Mandi-Mandi Sunnah (Bagian 2)


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Mandi-Mandi Sunnah (Bagian 2)

Tulisan kali ini adalah lanjutan dari bagian mandi_mandi sunnah dan tulisan terakhir pada pembahasan tentang mandi wajib. adapun lanjutan dari mandi_mandi sunnah adalah sebagai berikut:

g. Mandi setiap hendak shalat bagi wanita yang istihadhah

Wanita yang mengalami istihadhah disunnahkan mandi wajib setiap hendak shalat atau ketika hendak menjama’ shalat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa dulu ketika Nabi shallallahu ’alahi wa sallam masih hidup, Ummu Habibah radhiyallahu ’anha pernah mengalami istihadhah. Waktu itu Nabi memerintahkannya untuk mandi setiap hendak shalat. [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud hadits no. 292 dan lainnya. Hadits ini dinilai shahih oleh Al_Albani dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud (I/58)]

Wanita yang mengalami istihadhah wajib mandi ketika telah habis masa-masa haidhnya. Setelah itu, karena darah yang keluar adalah bukan darah haidh lagi, maka mandi wajib baginya hanya sunnah saja, tetapi dia tetap wajib berwudhu setiap hendak mengerjakan shalat. [Lihat Muhammad Nashiruddin Al_Albani, Shahih Abi Dawud (I/54)]

h. Mandi setelah siuman dari pingsan

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Ketika mengalami sakit parah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada sahabat, ‘Apakah orang-orang sudah shalat?’ Para sahabat menjawab, ‘Belum. Mereka menunggu-nunggu beliau’ Lalu beliau berkata, ‘Ambilkan aku air satu bejana!’ Aisyah berkata, ‘Kami pun melaksanakan apa yang beliau perintahkan, dan setelah itu beliau mandi. Ketika beliau hendak bangun setelah selesai mandi, beliau pingsan lagi. Setelah siuman beliau bertanya’‘Apakah orang-orang sudah shalat?’  Para sahabat menjawab, ‘Belum. Mereka menunggu-nunggu engkau, wahai Rasulullah’ Lalu beliau berkata, ‘Ambilkan aku air satu bejana!’” Kemudian beliau pun mandi sambil duduk…” [HR. Bukhari dan Muslim]

i. Mandi setelah berbekam

Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi karena empat hal, yaitu karena junub, ketika hendak shalat Jum’at, sehabis berbekam, dan sehabis memandikan jenazah.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud hadits no. 3160. Al_Hafizh Ibnu Hajar Al_Asqalani dalam kitab Bulughul Maram berkata bahwa hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah]

j. Mandi ketika masuk Islam

Orang yang baru masuk Islam disunnahkan mandi wajib. Hal ini bagi mereka yang berpendapat sunnah, karena ada ulama lain yang berpendapat hukumnya wajib.

Orang kafir yang baru masuk Islam disunnahkan mandi wajib berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Qais bin Ashim rahiyallahu ‘anhu, dia berkata; “Saya pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak masuk Islam. Beliau lalu menyuruhku mandi dengan air dan bidara.” [Hadits ini diriwayatkan oleh empat ahli hadits kecuali Ibnu Majah. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz memilih pendapat yang mengatakan bahwa mandi wajib bagi orang yang baru masuk Islam hukumnya sunnah.

k. Mandi ketika hendak shalat hari raya

Para ulama mengatakan bahwa hadits yang berkenaan dengan mandi wajib ketika hendak shalat hari raya tidak ada yang shahih. Akan tetapi, Al_Albani mengatakan bahwa sebaik-baik dalil yang dijadikan dasar yang berkenaan dengan mandi wajib ketika hendak shalat hari raya adalah atsar yang diriwayatkan oleh Al_Baihaqi melalui jalan Asy_Syafei dari Zadzan, dia berkata; ”Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Ali tentang mandi. Ali menjawab, ’Mandilah setiap hari jika engkau mau.’ Laki-laki itu berkata, ’Bukan mandi sembarangan mandi yang saya maksud.’ Kemudian Ali menjawab, ’Mandi pada hari Jum’at, mandi pada hari Arafah (ketika hendak wukuf), mandi pada hari nahar (Idhul Adha), dan mandi pada hari raya Idhul Fitri.’”

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Al_Musayyab, dia berkata, ”Amalan sunnah pada hari raya Idhil Fitri ada tiga, yaitu berjalan kaki menuju tempat shalat (tanah Lapang), makan sebelum berangkat, dan mandi sebelum berangkat.” [Lihat Muhammad Nashiruddin Al_Albani, Irwa’ Al_Ghalil. Hadits ini diriwayatkan oleh Al_Firyabi dengan sanad yang shahih]

l. Mandi pada hari Arafah

Para jama’ah haji yang hendak wukuf di Padang Arafah disunnahkan mandi wajib terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan atsar yang diriwayatkan oleh Al_Baihaqi melalui jalan Asy_Syafei dari Zadzan, dia berkata; ”Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Ali tentang mandi. Ali menjawab, ’Mandilah setiap hari jika engkau mau.’ Laki-laki itu berkata, ’Bukan mandi sembarangan mandi yang saya maksud.’ Kemudian Ali menjawab, ’Mandi pada hari Jum’at, mandi pada hari Arafah (ketika hendak wukuf), mandi pada hari nahar (Idhul Adha), dan mandi pada hari raya Idhul Fitri.’”

Demikianlah pembahasan tentang mandi wajib ini. Saya memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan nama-nama_Nya yang agung dan sifat-sifat_Nya yang mulia agar menjadikan amalan saya yang sedikit ini menjadi amalan yang berkah dan ikhlash semata-mata karena mengharapkan wajah_Nya yang mulia, serta menjadikan sarana pendekat kepada surga_Nya bagi penulis, penerbit, pembaca, dan orang-orang yang berpartisipasi dalam menyebarkan tulisan ini.

Saya juga memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar tulisan ini bermanfaat bagi saya dan semua orang yang membutuhkannya. Sesungguhnya Allah-lah sebaik_baik tempat memohon dan semulia_mulia tempat berharap.

Mandi-Mandi Sunnah (Bagian 1)


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Mandi_Mandi Sunnah (Bagian 1)

Sebelumnya kita telah membahas mandi yang hukumnya adalah wajib, yaitu mandi wajib atau mandi junub dan mandi setelah bersih dari haidh maupun nifas. Di samping mandi yang hukumnya wajib ada juga mandi wajib yang hu-kumnya sunnah. Adapun mandi yang hukumnya sunnah adalah sebagai berikut:

a. Mandi pada hari jum’at

Disunnahkan mandi wajib pada hari Jum’at berdasarkan hadits-hadits berikut ini:

Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al_Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mandi pada hari Jum’at wajib bagi setiap laki-laki yang telah baligh.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al_Khudri radhiyallahu ‘anhu juga bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib bagi laki-laki yang telah baligh mandi pada hari Jum’at, bersiwak, dan memakai wangi-wangian jika ada.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merupakan hak Allah bahwa setiap Muslim mandi 1 kali dalam setiap 7 hari dengan membasuh kepala dan seluruh tubuhnya.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Hadits yang diriwayatkan dari Samurah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berwudhu pada hari Jum’at, maka hal itu sudah cukup baginya. Akan tetapi, barangasiapa mandi, maka hal itu lebih utama.” [Hadits ini diriwayatkan oleh 5 orang ahli hadits sebagaimana yang disebutkan oleh Al_Hafizh Ibnu Hajar Al_Asqalani dalam kitab Bulughul Maram. Hadits ini dinilai hasan oleh At_Tirmidzi; dan juga Al_Albani dalam kitab Shahih Abi Dawud (I/72)]

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mandi wajib di hari Jum’at, apakah wajib atau sunnah?. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz berpendapat bahwa mandi wajib pada hari Jum’at hukumnya sunnah muakkad (sangat dianjurkan). Dan agar lebih selamat, setiap muslim hendaklah selalu mandi wajib pada hari Jum’at agar bisa terlepas dari pendapat yang mengatakan bahwa mandi wajib pada hari Jum’at hukumnya adalah wajib.

Tentang mandi wajib pada hari Jum’at ada tiga pendapat ulama. Ada di antara mereka yang berpendapat hukumnya wajib, dan ini adalah satu pen dapat yang kuat. Ada yang membedakan antara keduanya dengan mengata-kan, ”Mandi wajib pada hari Jum’at hanya diwajibkan bagi para pekerja berat yang dalam kerjanya banyak mencucurkan keringat dan merasakan kecapaian. Adapun selain mereka, maka hukumnya adalah sunnah.” Penulis berkata bahwa jelas pendapat ini lemah.

Pendapat yang paling rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa mandi wajib pada hari Jum’at hukumnya sunnah muakkad. Adapun hadits Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam , ”Mandi pada hari Jum’at adalah wajib bagi setiap laki-laki yang telah baligh,” menurut mayoritas ulama maksudnya adalah perintah yang ditekankan, bukan perintah wajib.

Dalil lain yang menunjukkan bahwa mandi wajib pada hari Jum’at hukumnya sunnah adalah hadits yang menyatakan bahwa berwudhu saja pada hari Jum’at telah mencukupi. Demikian pula dengan amalan-amalan lain seperti memakai wangi-wangian, bersiwak, memakai pakaian yang paling bagus, dan datang ke masjid lebih awal. Semua amalan tersebut hukumnya sunnah; tidak ada satu pun yang wajib. [Lihat Abdul ’Aziz bin ’Abdullah bin Baz, Al_Fatawa Al_Islamiyah (I/419)]

b. Mandi ketika hendak ihram

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak ihram menanggalkan pakaian berjahit dan mandi terlebih dahulu.” [Hadits ini diriwayatkan oleh At_Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Al_Hakim. Al_Hakim menilai shahih dan Adz_Dzahabi menyepakati penilai-an itu. Hadits ini dinilai shahih juga oleh Al_Albani dalam kitab Shahih At_Tirmidzi (I/250). Lihat Muhammad Nashiruddin Al_Albani, Irwa’ Al_Ghalil hadits no. 149]

c. Mandi ketika hendak masuk Makkah

Disunnahkan seseorang mandi wajib ketika hendak masuk kota Makkah. Hal ini berdasarkan perbuatan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa dia biasanya ketika hendak masuk Makkah bermalam di Dzi Thuwa. Setelah pagi tiba, dia mandi, lalu berangkat ke Makkah pada siang hari. Ibnu Umar menyebutkan bahwa perbuatannya itu meniru Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. [Penulis belum menemukan derajat hadits ini, tetapi silakan baca kitab Thuhuru Al_Muslimi fi Dhau’i Al_Kitabi wa As_Sunnati Mafhumun wa Fadhailu wa Adabun wa Ahkamun karya Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al_Qahthani, dalam edisi Indonesia berjudul Thaharah Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam Tuntunan Bersuci Lengkap, hal. 130]

d. Mandi ketika hendak mengulangi persetubuhan

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Rafi’ radhiyallahu ’anhu, dia berkata: ”Suatu hari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam berkeliling menggilir istri-istri beliau, dan beliau mandi setiap kali hendak mengulang persetubuhan” Abu Rafi’ berkata: Aku bertanya, ”Wahai Rasulullah, apakah Engkau tidak cukup mandi sekali saja (setelah persetubuhan terakhir)? Beliau menjawab, Apa yang aku lakukan itu lebih bersih dan lebih harum.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, An_Nasa’i, Ath_Thabrani. Hadits ini dinilai hasan oleh Al_Albani dalam kitab Shahih Abi Dawud  (I/43) dan kitab Adab Az_Zifaf, hal. 32]

e. Mandi setelah memandikan jenazah

Setelah memandikan jenazah, seseorang disunnahkan mandi. Hal ini berda-sarkan hadits sebagai berikut:

Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang me-mandikan jenazah, hendaklah mandi sesudahnya.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Ahamd, Abu Dawud, dan At_Tirmidzi. Abdul Qadir dalam kitab Jami’ Al_Ushul (VII/335) berkata bahwa hadits ini derajatnya hasan karena diriwayatkan melalui beberapa jalur periwayatan dan mempunyai beberapa hadits pendukung. Lihat Muhammad Nashiruddin Al_Albani, Irwa’  Al_Ghalil hadits no. 144]

Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi karena empat hal, yaitu karena junub, ketika hendak shalat Jum’at, sehabis berbekam, dan sehabis memandikan jenazah.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud hadits no. 3160. Al_Hafizh Ibnu Hajar Al_Asqalani dalam kitab Bulughul Maram berkata bahwa hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah]

Mandi wajib sehabis memandikan jenazah sebagaimana disebutkan dalam kedua hadits di atas hukumnya tidak wajib, karena ada atsar yang menunjukkan tidak wajibnya. Disebutkan bahwa Asma’ binti Umais – istri Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu – pernah memandikan jenazah Abu Bakar saat meninggal. Setelah selesai, ia keluar lalu bertanya kepada Muhajirin yang hadir pada saat itu. Dia berkata, “Aku sedang berpuasa, namun cuaca sangat dingin. Haruskah aku mandi?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam kitab Al_Muwatha’ (I/223). Abdul Qadir Arnauth menilai hasan hadits ini dalam kitab Jami’ Al_Ushul (VII/338)]

Penulis berkata bahwa atsar di atas menunjukkan bahwa mandi wajib setelah memandikan jenazah populer di kalangan sahabat, akan tetapi hukumnya sunnah.

f. Mandi setelah menguburkan mayat orang musyrik

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa ia pernah datang menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ketika ayahnya, Abu Thalib meninggal. Ali berkata, ”Wahai Rasulullah, Abu Thalib meningga.” Nabi menyahut, ”Pergi dan kuburkanlah mayatnya!” Ali berkata lagi, ”Dia meninggal dalam keadaan musyrik.” Nabi kembali menyahut, ”Pergi dan kuburkanlah mayatnya!” Ketika Ali telah mengubur mayatnya, dia kembali menghadap Nabi, lalu beliau berkata, ”Mandilah kamu!” [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, An_Nasa’i, Ahmad, dan lainnya. Abdul Qadir Arnauth ketika mentakhrij kitab Jami’ Al_Ushul (VII/337) berkata bahwa hadits ini shahih. Lihat kitab At_Talkhish (II/114) dan kitab Shahih An_Nasa’i hadits no. 184]

Tata Cara Mandi Wajid


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Tata Cara Mandi Wajid

Tata cara mandi wajib secara lengkap meliputi yang wajib dan sunnah adalah sebagai berikut:

1.  Berniat dalam hati.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” Niat tidak boleh dilafazhkan dengan lisan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Disamping itu, Allah mengetahui apa yang dibisikan oleh hati seseorang, sehingga tidak perlu niat tersebut diucapkan.

b. Membaca bismillah.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak dipandang shalat orang yang shalat dengan tidak berwudhu’, tidak dipandang berwudhu’ orang yang berwudhu’ dengan tidak menyebut nama Allah.”

c. Mencuci telapak tangan terlebih dahulu 3 kali

Seorang yang hendak mandi sebaiknya memulainya dengan mencuci telapak tangannya terlebih dahulu 3 kali. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah dan Maimunah radhiyallahu ‘anhuma. [HR. Bukhari dan Muslim]

d. Mencuci kemaluan dengan tangan kirinya

Seseorang yang mandi wajib hendaknya mencuci kemaluannya dengan tangan kiri. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah dan Maimunah radhiyallahu ‘anhuma. [HR. Bukhari dan Muslim]

e. Membersihkan tangan kirinya

Seseorang yang mandi wajib hendaknya mencuci kemaluannya dengan tangan kirinya setelah digunakan mencuci kemaluan dengan cara sebagai berikut:

  • Menggosokkan tangan kirinya tersebut ke tanah, lalu mencucinya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah dan Maimunah radhiyallahu ‘anhuma. [HR. Bukhari dan Muslim]
  • Mencucinya dengan air dan sabun.

f.  Berwudhu’

Seseorang yang mandi wajib, setelah mencuci kemaluannya hendaklah ber-wudhu secara sempurna sebagaimana berwudhu ketika hendaklah shalat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al_Bukhari yang disyarah dalam kitab Fathul Bari hadits no. 248 dan 383 dan Muslim hadits no. 316 dan 317]

Dr. Sa’id bin ’Ali bin Wahf Al_Qahthani mengatakan bahwa boleh juga ber-wudhu dengan membasuh kaki di akhir rangkaian mandi. Hal ini berdasar-kan hadits yang diriwayatkan dari Maimunah radhiyallahu ’anha. [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al_Bukhari yang disyarah dalam kitab Fathul Bari hadits no. 257, 259 dan 266]

g. Menyela-nyelai rambut secara merata dan menyiram kepala

Seseorang yang mandi wajib hendaklah menyela-nyela rambut secara merata, lalu menyiram kepalanya 3 kali sepenuh 2 telapak tangan. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah dan Maimunah radhiyallahu ’anhuma. [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al_Bukhari yang disyarah dalam kitab Fathul Bari hadits no. 249, 257 dan 266]

Ketika menyiram kepala, hendaklah dimulai dari kepala bagian kanan, kemudian kiri, setelah itu bagian tengah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha. [HR. Bukhari dan Muslim. Selain diriwayatkan dari Aisyah, hadits ini juga diriwayatkan dari Jabir dan Jubair bin Muth’im]

Bagi wanita, ketika mandi wajib dibolehkan tidak melepas ikatan rambutnya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ’anha, ia berkata, ” Wahai Rasulullah, saya suka mengikat rambut. Apakah saya harus melepaskannya ketika mandi wajib?” Rasulullah menjawab, ”Tidak. Kamu cukup menyiramkan air pada kepala 3 kali, selanjutnya meratakannya ke seluruh tubuh. Dengan cara begitu kamu sudah suci.” Akan tetapi, ketika mandi setelah haidh, wanita dianjurkan untuk melepas ikatan rambutnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa Rasulullah berkata kepada Aisyah yang keda-tangan haidh saat menunaikan ibadah haji, ”Tinggalkanlah rangkaian ibadah umrahmu! Lepaskanlah ikatan rambutmu saat mandi, dan sisirlah rambut-mu.” [HR. Imam Al_Bukhari]

Syaikh ’Abdul ’Aziz bin ’Abdullah bin Baz ketika memberikan komentar terhadap kitab Muntaqa Al_Akhbar karya Ibnu Taimiyah berkata bahwa ketika mandi wajib setelah berhenti dari haidh, para wanita disunnahkan melepas ikatan rambutnya. Sedangkan ketika mandi junub mereka tidak disunnahkan melepasnya. [Lihat kitab Fathul Bari (I/418) dan kitab Al_Haidh wa An_Nifas, hal. 175]

h. Meratakan air ke seluruh tubuh

Seseorang yang mandi diwajibkan meratakan air ke seluruh tubuh. Dan ketika menyiram air ke tubuh hendaklah dimulai dari tubuh bagian kanan, kemudian bagian kiri. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha, ia berkata: ” Sesungguhnya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam segala urusan beliau.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al_Bukhari yang disyarah dalam kitab Fathul Bari (I/269) dan Muslim (226)]

Seseorang yang mandi wajib hendaknya juga membersihkan ketiak, semua lekukan tubuh, dan selangkangannya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam membersihkan semua lipatan tubuhnya, termasuk ketiak dan selang-kangannya. [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud hadits no. 243 yang dinilai shahih oleh Al_Albani dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud (I/48)]

Selain itu, seseorang yang mandi wajib hendaknya menggosok-gosok bagian tubuhnya yang tidak mudah terjangkau air. [Lihat Ibnu Taimiyah, Syarah Al_’Umdah (I/368)]

i. Bergeser dari tempat semula, lalu membasuh kedua kaki

Menjelang selesai mandi wajib, sebelum membasuh kedua kaki, seseorang yang mandi wajib dianjurkan bergeser sedikit dari tempat semula, lalu membasuh kedua kakinya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Maimunah radhiyallahu ’anha. [HR. Bukhari dan Muslim]

Syaikh ’Abdul ’Aziz bin ’Abdullah bin Baz berkata, ”Hendaknya seseorang yang mandi wajib mencuci kedua kakinya di akhir mandi wajib, baik sebe-lumnya telah dibasuh saat wudhu di permulaan mandi wajib maupun belum.” [Lihat Dr. Sa’id bin ’Ali bin Wahf Al_Qahthani, Thaharah Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam Tuntunan Bersuci Lengkap, hal. 124]

Adapun setelah selesai mandi wajib, lebih afdhal bila seseorang tidak mengelap badanya dengan handuk maupun dengan kain lap lainnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata; “Lalu saya mengambilkan sapu tangan, namun beliau menolaknya. Beliau tidak mau mengelap tubuhnya dengan sapu tangan tadi.” [HR. Al_Bukhari dan Muslim]

Demikianlah pembahasan tentang tata cara mandi wajib secara lengkap. Jadi, seseorang yang mandi wajib dikatakan mencukupi bila telah berniat, membaca bismillah, berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung lalu menghembuskannya kembali, dan meratakan air ke seluruh tubuh. [Lihat Ibnu Taimiyah, Syarah Al_’Umdah (I/365) dan Asy_Syarah Al_Mumti’ ‘Ala Zad Al_Mustaqni (I/304 dan 294-300)]

Syarat-Syarat Mandi Wajib


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Syarat_Syarat Mandi Wajib

Sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Hasyiyah Ar_Raudh Al_Murabba’ karya Ibnu Qasim bahwa yang termasuk syarat_syarat mandi wajib adalah sebagai berikut :

  1. Niat
  2. Islam
  3. Berakal sehat
  4. Tamyiz
  5. Air yang dipakai suci dan mubah
  6. Tidak ada hal_hal yang menghalangi sampainya air ke kulit
  7. Telah berhentinya hal-hal yang mewajibkan mandi

[Lihat Ibnu Qasim, Hasyiyah Ar_Raudh Al_Murabba’ (I/189, 193-194) dan Manar As_Sabil (I/39)]

Hal-Hal yang Terlarang Bagi Orang yang Junub


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Hal_Hal yang Terlarang Bagi Orang yang Junub

a. Shalat

Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat An_Nisa ayat 43 yaitu, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat ketika kamu mabuk, karena dalam keadaan tersebut kamu tidak mengerti apa yang kamu ucapkan; (jangan pula kamu hampiri masjid) ketika kamu junub, kecuali sekedar lewat saja, sebelum kamu mandi.” [QS. An_Nisa’ : 43]

Hal ini juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum.

b. Thawaf

Thawaf artinya mengelilingi Ka’bah. Orang yang sedang junub tidak boleh thawaf. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Thawaf di Masjidil Haram adalah termasuk shalat.” [Hadits ini diriwayatkan oleh An_Nasai’, At_Tirmidzi, dan Ibnu Khuzaimah (IV/222). Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani dalam kitab Shahih An_Nasai (II/614), Shahih At_Tirmidzi (I/283), dan Irwa’  Al_Ghalil (I/154)]

c. Menyentuh Al_Qur’an

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Amru bin Hazm, Hakim bin Hizam, dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang boleh menyentuh Alquran hanyalah orang yang dalam keadaan suci.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al_Muwatha’ (I/199), Daruquthni (I/122), dan Al_Hakim (I/397). Hadits ini dinilai shahih, karena ada beberapa syawahid (hadits-hadits pendukung) yang diriwayatkan dari Hakim dan Ibnu Umar. Lihat kitab Irwa’ Al_Ghalil karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani (I/158); kitab At_Talkhish Al_Habir karya Al_Hafizh Ibnu Hajar Al_Asqalani (I/131); dan kitab Asy_Syarah Al_Mumti’  karya Ibnu Utsaimin (I/261)]

d. Membaca Al_Qur’an

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca Alquran kepada kami dalam keadaan apapun selama beliau tidak junub.”

Dalam lafazh lain disebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar dari WC, lalu membacakan Alquran kepada kami dan makan daging bersama kami (sebelum beliau berwudhu’). Tidak ada yang menghalangi beliau untuk membaca Alquran selain junub.”

Hal ini juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan juga dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa suatu ketika dia berwudhu’, lalu beliau berkata, “Beginilah saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, lalu membaca Alquran. Setelah itu beliau berkata, ‘Ini bagi orang yang tidak junub. Adapun bagi orang yang junub tidak boleh membaca Alquran walau-pun satu ayat’.” [HR. Ahamad, yang dinilai shahih oleh Ahmad Syakir]

e. Berdiam di masjid

Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala surat An_Nisa’ ayat 43, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat ketika kamu mabuk, karena dalam keadaan tersebut kamu tidak mengerti apa yang kamu ucapkan; (jangan pula kamu hampiri masjid) ketika kamu junub, kecuali sekedar lewat saja, sebelum kamu mandi.” [QS. An_Nisa’(4): 43]

Hal ini juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ubahlah posisi rumah kalian sehingga tidak langsung berhubungan dengan masjid, karena saya tidak menghalalkan masjid bagi orang yang haidh dan orang yang junub.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (I/60). Dalam kitab At_Talkhish Al_Habir  Ibnu Hajar Al_Asqalani berkata bahwa Imam Ahmad berkata, “Hadits ini tidak mengapa dijadikan hujjah, karena hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan dinilai hasan oleh Ibnu Qathan dan Arnauth dalam kitab Jami’ Al Ushul (XI/205)”]

Adapun sekedar masuk masjid untuk lewat saja, bagi orang yang junub tidak terlarang. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “…..(jangan pula kamu hampiri masjid) ketika kamu junub, kecuali sekedar lewat saja, sebelum kamu mandi.” [QS. An_Nisa’ (4): 43]

Begitu pula orang yang haidh dan nifas, keduanya boleh masuk masjid untuk lewat asalkan berhati-hati agar masjid tidak terkotori darahnya. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini:

Pertama, hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh saya, ‘’Tolong ambilkan tikar di dalam masjid. Saya berkata kepada beliau, ‘Saya sedang haidh.’ Beliau menjawab, ‘Tidak apa-apa. Ambil saja, karena darah haidhmu tidak di tanganmu.’” [HR. Muslim (I/245)]

Kedua, hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Pernah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di masjid dia menyuruh Aisyah, ‘Wahai Aisyah, ambilkan baju!’ Aisyah menjawab, ‘Saya sedang haidh.’ Beliau menjawab, ‘ Darah haidhmu tidak di tanganmu’.” [HR. Muslim (I/245)]

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz berkata, “Para sahabat biasa lewat masjid ketika sedang junub, karena mereka memahami adanya pengecua-lian ini. Adapun sabda Nabi, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang haidh dan orang yang junub” adalah larangan untuk duduk atau berdiam di dalam masjid.”

Akan tetapi, Ahmad, Ishaq, dan sejumlah ulama lain membolehkan orang junub duduk dan berdiam di masjid. Mereka berdalil dengan atsar sahabat yang diriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa mereka terkadang duduk di masjid dalam keadaan junub apabila telah berwudhu’. [Atsar ini diriwayat-kan oleh Sa’id bin Manshur dan Hanbal bin Ishaq sebagaimana disebutkan dalam kitab Al_Muntaqa (I/141-142) dan kitab Syarah Al_’Umdah (I/391) karya Ibnu Taimiyah. Adapun diri Zaid bin Aslam mendapat kritikan. Lihat kitab Hasyiyah Mutsaqni’ (I/294)]

Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa seseorang yang junub tidak boleh duduk atau berdiam di masjid meskipun telah berwudhu’. Pendapat ini berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala, “…..(jangan pula kamu hampiri masjid) ketika kamu junub, kecuali sekedar lewat saja, sebelum kamu mandi.” Sekedar berwudhu’ tentu tidak bisa mengeluarkan seseorang dari keadaan junub. Pendapat ini juga berdasarkan keumuman hadits, “Sesungguhnya saya tidak menghalalkan masjid bagi orang yang haidh dan orang yang junub.”

Penulis berkata, “Pendapat ini lebih jelas dan kuat. Adapun adanya riwayat para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di masjid dalam keadaan junub, kemungkinan mereka belum tahu adanya dalil yang melarang orang junub duduk di masjid.” Dengan demikian, ketentuan yang kita pegangi adalah ketentuan yang disebutkan dalam dalil, “…..(jangan pula kamu hampiri masjid) ketika kamu junub, kecuali sekedar lewat saja, sebelum kamu mandi.” Tentang hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Aslam, meskipun diriwayatkan oleh Imam Muslim, tetapi tetap mengganjal di hati, karena dia sendirian dalam meriwayatkan hadits tersebut. [Perkataan ini disampaikan oleh Syaikh ’Abdul ’Aziz bin ’Abdullah bin Baz ketika mengomentari kitab Al_Muntaqa karya Syaikh Ibnu Taimiyah hadits no. 396. lihat juga kitab Asy_Syarah Al_Mumti’ ’Ala Zad Al_Mustaqni (I/294)]

Hal-Hal yang Mewajibkan Mandi


Writed by:  Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Hal_Hal yang Mewajibkan Mandi

a. Keluar mani

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila kamu mengeluarkan madzi, maka bersihkanlah kemaluanmu dan berwudhu’lah sebagaimana kamu berwudhu’ untuk melakukan shalat. Dan bila kamu mengeluarkan mani, maka mandilah.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud hadits no. 206 yang dinilai shahih oleh Muhammad Nashiruddin Al_Albani dalam Kitab Shahih Abi Dawud (I/40) hadits no. 190 dan dalam Kitab Irwa’ Al_Ghalil 9I(162)]

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, Anas, dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwa Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, istri Abu Thalhah, suatu ketika datang kepada Rasulullah, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu menerangkan kebenaran. Apakah seorang wanita yang bermimpi wajib mandi? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, jika dia mengeluarkan mani.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al_Bukhari yang disyarah dalam kitab Fathul Bari (I/388) hadits no. 282 dan Imam Muslim (I/250-251) hadits no. 310-313]

Dengan demikian, berdasarkan hadits-hadits di atas, maka bisa kita ketahui bahwa orang yang tidur lalu mengeluarkan mani, maka wajib mandi, baik merasakan nikmat maupun tidak, karena orang yang tidur kadang-kadang tidak bisa merasakan. Apabila orang tidur dan bermimpi, lalu bangun dan melihat adanya air mani yang keluar, maka wajib mandi.  Akan tetapi, bila ia tidur dan bermimpi, lalu bangun dan tidak melihat adanya air mani yang keluar, maka dia tidak wajib mandi.

Ibnu Mundzir berkata, “Sejauh yang saya ketahui, semua ulama bersepakat atas hal ini.” [Lihat Dr. Sa’id bin ’Ali bin Wahf Al_Qahthani, Thaharah Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam Tuntunan Bersuci Lengkap,  alih bahasa  Abu Shafiyah, dari judul asli Thuhuru Al_Muslimi fi Dhau’i Al_Kitabi wa As_Sun-nati Mafhumun wa Fadhailu wa Adabun wa Ahkamun, hal. 106]

b. Bersetubuh

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila seorang suami duduk di antara empat anggota badan istrinya, lalu kemaluannya bertemu dengan kemaluan istrinya, maka keduanya wajib mandi.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dengan demikian, dua hal yang menyebabkan seseorang mandi wajib, yaitu keluar mani dan bertemunya dua kemaluan sebagaimana yang ditunjukkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al_Maidah ayat 6 yaitu, “…..dan bila kalian junub, hendaklah mandi.”

c. Masuk Islam

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Qais bin Ashim radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Suatu ketika saya datang kepada Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk Islam. Beliau lalu menyuruh saya mandi dengan air dan daun bidara.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud hadits no. 355, An_Nasa’i hadits no. 188, At_Tirmidzi hadits no. 605, dan Ahmad (I/61). Hadits ini dinilai shahih oleh Al_Albani dalam kitab Irwa’ Al-Ghalil (I/163)]

Sebagian ulama mengatakan bahwa mandinya orang kafir yang masuk Islam tidaklah wajib melainkan hanya sunnah saja. Alasan yang mereka bawakan adalah karena perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tersebut dalam hadits tidak dalam bentuk perintah yang sifatnya umum, misalnya dengan lafazh, “Barangsiapa masuk Islam, hendaklah mandi.”

Di samping itu, dulu banyak sahabat yang masuk Islam, namun tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerin-tahkan mereka untuk mandi. Kalau mandi setelah masuk Islam hukumnya wajib, tentu akan banyak diketahui orang karena mereka sangat berkepen-tingan dengan hal tersebut.

Ulama lain berkata, “ Bila pada masa kafirnya dia melakukan hal-hal yang mewajibkan mandi, maka ia wajib mandi ketika masuk Islam. Akan tetapi, bila semasa kafirnya tidak melakukan hal-hal yang mewajibkan mandi, maka dia tidak wajib mandi ketika masuk Islam.” [Lihat Ibnu Qudamah, Al_Mughni (I/274-276) dan Asy_Syarah Al_Mumti’ ’Ala Zad Al_Mustaqni (I/284-285)]

Syaikh Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “Mandi setelah masuk Islam hukumnya hanya sunnah saja, bukan wajib, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan Al_Jam Al_Ghufair mandi ketika masuk Islam.” [Lihat Abdullah bin ’Abdul Aziz bin Baz, Syarah Bulughil Maram hadits no. 121]

Akan tetapi, pendapat yang mengatakan bahwa orang yang baru masuk Islam wajib mandi adalah pendapat yang lebih rajih (kuat), karena perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada satu orang juga berlaku untuk manusia seluruhnya.

Ibnul Qayyim Al_Jauziyah rahimahullah berkata, “Hadits yang menjelaskan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah shahih. Oleh karena itu, yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa orang yang masuk Islam wajib mandi, baik sewaktu kafirnya mengalami junub maupun tidak.” [Lihat Ibnul Qayyim Al_Jauziyah, Zad Al_Ma’ad (III/627)]

d. Mati, tetapi bukan mati syahid di medan jihad

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata berkenaan dengan orang yang mati terjatuh dari ontanya ketika masih dalam ihram di Arafah, “Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua pakaian ihramnya.” [HR. Bukhari dan Muslim]

e. Haidh

Seorang wanita yang telah berhenti dari haidh wajib mandi, dan berhentinya haidh tersebut menjadi syarat sah mandinya. Oleh karena itu, bila dia mandi sebelum haidh berhenti, maka mandinya tidak sah. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh adalah kotoran.’ Oleh karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang sedang haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [QS. Al_Baqarah (2): 222]

Hal ini juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy pernah mengalami istihadhah, lalu dia menanyakannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau men-jawab, “itu adalah darah yang keluar dari urat, bukan darah haidh. Jadi, apabila haidhmu datang, tinggalkanlah shalat, dan apabila haidhmu telah berhenti, mandilah dan kerjakanlah shalat.” [HR. Bukhari dan Muslim]

f. Nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita berhubungan dengan proses melahirkan. [Lihat Dr. Sa’id bin ’Ali bin Wahf Al_Qahthani, Thaharah Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam Tuntunan Bersuci Lengkap,  alih bahasa  Abu Shafiyah, dari judul asli Thuhuru Al_Muslimi fi Dhau’i Al_Kitabi wa As_Sunnati Mafhumun wa Fadhailu wa Adabun wa Ahkamun, hal. 113]

Seorang wanita yang telah berhenti mengeluarkan darah nifas wajib mandi, dan berhentinya darah nifas tersebut merupakan syarat sah mandinya. Sebenarnya darah nifas adalah darah haidh juga. Darah nifas adalah darah haidh yang selama wanita hamil berubah menjadi makanan janin yang disalurkan melalui plasenta (tali pusar). Oleh karena itu, ketika janin keluar, darah tersebut ikut keluar, karena sudah tidak ada lagi yang memerlu-kannya. Dan darah tersebut dinamakan darah nifas. [Lihat Ibnu Qudamah, Al_Mughni (I/377) dan Syarah Az_Zarkasyi (I/289)]

Darah nifas keluar pada saat seorang wanita melahirkan atau sesudahnya, atau 1 hari, 2 hari, atau 3 hari sebelumnya yang biasanya disertai rasa sakit. [Lihat Kitab Asy_Syarah Al_Mumti’ ’Ala Zad Al_Mustaqni (I/287 dan 441)]

Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa darah nifas sama dengan darah haidh adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tatkala dia mengalami haidh. Waktu itu beliau berkata, “Mengapa kamu ini? Apakah kamu sedang nifas?” [HR. Bukhari dan Muslim]

Ijma’ ulama menyebutkan bahwa wanita yang telah berhenti dari nifas wajib mandi sebagaimana wanita yang telah berhenti dari haidh. [Lihat Kitab Asy_Syarah Al_Mumti’ ’Ala Zad Al_Mustaqni (I/288)]

Pengertian Mandi Wajib


Pengertian Mandi Wajib

DSC00314

Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al_Qahthani dalam kitabThuhuru Al_Muslimi fi Dhau’i Al_Kitabi wa As_Sunnati Mafhumun wa Fadhailu wa Adabun wa Ahkamun mengatakan bahwa yang dimaksud mandi disini adalah mandi wajib, yaitu mandi junub dan mandi setelah bersih dari haidh maupun nifas.

Mandi artinya menyiramkan air ke seluruh tubuh. Mandi wajib dalam pengertian syara adalah meratakan air ke seluruh tubuh untuk menghilangkan hadats besar dengan disertai niat menghilangkan hadats besar tersebut. Perbedaan antara mandi wajib (mandi junub) dengan mandi yang biasa dilakukan sehari-hari terletak pada niatnya.

By:  Hafiz Muthoharoh, M.Pd.I