Writed by: Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I
Perkara-Perkara yang Diwajibkan dalam Shalat
Wajibat (kewajiban-kewajiban) adalah segala perbuatan atau ucapan yang wajib dilakukan dalam shalat dan gugur hukumnya jika terlupa, tetapi harus sujud sahwi. Barangsiapa dengan sengaja meninggalkannya, sementara ia tahu bahwa ucapan atau perbuatan tersebut wajib dilakukannya dalam shalat, maka shalatnya tidak sah.
Istilah ini dipakai dalam madzhab Hanafi dan Hanbali. Hanya saja madzhab Hanafi tidak berpendapat bahwa meninggalkan wajib shalat dengan sengaja dapat membatalkan shalatnya, tetapi pelakunya berdosa, fasiq, dan berhak mendapat hukuman.
Adapun menurut madzhab Maliki dan Syafe’i, tidak ada wajib shalat, yang ada hanyalah rukun dan sunnah-sunnah shalat.
1. Doa Istiftah (Iftitah)
Wajib hukumnya – menurut pendapat yang paling rajih (kuat) – memulai shalat dengan doa iftitah setelah takbir sebelum membaca Al_Fatihah, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah, berdasarkan hadits dari Rifa’ah bin Raafi’ bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang salah dalam shalatnya: “Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang hingga berwudhu… kemudian bertakbir, memuji Allah dan menyanjung_Nya, lalau membaca Alquran yang mudah ia hapal… apabila hal ini ia lakukan, maka sempurnalah shalatnya.” [Hadits Shahih, diriwayat-kan oleh An_Nasa’i; At_Tirmidzi; dan Ibnu Majah]
Berdasarkan hadits di atas bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung_Nya,” secara zhahirnya adalah doa iftitah.
Ash_Sha’ani berkata bahwa memuji dan menyanjung Allah setelah takbiratul ihram secara mutlak hukumnya wajib. [Lihat Ash_Sha’ani, Subulus Salam, (I/312)]
Penulis berkata, “Tidak ada masalah, jika dikatakan bahwa doa istiftah itu wajib. Sebab tercantum dalam hadits shahih dan tidak ada ijma’ ulama yang menyelisihinya. Bahkan pendapat yang menyatakan wajibnya adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Baththah.” [Lihat kitab Al_Furu’ (I/413); dan kitab Al_Inshaf (II/120)]
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah Al_Mujtahid dengan gamblang menyatakan bahwa doa istiftah hukumnya wajib dalam shalat, dan menisbatkan pendapat ini kepada Imam Asy_Syafe’i dan Abu Hanifah. Namun Abu Malik Kamal bin As_Sayid Salim mengatakan bahwa beliau belum menemukan adanya riwayat dari Imam Asy_Syafe’i dan Abu Hanifah yang mendukung pernya-taan Ibnu Rusyd di atas, kecuali yang tertera di dalam kitab Ad_Durr Al_Mukhtar (I/476) yang mengategorikan doa istiftah sebagai salah satu wajib shalat.
Pada dasarnya doa istiftah iu dibaca dengan suara lirih, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah men-jahr-kannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan terkadang imam boleh men-jahr-kan dengan maksud untuk mengajarkan orang yang shalat di belakangnya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu pernah men-jahr-kan bacaan, “subhanaka Allahumma wa bihamdika.” [Hadits ini sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanad yang terputus, tetapi Ad_Daruquthni mencantumkannya dengan sanad yang bersambung. Lihat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani, Al_Irwa’ Al_Ghalil (340)]
Ada Dua Keadaan yang Dikecualikan
1. Dalam shalat jenazah. Dalam shalat jenazah tidak disyari’atkan membaca doa istiftah, karena shalat ini memang harus diringankan dan dipersingkat. Diriwayatkan dari Thalhah bin Ubaidillah bin ‘Auf, ia berkata, “Aku shalat jenazah di belakang Ibnu Abbas. Setelah membaca surat Al_Fatihah, beliau berkata, Agar kalian tahu bahwa itu adalah sunnah.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari, Abu Dawud, At_Tirmidzi, Ibnu Majah, An_Nasa’i, dan sanad lainnya yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas]
Kisah ini mengisyaratkan bahwa tidak disyariatkan membaca doa istiftah dalam shalat jenazah. Sebab Ibnu Abbas tidak membacanya secara jahr, sebagaimana menjahrkan surat Al_Fatihah untuk mengajarkan kepada mereka. Wallahu ‘alam
2. Orang yang terlambat (masbuq) dan mendapati imam sudah tidak berdiri, maka ia tidak perlu membaca doa istiftah karena waktunya sudah lewat
Beberapa Bentuk Bacaan Doa Istiftah yang Shahih
1. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang di antara kami membaca: Allahu akbar kabiyraa, walhamdulillahi katsiyraa, wa subhaanallai bukrataw wa ashiylaa. (Allahu Mahabesar, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Mahasuci Allah di waktu pagi dan sore.” Mendengar hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sangat takjub dengan bacaannya, sampai-sampai pintu-pintu langit terbuka karena bacaan tersebut.”
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan bacaan tersebut sejak aku mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim, At_Tirmidzi, dan An_Nasa’i (II/125)]
2. Diriwayatkan dari Aisyah, Abu Sa’id dan lain-lain bahwa apabila Nabi shalla-ahu ‘alaihi wa sallam memulai shalatnya, beliau membaca: “Subhaanaka Allahumma wa bihamdika wa tabaarakasmuka, wa ta’aala jadduka, wa laa ilaaha ghairuka. (Mahasuci Engkau, ya Allah, aku memuji_Mu, Mahaberkah akan nama_Mu, Mahatinggi kemuliaan dan kebesaran_Mu, tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Engkau.” [Sanadnya hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud, At_Tirmidzi, An_Nasa’i, Ibnu Majah, dan lain-lain. Lihat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani, Al_Irwa’ Al_Ghalil (341)]
Penulis berkata, “Masih ada doa istiftah lainnya yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Ali bin Abi Thalib, dan Aisyah. Bagi yang berminat silakan baca kitab Shahih Fiqih Sunnah karya Abu Malik Kamal bin As_Sayid Salim atau kitab Shifat-Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani.”
2. Membaca Isti’adzah Sebelum Membaca Al_Fatihah
Menurut pendapat yang paling rajih (kuat), membaca isti’adzah hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An_Nahl (16): 98)
Ayat di atas memerintahkan untuk membaca isti’adzah ketika hendak membaca Alquran. Dan hakikat perintah adalah wajib. Apalagi doa isti’adzah berfungsi untuk mengusir setan. Jika kewajiban tidak sempurna dilakukan kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu juga wajib hukumnya.
Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa isti’adzah adalah mustahab (sunnah), tetapi Imam Malik melarang membacanya. Sedangkan Ulama yang mewajibkan membaca isti’adzah, antara lain: ‘Atha’, Ats_Tsauri, Al_Auza’i, Dawud, Ibnu Hazm, dan satu riwayat dari Imam Ahmad. [Lihat Ibnu Hazm, Al_Muhalla (III/247)]
Membaca Isti’adzah dengan Suara Pelan
Pada dasarnya isti’adzah itu dibaca dengan suara pelan. Sebab tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membacanya dengan jahr (keras). Demikian juga para khalifah tidak pernah menjahrkannya. Hanya saja, terkadang imam boleh menjahrkannya dengan maksud untuk mengajarkan bacaan tersebut kepada makmum, sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas.
Apakah Isti’adzah Dibaca pada Setiap Rakaat?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa isri’adzah dibaca pada rakaat pertama saja. Imam Asy_Syafe’i berpendapat bahwa isti’adzah dianjurkan dibaca pada setiap rakaat, dan Ibnu Sirin mewajibkannya. [Lihat Ibnu Hazm, Al_Muhalla (III/254). Ibnu Hazm berpendapat wajib dibaca setiap rakaat]
Penulis berkata, “Ayat di atas – surat An_Nahl ayat 98 – menunjukkan bahwa membaca isti’adzah dibaca kembali ketika mengulangi bacaan Alquran. Jika antara dua bacaan dipisah dengan ruku’, sujud, dan lain-lain, maka disyariatkan kembali membaca isti’adzah.” Wallahu ‘alam
3. Ucapan Amin Setelah Membaca Surat Al_Fatihah
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika imam mengucapkan amin, maka ucapkanlah amin. Sesungguhnya barang-siapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan ucapan amin para malaikat, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah]
Mayoritas ulama menyimpulkan bahwa hukum perintah di sini adalah mustahab (dianjurkan/sunnah). Namun, penulis belum mengetahui dalil yang memalingkannya daru hukum wajib.
Menurut Ibnu Hazm bahwa makmum wajib mengucapkan amin. Adapun imam dan yang shalat sendirian, maka hukumnya mustahab. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai membaca Al_Fatihah, beliau mengucapkan amin dengan menjahrkan dan memanjangkan suaranya. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dalam juz Al_Qira’ah; Abu Dawud serta dishahihkan oleh Al_Albani dalam kitab Sifat Shalat, hal. 101]
4. Takbir Intiqal (Perpindahan dari satu rukun ke rukun lainnya).
5. Ucapan Sami’allahu liman hamidah
6. Ucapan Alahumma rabbana wa lakal hamd
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika (imam) bertakbir, maka bertakbirlah… dan jika mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka ucapkanlah: Allahumma rabbana walakal hamd.” [Hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengucapkannya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk mengerjakan shalat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku’ kemudian mengucapkan: sami’allahu liman hamidah ketika mengangkat kepalanya dari ruku’. Setel;ah berdiri tegak, beliau mengucapkan: rabbana lakal hamd. Kemudian beliau bertakbir ketika hendak turun (sujud), dan bertakbir ketika mengangkat kepalanya (dari sujud). Kemudian bertakbir ketika bersujud. Kemudian beliau melaku-kan semua itu pada seluruh rakaat hingga selesai. Beliau juga bertakbir ketika bangkit dari duduk pada rakaat kedua.” [Hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
Kemudian takbir merupakan tanda perpindahan dari satu rukun ke rukun yang lain, dari satu posisi ke posisi lainnya. [Lihat kitab Asy_Syarh Al_Mumti’ (III/432)]
Dengan demikian, ketiga perkara di atas wajib dikerjakan di dalam shalat, baik bagi orang yang shalat sendirian, sebagai imam maupun sebagai makmum, menurut pendapat yang paling shahih. Ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, dan dinilai sunnah oleh jumhur ulama.
Beberapa Bacaan ’Itidal
Dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mem-baca empat macam tahmid setelah mengucapkan: sami’allahu liman hamidah, yaitu:
- Rabbanaa walakal hamdu (Wahai rabb kami, segala puji bagi_Mu). [Hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
- Rabbanaa lakal hamdu (Wahai rabb kami, segala puji bagi_Mu). [Hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
- Allahumma rabbanaa walakal hamdu (Ya Allah rabb kami, segala puji bagi_Mu). [Hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Al_Bukhari, At_Tirmidzi, An_Nasa’i, dan Abu Dawud]
- Allahumma rabbanaa lakal hamdu (Ya Allah rabb kami, segala puji bagi_Mu). [Hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
7. Bertasbih Ketika Ruku’ dan Sujud
Bertasbih ketika ruku’ adalah subhana rabiyal ’azhimi, dan membaca sub-hana rabiyal ’ala ketika sujud. Ulama yang mewajibkan bacaan ini dalam shalat adalah Imam Ahmad – salah satu riwayat darinya – dan ini adalah madzhab beliau, Ishaq, Daud, dan Ibnu Hazm. Dalil-dalil mereka adalah:
a. Hadits ’Uqbah bin ’Amir radhiyallahu ’anhu, ia berkata, ”Ketika turun ayat: fasabbih bihamdi rabbikal ’azhim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami, Ucapkanlah bacaan ini dalam ruku’ kalian. Ketika turun ayat:
Maka beliau bersabda, Ucapkanlah bacaan ini dalam sujud kalian.” [Sanadnya dhaif (lemah), diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad]
Mereka mengatakan bahwa perintah ini menunjukkan kewajiban karena berhimpunnya perintah Allah dan Rasul_Nya, serta dipraktekkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penulis berkata, “Hadits ini ada kelemahan dalam sanadnya, hanya saja isinya selaras dengan hadits yang akan di sebutkan sesudahnya – hadits dari Hudzaifah – sehingga hadits ini menjadi kuat.”
b. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Alquran dalam ruku’ dan sujud. Adapun pada saat ruku’, maka agungkanlah Rabb azza wa jalla. Sedangkan pada saat sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena kemungkinan besar doamu akan dikabulkan.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud]
c. Hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika ruku’ beliau membaca: subhana rabbiyal ‘azhimi, dan ketika sujud beliau membaca: subhana rabbiyal ‘ala.” [Hadits shahih lighirih, diriwayatkan oleh At_Tirmidzi, Abu Dawud. Lihat Imam Asy_Syafe’i, Al_Umm (I/101)]
Jumhur ulama berpendapat bahwa bacaan tasbih ketika ruku’ dan sujud adalah sunnah, bukan wajib. Alasannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya dalam hadits mengenai orang yang salah dalam shalatnya. Alasan ini cukup kuat bagi yang mendhaifkan hadits dari ’Uqbah bin ’Amir dan tidak melihat hadits dari Ibnu Abbas dan Hudzaifah sebagai penguatnya. Adapun mereka yang menganggap hadits ’Uqbah itu shahih maka mereka mewajibkan tasbih tersebut.
8. Duduk dan Membaca Tasyahhud Awal
Hal ini berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang salah dalam shalatnya, beliau bersabda, “Apabila kamu duduk pada pertengahan shalat, maka duduklah dengan tuma’ninah dalam keadaan iftirasy, kemudian bertasyahhudlah.” [Hadits hasan shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al_Baihaqi. Lihat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani Al_Irwa’ Al_Ghalil (337)]
Juga berdasarkan dalil-dalil yang telah lalu yang berkaitan dengan penetapan tasyahhud akhir sebagai rukun. Akan tetapi tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa tasyahhud awal sebagai rukun. Sebab tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lupa mengerjakannya, beliau tidak kembali duduk untuk tasyahhud awal (bahkan meneruskan shalatnya) dan meng-gantikannya dengan dengan sujud sahwi. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin Buhainah]
Seandainya tasyahhud awal itu termasuk rukun shalat, tentunya beliau kembali ke posisi duduk tasyahhud. Ulama yang berpendapat wajibnya tasyahhud awal adalah Imam Ahmad, Ishaq, Al_Laits, Abu Tsaur, Dawud, dan Ibnu Hazm.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tasyahhud awal hukumnya sunnah. Seandainya wajib tentunya tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi seperti halnya rukun shalat. [Lihat Ibnu Hazm, Al_Muhalla (III/268)]
Penulis berkata, “Justru itu sebagai dalil. Seandainya sujud sahwi itu hanya dikerjakan karena perkara yang bukan wajib saja, maka ini tidak dapat dibenarkan. Bahkan sujud sahwi itu tidak disyariatkan, kecuali karena meninggalkan perkara yang wajib. Sebab pada asalnya penambahan dalam shalat adalah perkara yang dilarang, dan sujud sahwi sebelum salam adalah tambahan dalam shalat. Jadi larangan ini tidak mungkin boleh dilanggar kecuali untuk suatu perkara yang wajib. Apabila sujud sahwi diwajibkan karena meninggalkan tasyahhud awal, maka berarti sama saja hukumnya dikerjakan atau tidak dikerjakan.” [Lihat kitab Asy_Syarh Al_Mumti’ (III/443-444)]
Membaca Tasyahhud dengan Suara Lirih
Para ulama sepakat bahwa tasyahhud awal dan akhir dibaca dengan suara lirih dan makruh hukumnya dijahrkan. Sebab tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjahrkan-nya. Orang-orang mewarisi cara membaca seperti ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini. Warisan seperti ini mirip dengan kabar mutawatir.