1) Keluar masjid disebabkan ada hajat seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid, (2) Melakukan hal-hal mubah seperti bercakap-cakap dengan orang lain, (3) Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya, (4) Mandi dan berwudhu di masjid, dan (5) Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Kelima, jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 (sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan.

Keenam, hendaknya ketika beri’tikaf, sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. (pembahasan i’tikaf ini disarikan dari Shahih Fiqih Sunnah, 2/150-158)

Semoga Allah memudahkan kita menghidupkan hari-hari terakhir di bulan Ramadhan dengan amalan ketaatan. Hanya Allah-lah yang memberi taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal]

Selain itu, saya memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama_nama_Nya yang agung dan sifat_sifat_Nya yang mulia agar menjadikan amalan saya yang sedikit ini menjadi amalan yang berkah dan ikhlash semata_mata karena mengharap wajah_Nya yang mulia, serta menjadi sarana pendekat kepada surga_Nya bagi penulis, pembaca, dan orang_orang yang ikut menyebarkannya.

Saya juga memohon kepada Allah Ta’ala agar tulisan ini bermanfaat bagi saya dan semua orang yang membutuhkannya. Sesungguhnya Allah_lah sebaik_baik tempat untuk memohon dan semulia_mulia tempat untuk berharap.

Saya mencukupkan diri bergantung kepada Allah Ta’ala, karena Dia-lah sebaik-baik pemelihara. Sekali lagi, segala puji milik Allah Ta’ala, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada penghulu manusia, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya, dan orang_orang yang setia mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat. (Abi Habiburrahman Ash-Shubhy)

Makna Puasa di Bulan Suci Ramadhan


MAKNA PUASA RAMADHAN

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang_orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari_hari yang lain. dan wajib bagi orang_orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan_penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari_hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk_Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. [QS. Al_Baqarah (2): 183-185] 

Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutamakan sebagian waktu melebihi yang lain dan menuliskan sebagian hari dan malam di atas hari dan malam yang lain,[1] serta menjadikannya sebagai dagangan yang menguntungkan bagi hamba_Nya yang mukmin.  Allah subhanahu wa ta’ala juga memilih sesuatu yang dikehendaki_Nya. Allah memilih tempat yang dikehendaki_Nya, pilihan_Nya sendiri ada yang menjadi Rasul, pemimpin negara, gubernur, walikota, kepala sekolah, cendikiawan, dan sebagainya. Allah subhanahu wa ta’ala memilih gua Hira’ yang dikehendaki-Nya sebagai tempat pertemuan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Malikat Jibril ‘Alaihissalam. Kemudian Allah juga memilih Makkah Al_Mukarramah yang dikehendaki_Nya sebagai kiblat kaum Muslimin dan memilih juga kota Madinah sebagai basis pertahanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyebarkan risalah Ilahi.

Selain hal-hal di atas, Allah subhanahu wa ta’ala juga telah memilih bulan suci ramadhan sebagai bulan kemuliaan yang di dalamnya terdapat begitu banyak manfaat yang bisa diperoleh oleh umat Islam, baik yang akan dirasakan dalam kehidupan di dunia terlebih lagi di kehidupan akhirat kelak.

Dalam Islam bulan Ramadhan mempunyai makna yang istimewa dan kedudukan yang mulia. Banyak kejadian atau peristiwa penting yang terjadi pada bulan ini.[2] Sehingga sudah seharusnya kita memaknai bulan suci Ramadhan ini dengan berbagai amal kebajikan, di antaranya adalah puasa selama bulan Ramadhan.

A.            PENGERTIAN PUASA RAMADHAN

Puasa (shaum), menurut bahasa Arab artinya menahan dari segala sesuatu, seperti menahan tidur, menahan berbicara, menahan makan, dan sebagainya.[3] Hal yang serupa dikatakan oleh Usamah Abdul Aziz bahwa puasa (shaum) pada dasarnya berarti menahan diri dari melakukan suatu perbuatan, baik makan, berbicara maupun berjalan. Oleh karena itu, kuda yang tidak mau berjalan atau memakan rumput disebut shaim (kuda yang tidak mau berjalan). Penyair berkata, “Khailun Shiyaamuw wa Ukhro Ghairu Shaaimatin” artinya kuda_kuda ini tidak mau berjalan dan kuda_kuda yang lain mau berjalan.[4]

Sedangkan puasa (shaum) menurut istilah agama Islam adalah amal ibadah yang dilaksanakan dengan cara menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai terbenam matahari disertai dengan niat karena Allah dengan syarat dan rukun tertentu.[5] Namun ada yang mengatakan bahwa puasa (shaum) adalah bentuk menahan yang khusus pada waktu yang khusus dengan cara yang khusus pula.[6] Adapun pengertian Ramadhan adalah pembakaran.[7] Istilah Ramadhan telah menjadi nama salah satu bulan dalam sistem penanggalan Hijriyah.

Dengan demikian, puasa Ramadhan adalah amal ibadah yang dilakukan dengan cara menahan yang khusus, yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa pada waktu yang khusus yaitu selama bulan Ramadhan mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari disertai niat karena Allah dengan syarat dan rukun tertentu..

B.            KEWAJIBAN PUASA RAMADHAN

Puasa Ramadhan mulai diwajibkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atau umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Sya’ban, satu setengah tahun setelah hijrah. Ketika itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam baru diperintahkan untuk mengalihkan kiblat dari Baitul Maqdis di Yerusalem ke Masjidil Haram di Makkah. Adapun perintah untuk melaksanakan puasa terdapat dalam Alquran surat Al_Baqarah ayat 183 yang berbunyi,

“Hai orang_orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang_orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [QS. Al_Baqarah (2): 183] [8]

Kemudian, dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang akan mendapatkan kehinaan dan kerendahan jika dia memasuki bulan Ramadhan dan Ramadhan ini telah berlalu sebelum dia diampuni.” [HR. At_Tirmidzi, Ahmad, Al_Hakim, dan Ibnu Hibban] [9]

C.            PUASA DAN TAQWA

Di dalam Islam, puasa Ramadhan mempunyai tujuan dalam rangka taqwa kepada Allah Ta’ala sebagaimana dijelaskan pada akhir ayat yang berbunyi “agar kamu bertaqwa.” Adapun pengertian taqwa adalah menjaga diri dari perbuatan yang menyebabkan kemurkaan Allah dan perbuatan yang bisa mendatangkan siksa_Nya. Cara yang ditempuh untuk merealisasikan hal itu adalah dengan menjalankan perintah_perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan_Nya. Juga menjaga jiwa dari perbuatan_perbuatan dosa dan hawa nafsu, serta membersihkan diri dari berbagai macam prilaku (akhlaq) tercela.[10]

Seseorang yang menjalankan puasa Ramadhan harus mengekang diri dari tuntutan biologis, seperti makan, minum, melakukan hubungan suami istri, demi menjalankan printah Allah subhanahu wa ta’ala.

Tentu saja seseorang yang harus mengekang dirinya akan merasa berat, walaupun dilakukan demi menjalankan perintah Allah. Sepanjang bulan suci Ramadhan ia harus menahan diri dengan penuh kesabaran dan menyadari bahwa Allah selalu mengawasinya. Seandainya rasa takut terhadap larangan Allah dalam meninggalkan puasa tidak ada pada dirinya, maka ia tidak akan tahan melakukan puasa Ramadhan. Tentu saja dengan membiasakan diri dalam hal ini, akan tertanam dalam jiwanya rasa ikhlash dalam menjalankan perintah Allah, dan rasa malu jika melanggar larangan-larangan_Nya.

Puasa Ramadhan juga dapat menempa iman seseorang, sehingga kuat laksana baja dalam menghadapi hawa nafsu dan kebiasaan_kebiasaan yang membahayakan. Selain itu juga, puasa Ramadhan dapat mendidik jiwa untuk bertaqwa kepada Allah dan taat melaksanakan perintah-perintah_Nya. Kemudian, puasa Ramadhan dapat melindungi diri dari kemauan hana nafsu atau melaksanakan hal_hal yang telah diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Itulah hakikat tujuan puasa Ramadhan dan buah yang akan dipetik oleh pelakunya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai berikut: “Puasa adalah benteng (dari perbuatan maksiat), apabila salah seorang di antara kamu melakukan puasa, maka janganlah berbicara kotor dan jangan berlaku seperti orang bodoh. Jika ada yang mencari atau mengajak bertengkar, maka katakanlah, ‘Saya sedang puasa, saya sedang puasa’.” [HR. Bukhari]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Barangsiapa tidak mau meninggalkan perkataan bohong dan melakukan perbuatan tercela, maka Allah tidak membutuhkan lagi puasanya.”  [HR. Bukhari]

Sabda Nabi Muhammad shalalallahu ‘alaihi wa sallam di atas, memberikan penjelasan kepada kita bahwa yang dimaksud dengan puasa tidak sekedar menahan lapar dan dahaga. Bahkan lebih dari itu, ia harus mengekang nafsu syahwat dan memadamkan api kemarahan serta menundukkan nafsu amarahnya untuk taat kepada Allah. Apabila syarat_syarat yang telah saya sebutkan tadi tidak terpenuhi pada diri seseorang yang melakukan puasa, maka Allah tidak akan memperdulikan lagi puasanya.

D.            PUASA DAN KEBAIKAN

Puasa adalah jalan menuju kebaikan. Apabila seorang yang kaya melakukan ibadah puasa Ramadhan, maka ia akan merasakan sengatan rasa lapar. Dengan demikian, ia akan merasakan belas kasihan terhadap kaum fakir miskin yang selalu mengalami rasa lapar karena hidup mereka serba kekurangan. Oleh karenanya, sebagai kifarah orang yang tidak mampu berpuasa dikarenakan sakit atau sudah tua, harus membayar makanan terhadap kaum fakir miskin sebanyak puasa Ramadhan yang tidak dilakukannya. Juga diwajibkan bagi kaum muslimin membayar zakat fitrah yang diberikan kepada kaum fakir miskin seusai bulan Ramadhan, karena pada waktu itu semua kaum muslimin bersuka ria menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fitri. Agar kegembiraan dapat merata ke segenap lapisan masyarakat, maka Islam mewajibkan memberikan zakat fitrah kepada orang_orang yang tidak mampu.

E.             PUASA DAN SABAR

Puasa Ramadhan ini serupa dengan pompa bensin, karena pada bulan ini jiwa manusia diisi dengan energi yang bisa menggerakkan dalam menempuh perjalanan hidup. Tetapi jenis energi apakah yang dipompakan ke dalam jiwa kita dalam bulan Ramadhan itu?

Jawabannya, tidak lain adalah kesabaran dalam pengertian luas, karena puasa adalah separuh dari kesabaran.[11] Seorang muslim berlaku sabar dalam menahan sengatan lapar, haus, dan meninggalkan kebiasaan_kebiasaannya pada siang hari yang dapat membatalkan puasa Ramadhannya. Ia menahan diri dengan sabar dan sukarela demi melaksanakan perintah Allah. Sukarela dalam bersabar menghadapi tekanan hawa nafsu lebih utama dari pada berlaku sabar karena dipaksa oleh keadaan. Dengan sukarela berarti seseorang menjadi tuan bagi dirinya sendiri, dan lebih mampu dalam menghadapi cobaan_cobaan hidup, yang pada kesudahannya sabar akan meresap ke dalam tulang sumsumnya.

F.             PUASA DAN KEKUATAN ROHANI

Di samping menanamkan rasa sabar, puasa Ramadhan juga dapat menempa jiwa seseorang sehingga bersikap cerah, bercahaya dan selalu dekat dengan Allah subahanhu wa ta’ala. Seorang yang melakukan puasa Ramadhan bagaikan Malaikat, jiwanya dipenuhi dengan keluhuran dan akhlaqnya tinggi. Dalam jiwanya terpancar nur rabbani, ibadah adalah reaksinya, sikap yang luhur adalah ciri khasnya, dan ia selalu merasa berada dekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, Allah subhaanhu wa ta’ala berfirman sesudah memerintahkan orang_orang yang beriman untuk berpuasa dengan lafadz sebagai berikut:

“Dan apabila hamba-hamba_Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa sannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang berdoa apabila ia berdoa kepada_Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)_Ku dan hendaklah mereka beriman kepada_Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”  [QS. Al_Baqarah (2): 183] [12]

Kalau kita cermati, seolah_olah susunan urutan ayat tadi memberikan peringatan kepada umat manusia bahwa apabila mereka betul_betul melakukan ibadah puasa Ramadhan, berarti mereka telah siap melakukan munajat dengan Allah.

Apabila kita melakukan puasa Ramadhan dengan sebenar_benarnya, maka dapat menempa budi pekerti seseorang. Dengan puasa Ramadhan seseorang akan membersihkan dirinya dari dosa_dosa dan mampu membiasakan diri untuk taat terhadap Allah. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat lima waktu; dari shalat Jum’at ke shalat Jum’at lainnya; dari bulan Ramadhan ke Ramadhan lainnya adalah merupakan pelebur dosa selagi dosa_dosa besar dijauhi.” [HR. Muslim dan Imam Ahmad]

Kehidupan kita sekarang ini dipenuhi dengan kesibukan_kesibukan. Tentunya hal ini mempunyai pengaruh terhadap selera makan dan kadar makanan yang kita makan. Pada waktu itu, perut kita terus bekerja tanpa hentinya. Anggota pencernaan pun terus bekerja memproses bahan makanan yang sampai ke dalam perut.

Demikian pula pekerjaan_pekerjaan di kantor, sekolah, dan sebagainya akan mengakibatkan banyaknya kadar lemak yang mengendap dalam tubuh kita. Terutama sekali pada urat_urat nadi, yang mengakibatkan anggota_anggota tubuh seseorang cepat rapuh.

Kegemukan, penyakit kencing manis, reumatik, penyakit ginjal, tekanan darah tinggi dan komplikasi_komplikasi terhadap otak, jantung, mata dan ginjal, semua penyakit tersebut dapat dicega dengan cara berpuasa.

Seseorang yang melakukan puasa Ramadhan berarti mengistirahatkan jantung dan menstabilkan cara kerjanya sehingga semua endapan yang dapat membahayakan tubuh dapat dihilangkan. Puasa Ramadhan juga sangat berfaedah bagi hati dan empedu, karena dapat menghilangkan zat lemak dan dapat menjaga seseorang dari penyakit yang menyerang kedua organ tubuh penting tersebut.

Puasa Ramadhan juga dapat menghindarkan seseorang dari berbagai macam penyakit kulit. Di antara penyakit kulit yang dapat disembuhkan oleh puasa Ramadhan adalah penyakit eksim, allergi, dan bisul.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka puasa Ramadhan berarti mengistirahatkan alat pencernaan dan meringankan cara kerjanya, sehingga perut besar, perut kecil, dan usus dua belas jari dapat terhindar dari berbagai macam gangguan yang akan menimpa di masa_masa mendatang. Namun, semua itu dihubungkan dengan orang yang bertubuh sehat. Tetapi, bagi orang yang terkena penyakit keadaannya berbeda. Untuk itulah Islam telah mengetahui keadaan semacam ini. Allah subahanhu wa ta’ala berfirman,

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. [QS. Al_Baqarah (2): 184] [13]

Demikianlah, makna puasa Ramadhan yang dapat kita ketahui. Semoga dengan pengetahuan yang singkat ini dapat membuat puasa Ramadhan yang kita lakukan tahun ini dapat lebih bermakna dibandingkan dengan puasa Ramadhan tahun kemarin. Amin ya rabbal ‘alamin..!

Saya memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama_nama_Nya yang agung dan sifat_sifat_Nya yang mulia agar menjadikan amalan saya yang sedikit ini menjadi amalan yang berkah dan ikhlash semata_mata karena mengharap wajah_Nya yang mulia, serta menjadi sarana pendekat kepada surga_Nya bagi penulis, pembaca, dan orang_orang yang ikut menyebarkannya.

Saya juga memohon kepada Allah Ta’ala agar tulisan ini bermanfaat bagi saya dan semua orang yang membutuhkannya. Sesungguhnya Allah_lah sebaik_baik tempat untuk memohon dan semulia_mulia tempat untuk berharap.

Saya mencukupkan diri bergantung kepada Allah Ta’ala, karena Dia-lah sebaik-baik pemelihara. Sekali lagi, segala puji milik Allah Ta’ala, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada penghulu manusia, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya, dan orang_orang yang setia mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat.

Penulis :

Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I (Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang)


[1] Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita, turun setiap malam ke langit dunia ketika malam tinggal tersisa sepertiga yang terakhir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepada_Ku, niscaya akan Aku kabulkan. Siapa yang memohon kepada_Ku, niscaya akan Aku perkenankan. Siapa yang memohon ampun kepada_Ku, niscaya akan Aku beri ampunan. Demikianlah terus Allah melakukan hingga datang fajar.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lihat Sa’id bin Ali bin Wahf Al_Qathani, Kumpulan Shalat Sunnah dan Keutamaannya, alih bahasa Abu Umar basyir, dari judul asli Shalatut Tathawwu’ Mafhum wa Fadhail wa Aqsam wa Anwa’ wa Adab Fi Dhau’il Kitab was Sunnah, (Jakarta : Darul Haq, 2006), cet. 4, hal. 112

[2] Di antara keistimewaan-keistimewaan dan kemulian bulan Ramadhan adalah (1). Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Alquran, (2). Ramadhan merupakan satu-satunya nama bulan yang terdapat di dalam Alquran, (3). Kemenang besar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum Muslimin ketika terjadi perang Badar melawan tentara kafir Quraisy, (4). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum Muslimin menaklukkan kota Makkah dan memusnakan berhala di sekitar Ka’bah, (5). Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mejadi Rasul ketika berkhalawat di Gua Hira’, (6). Allah subahanhu wa ta’ala mewajibkan berpuasa bagi setiap muslim, (7). Pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup, (8). Allah subahanhu wa ta’ala memberikan ampunan kepada orang yang berpuasa dengan iman dan ikhlash mengharap ridha Allah. Lihat Tim Editor Agama, Panduan Kegiatan Bulan Ramadhan, (Surakarta: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007), hal. 1

[3] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta: At_Thahiriyah, 1976), cet. 17, hal. 216

[4] Usamah Abdul Aziz, Puasa Sunnah: Hukum dan Keutamaannya, alih bahasa Abdillah, Lc, dari judul asli Shiyam At_tathawwu’ Fadhail wa Ahkam, (Jakarta: darul Haq, 2005), cet. 2, hal. 5

[5] Muhammad Suparta dan Ghufran Ihsan, Fiqih, (Semarang: CV. Karya Toha Putra, 1996), hal. 36

[6] Lihat Al_Mawardi, Al_Inshaf (3/269).

[7] Lihat Muhammad Suparta dan Ghufron Ihsan, Fiqih, hal. 44

[8] Departemen Agama Republik Indonesia, Al_Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Al_Jumanatul ‘Ali, 2005), hal. 29

[9] Imam At_Tirmidzi menghukumi hadits ini sebagai hadits hasan gharib. Al_Hakim, Ibnu Hibban, dan Al_Dzahabi menghukuminya sebagai hadits shahih. Dan Ibnu Hajar menshahihkan hadits ini karena mempunyai banyak syawahid (hadits_hadits pendukung). Lihat Ahmad Ibn ‘Ali Hajar Al_Asqalani, Fath Al_Bari Sharh Shahih Al_Bukhari, (Beirut: Dar Al_Fikr, tt), Jilid. 11, hal. 168. dan lihat Ahmad Lufti Fathullah, Hadits-Hadits Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin (Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan), (Jakarta: Darrus Sunnah Press, 2006), hal. 70

[10] Abu Ahmadi, Dosa dalam Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), cet. 2, hal. 191

[11] Ahmad Sunarto, Himpunan_Himpunan Khutbah Jum’ah Lengkap dan Praktis, (Jakarta: Amanah, 1979), hal. 389

[12] Departemen Agama Republik Indonesia, Al_Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Al_Jumanatul ‘Ali, 2005), hal. 29

[13] Departemen Agama Republik Indonesia, Al_Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Al_Jumanatul ‘Ali, 2005), hal. 29

Kiat-Kiat Menghidupkan Bulan Ramadhan


Perhatian: Sebelum mendownload file di bawah ini, maka penting untuk mengisi “Buku Tamu” terlebih dahulu atau tinggalkan komentarnya. jzklh

Mau Download Klik: kiat_ramadhan.zip

Saudara dan saudariku seiman, sebelumnya saya ucapkan: Salamullah ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Ba-rakaatuh, wa ba’du;

Saya layangkan risalah kecil ini dengan penuh rasa rindu disertai penghormatan yang tulus, tercurah dari lubuk hati paling dalam yang sangat mencintai kamu sekalian karena Allah. Saya memohon kepada Allah semoga kita semua dipertemukan oleh-Nya di dalam Surga yang penuh kemulian dan rahmat.

Seiring dengan datangnya bulan Ramadhan, saya persembahkan nasihat ini sebagai hadiah yang tak seberapa nilainya. Saya mohon saudara dan saudariku sekalian dapat menerimanya dengan dada yang lapang sekaligus saya harapkan nasihat saudaraku sekalian untukku. Semoga Allah memelihara kita semua.

Bagaimana Menyambut Kedatangan Bulan Ramadhan?
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi ma-nusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (Al-Baqarah:185)

Saudaraku yang mulia!
Allah telah mengistimewakan bulan Ramadhan dari bulan-bulan lainnya dengan berbagai keistimewaan dan keutamaan. Di antaranya:

  • Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kasturi.
  • Para malaikat memohonkan ampunan bagi orang yang berpuasa hingga berbuka.
  • Setiap hari bulan Ramadhan Allah menghiasi Surga-Nya seraya berkata: “Hampir tiba saatnya para hamba-hambaku yang shalih melepaskan segala beban dan gangguan serta segera menuju engkau (Surga)!”
  • Para setan dibelenggu.
  • Dibuka pintu-pintu Surga dan ditutup pintu-pintu Neraka.
  • Di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadar, malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
  • Akan diberi pengampunan bagi orang yang berpuasa pada malam terakhir bulan Ramadhan.
  • Allah membebaskan hamba-hamba-Nya dari Neraka pada setiap malam bulan Ramadhan.

Wahai saudaraku yang mulia!
Demikianlah sekilas mengenai keistimewaan bulan Ramadhan, lalu bagaimana kita menyambutnya? Apakah dengan permainan-permainan yang melalaikan? Dengan begadang setiap malam? Ataukah kita kesal dengan ke-datangannya dan merasa keberatan? Na’udzubillah min dzalik.

Seyogyanya seorang hamba yang shalih menyam-butnya dengan taubat nashuha disertai tekad yang bulat untuk meraih sebanyak-banyaknya kebaikan di bulan suci ini. Mengisi waktunya dengan amal-amal shalih. Dan tidak lupa selalu memohon kepada Allah agar menolong kita dalam melaksanakan ibadah dengan baik.

Lembaran-lembaran berikut saya peruntukkan khusus bagi saudara-saudaraku yang mulia. Semoga bermanfaat…amiin…!