Kemendiknas, Mengadakan Konferensi Pers Hari Kedua Pelaksanaan UN SMA/MA/SMALB/SMK


Jakarta, – Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengadakan  konferensi pers hari kedua pelaksanaan UN SMA/MA/SMALB/SMK dengan  narasumber Djemari Mardapi Ketua Standar Nasional Pendidikan  (BSNP) Taufik Yudi Mulyanto Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI  Jakarta dan Nugaan Yulia Wardhani Siregar Kepala Pusat Penilaian  Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendiknas di Gerai  Informasi dan Media (GIM) Kemendiknas, Selasa (23/3) siang.

BSNP terus menelusuri berbagai temuan di lapangan terkait pelaksanaan Ujian Nasional (UN)SMA/MA/SMALB/SMK. Sampai dengan hari kedua  pelaksanaan UN SMA pada hari ini, BSNP telah menerima berbagai  laporan dari tim BSNP dan perguruan tinggi di berbagai daerah.

Ketua BSNP menyampaikan, dari hasil pemantauan ditemukan ada lembar  jawaban yang rusak. Sesuai Prosedur Operasi Standar (POS) UN, kata  dia, peserta didik bisa menjawab di kertas kosong yang distempel oleh  sekolah kemudian dipindahkan ke lembar jawaban UN (LJUN) yang asli.  “Disaksikan oleh perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai pengawas  bersama dari dinas pendidikan selaku penyelenggara,” katanya.

Djemari mengatakan, temuan kedua adalah tentang adanya jawaban soal  yang terjadi di SMA Negeri 7 Semarang. Setelah dicek oleh BSNP dan  PTN, kata dia, ternyata kejadian tersebut tidak benar. Sementara,  temuan yang sama di Medan Sumatera Utara, BSNP dan PTN sedang  menelusuri kebenaran kejadian tersebut. BSNP, kata dia, akan meminta  hasil scan (pindai) lembar jawaban dan dianalisa. “Kita lihat pola  responnya. Kita akan tahu ini ada penyimpangan atau tidak. Kalau itu  random tidak ada penyimpangan. Kalau itu sistematik, itu ada  penyimpangan,” katanya.

Sementara itu, Taufik menyampaikan, pelaksanaan UN sampai hari ini di  wilayah DKI Jakarta tidak ada suatu gangguan yang berarti. Dia  menyebutkan, dari sebanyak 124.224 peserta ujian hadir 123.893 orang  (99,73%, sedangkan yang tidak hadir sebanyak 331 orang (0,27 %).  “Yang tidak hadir ini karena alasan sakit, kerja industri di luar  negeri, dan yang sedang berlatih dan bertanding (olah raga),”katanya.

Taufik mengatakan, mereka yang tidak mengikuti ujian akan diikutkan  pada ujian susulan. Dia menambahkan, ada sebanyak 14 siswa yang  sedang berlatih di Uruguay. “Kamis besok akan dikirim naskah ujian  langsung ke Uruguay,” ujarnya.

Lebih lanjut Taufik menyampaikan, ada siswa yang bermasalah dengan  urusan hukum. Dia mencontohkan, ada satu siswa sekolah menengah  kejuruan (SMK) yang berurusan dengan hukum. “Kami antar juga (soal  ujian) sampai ke rumah tahanan Pondok Bambu,” katanya.

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, kata Taufik, membuka Posko UN  melalui telepon dan faksimili 021-5271424 atau SMS 08128767285.

Pada kesempatan yang sama, Wardhani menyampaikan, secara garis besar tidak ada aduan  yang berarti terkait pelaksanaan UN hari ini. Berdasarkan pantauannya  di daerah Bekasi, soal listening Bahasa Inggris dapat didengar dengan  baik. “Saya mendengarkan cukup jelas dan jernih. Jadi menurut saya  tidak ada masalah dengan tes Ujian Nasional Bahasa Inggris,” katanya.

Rapat Koordinasi Kementerian Pendidikan Nasional


Bogor, Kementerian Pendidikan Nasional menyelenggarakan Rapat Koordinasi Kementerian Pendidikan Nasional yang diselenggarakan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, Kementerian Pendidikan Nasional, Bojongsari, Depok, Bogor, pada Jumat, (05/02).

Rapat Koordinasi (Rakor) dibuka langsung oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Muhammad Nuh dan diikuti sebanyak 213 orang dari jajaran pejabat eselon I, II, III di lingkungan unit utama Kementerian Pendidikan Nasional.

Dalam sambutannya, Mendiknas Menjelaskan bahwa namanya pendidikan itu irreversible proces yaitu proses yang tidak bisa dikembalikan lagi artinya hasil pendidikan kalau ada kecacatan misalnya aja yang tidak punya tata krama, yang mana ada kesalahan pada waktu ngajar tidak bisa ditarik sekolah lagi karena itu proses irreversible.

“Karena ini proses irreversible maka kita harus hati-hati didalam mulai merancang kurikulumnya, mengembangkan metodologinya sampai dengan implementasi dilapangannya, itu kita harus hati-hati betul dan kita tidak boleh melakukan eksperimen-eksperimen tanpa didasari kajian-kajian akademik secara komprehensif”, jelas Mendiknas.Rakor

Menurut Mendiknas bahwa maksud dari Rakor kali ini disamping membangun silahturahmi dan meningkatkan ownership (rasa kepemilikan), tetapi juga tidak adanya gap/perbedaan dalam menyampaikan ide-ide kreatif yang muncul antara eselon I, II dan III dengan tanpa ada tekanan dan kesungkanan.

Mendiknas juga menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang menarik dan perlu dicermati yaitu yang pertama, tentang Ujian Nasional (UN), “meskipun pelaksananya UN adalah BSNP tetapi kita tetep ikut karena urusan pendidikan tidak bisa di buat demarkasi yang jelas”, kata Mendiknas.

“Oleh karena itu kita harus bersama-sama, kita semua tidak hanya litbang tetapi kita semua ikut menjadi corong-corong atau pelaku-pelaku untuk menghantarkan agar UN itu yang pertama prestasinya bagus, tapi tidak cukup hanya bagus prestasinya tetapi dijiwai oleh perilaku kejujuran sehingga prestasi dan jujur itu melekat satu kesatuan”, jelas Mendiknas.

Yang kedua, tentang renstra, “sebenarnya sudah mengamanatkan tentang akhlak mulia, tentang metodologi yang berbasis kreativitas, inovatif dst, tetapi kenapa masih banyak orang yang menanyakan seakan-akan metodologi yang kita kembangkan itu tidak berbasis pada kreativitas, inovasi dan lainnya”, kata Mendiknas.

“Oleh karena itu kita butuh momentum apa yang disarankan oleh kelompok 3 tentang pentingnya kampanye masih untuk membangkitkan kesadaran kolektif bagi masyarakat luas tentang pentingnya akhlak mulia, kepribadian dan seterusnya”, tambah Mendiknas.

Yang terakhir, mengenai tata kelola yang ujungnya nanti adalah akuntabilitas. “Kalau kita bicara akuntabilitas kalau tidak ada sesuatu yang riil ukurannya yang resonable maka agak susah”, kata Mendiknas. “Oleh karena itu kami berterima kasih kepada bapak-ibu semuanya dan pada kita semuanya yang mempunyai tekad untuk menggeser wajar dengan pengecualian ke wajar tanpa pengecualian”, tambahnya.

Mendiknas mengatakan bahwa berikutnya lagi terkait dengan tata kelola yaitu mengenai pentingnya ketepatan/akurasi/presisi perencanaan karena segala itu awalnya ditentukan didalam perencanaan kalau perencanaannya bagus insyaalloh hasilnya bagus, kalau perencanaan tidak bagus tapi hasilnya bagus itu namanya mukjizat.

Mendiknas berharap, mumpung sekarang ini kita masih punya kesempatan untuk meningkatkan kualitas perencanaan kita, yang mana ujungnya kita memberikan layanan yang baik, baik layanan institusi, layanan kesiswaan maupun layanan ke masyarakat dan orientasi kita adalah orientasi kepuasan publik bukan semata-mata kepuasan kita diknas. “Kita boleh berat tapi publik puas tidak apa-apa memang yang jauh lebih baik adalah kita senang dan publik juga senang oleh karena itu intervensi teknologi menjadi keharusan, menata kembali prosedur  mekanisme sistem yang berlaku di diknas harus di berlakukan dan peningkatan SDM mutlak harus dilakukan, kalau itu bisa dilakukan pekerjaan seberat apapun, insyaalloh kita jawab dengan baik”, katanya.

Mendiknas juga berharap para pejabat di lingkungan Kementrian Pendidikan Nasional agar memperhatikan prinsip-prinsip pelaksanaan pembangunan pendidikan 2010-2014, yaitu: patuh hukum (legal compliance), terbuka (transparan), dapat dipertanggungjawabkan (accountable), dilaksankan dengan cepat dan hati-hati (prudent), dan mengikuti azas manfaat (benefical).

Rakor ini membahas masalah kebijakan pendidikan yang terbagi dalam empat kelompok, yaitu: Kelompok I: Realisasi Anggaran 2010, Peningkatan Akuntabilitas (WTP), dan Rencana RKP 2011 (Sesjen dan Irjen). Kelompok II: Persiapan UN yang bisa dipercaya/langkah-langkah persiapan UN 2010 (Kabalitbang dan Ketua BSNP). Kelompok IIIReview (isi) dan Pengembangan Karakter Jati Diri (Dirjen Dikti dan Dirjen PMPTK). Kelompok IV: Peningkatan Kualitas Layanan, meliputi: instasi, pendidik dan tenaga kependidikan, serta siswa (Dirjen Mandikdasmen dan Dirjen PNFI).

Sumber: https://alhafizh84.wordpress.com/2010/02/20/rapat-koordinasi-kementerian-pendidikan-nasional/

Tumbuhkan Kesadaran Kolektif Gemar Membaca


Sumber: http://www.depdiknas.go.id/

Jakarta, Senin (14 Desember 2009) — Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menegaskan, urusan pembudayaan membaca tidak bisa diselesaikan hanya dengan undang – undang, tetapi justru harus dikembangkan kesadaran kolektif bagi masyarakat agar gemar membaca.

“Kita itu kekurangan pada kolektivitasnya. Ada orang yang sangat gemar membaca di Indonesia, sangat banyak, tetapi banyaknya itu belum cukup menggerakkan dibandingkan dengan populasi penduduk kita. Paling tidak para pengelola perpusatakaan itu semuanya sudah gemar (membaca), tetapi berapa jumlah orangnya? tidak ada sekian persen dari jumlah populasi. Oleh karena itu, kita perlu menumbuhkan kesadaran kolektif (gemar membaca),” katanya saat membuka Seminar Nasional Pembudayaan Kegemaran Membaca di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Senin (14/12/2009).

Mendiknas menyampaikan, untuk menumbuhkan gemar membaca harus menyiapkan pertama adalah bahan bacaan. Kalau itu berupa buku, kata Mendiknas, maka dipengaruhi oleh bentuk fisik dari buku itu. “Kalau bukunya itu sendiri sudah tidak menarik maka jangan berharap orang bisa tertarik untuk membacanya,” katanya.

Hal kedua yang harus disiapkan, kata Mendiknas, adalah karakter atau huruf dalam bahan bacaan. Di situ pula, lanjut Mendiknas, tentang pentingnya pemberantasan buta huruf. “Orang tidak mungkin mau membaca kalau dia sendiri tidak mengenal karakter dari apa yang mau dibaca,” ujarnya.

Lebih lanjut Mendiknas mengatakan, hal yang ketiga, yang sangat substantif, adalah isi dari buku itu sendiri. “Menjadi tantangan bagi para penulis kita termasuk kita semua untuk membiasakan menulis dan isi dari tulisan itu harus bisa memberikan pencerahan dan pencerdasan bagi kita semua,” katanya.

Sementara, kata Mendiknas, jika dilihat dari sisi pembaca, seseorang akan gemar membaca adalah bukan karena paksaan. Untuk itu, lanjut Mendiknas, yang tidak boleh dilupakan adalah menumbuhkan ketertarikan. Jika bahan bacaannya menarik maka bukan dari sekedar bahan – bahan yang sudah tersedia lalu seseorang baru mau membaca, tetapi dia akan mencarinya. “Oleh karena itu, kita bangun kesadaran bersama – sama, kita ajak kawan – kawan untuk membiasakan menulis dan menyiapkan bahan bacaan secara atraktif dan menarik,” ujarnya.

Mendiknas mengemukakan, selama ini orang salah meletakkan paradigma yang meletakkan perpustakaan sebagai dapur, sehingga tidak perlu dikemas dalam bentuk yang atraktif. Mendiknas menyarankan, agar merombak tampilan perpustakaan mulai dari bangunan, tanpa harus dirobohkan, lalu akrab dengan teknologi, dan update bahan – bahan. “Menunjukkan bahwa perpustakan itu bukan sesuatu yang harus ditaruh di belakang seperti lazimnya sekedar pelengkap penderita, tetapi justru mestinya perpustakaan itu dengan segala rentetannya dia menjadi penjuru, menjadi yang harus di depan untuk memberikan guidance, memberikan bahan – bahan pencerdasan adik – adik dan anak – anak kita,” katanya.

Plt Perpustakaan Nasional RI Liliek Sulistyowati mengatakan, diantara ciri masyarakat yang berbudaya baca tinggi adalah besarnya apresiasi mereka terhadap buku, pengarang, dan penulis, di mana terdapat hubungan yang positif antara minat baca, kebiasaan membaca, serta kemampuan membaca dan menulis. “Minat baca yang tinggi akan menimbulkan kebiasaan membaca yang baik, sehingga mempertinggi kemampuan seseorang di dalam membaca dan menulis,” katanya.

Liliek mengungkapkan, minat dan kemampuan baca di Indonesia dikatakan masih rendah. Dia menyebutkan, menurut hasil survei yang dilakukan oleh UNESCO dua tahun yang lalu, minat baca masyarakat Indonesia adalah paling rendah di ASEAN, sedangkan survei yang dilakukan terhadap 39 negara – negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-38. “Ada banyak faktor yang menyebabkan budaya atau minat baca masyarakat Indonesia masih rendah antara lain disebabkan oleh sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat pelajar atau mahasiswa harus membaca buku, mencari, dan menentukan informasi lebih dari sumber yang diajarkan di sekolah,” katanya.

Faktor lainnya, kata Liliek, yaitu kurang atau jarangnya guru atau dosen memberikan tugas yang membuat anak didik harus mencari informasi di perpustakaan, serta budaya baca yang tidak pernah diwariskan oleh nenek moyang kita, “Kita lebih terbiasa mendengar orang tua ataupun kakek nenek kita bercerita dan mendongeng ketimbang membacakan buku – buku cerita ataupun bahan bacaan lainnya.

Faktor berikutnya, lanjut Liliek adalah pengaruh budaya dengar, tonton, dan media elektronik yang berkembang pesat. Lalu, kebiasaan para orang tua di rumah tangga belum memotivasi anak-anak untuk gemar membaca ditambah lagi tidak atau kurang tersedianya bahan bacaan yang sesuai dengan usia anak – anak.

Selain beberapa faktor tersebut, Liliek menambahkan, hal lain yang menyebabkan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia adalah sebagian besar masyarakat Indonesia menghabiskan waktunya untuk bekerja, sehingga tidak tersedia waktu untuk membaca. “Hanya kalangan tertentu saja yang benar – benar mencurahkan waktu untuk membaca dan atau menulis seperti wartawan, guru, dosen, peneliti dan pustakawan. Itupun dalam jumlah yang terbatas,” ujarnya.

Kurang tersedianya buku – buku yang berkualitas dengan harga yang terjangkau, sehingga buku masih dianggap sebagai barang mewah juga menjadi faktor penyebab rendahnya minat baca. Selain itu, kurang tersedianya perpustakaan di tempat-tempat umum yang mudah dijangkau, serta tidak memadai koleksi, fasilitas, dan pelayanan yang ada. Kemudian, tidak meratanya penerbitan buku dan distribusinya ke seluruh pelosok tanah air di indonesia. “Buku – buku terbaru dan bermutu lebih terkonsentrasi di kota – kota besar,” kata Liliek.

Duta Baca Indonesia Tantowi Yahya menyampaikan, selain sekolah sebagai institusi yang mengajarkan membaca, peran ibu juga sangat penting. Seorang ibu, kata dia, memiliki waktu jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayah. Anak juga lebih dekat dengan ibu. “Ibu punya kekuatan luar biasa untuk membentuk anak. Kalau ibu menggunakan peranannya dalam konteks memberikan contoh yang baik bagi anaknya, dalam hal ini membaca, Insya Allah anak akan menjadi pembaca. Apa yang dilakuan ibu saya sebagai orang kampung lulusan madrasah adalah dia tidak memaksa saya untuk membaca, tetapi di depan saya dia baca terus. Jadi dia memberikan contoh. Contoh itu yang terlihat dan kemudian terekam di saya seumur hidup saya,” katanya.

Kepala Sub Direktorat Kemitraan Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Kasubdit Kemitraan Dit.Dikmas Ditjen PNFI) Depdiknas Pahala Simanjuntak menyampaikan, pemerintah memberikan dukungan bagi taman bacaan masyarakat (TBM) termasuk untuk merintis yang baru.

Pahala menyebutkan, ada dua jenis bantuan yang diberikan. Pertama adalah TBM  Keaksaraan. Bantuan sebanyak Rp 15 juta diberikan untuk membeli buku-buku yang relevan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Bantuan yang kedua adalah TBM Penguatan Minat Baca sebanyak Rp 25 juta. “TBM ini untuk mengembangkan minat baca  dalam rangka pembudayaan kegemaran membaca. “Seringkali masyarakat kita yang putus sekolah akhirnya terpengaruh oleh hal – hal yang tidak kita inginkan karena tidak adanya wawasan untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas hidup,” katanya.***

Ujian Nasional (UN) Tetap Dilaksanakan


Sumber: http://www.depdiknas.go.id/

Jakarta, Senin (14 Desember 2009) — Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menegaskan, Ujian Nasional (UN) Tahun Pelajaran 2009/2010 akan tetap berjalan.

Hal tersebut disampaikan Mendiknas usai membuka Seminar Nasional Pembudayaan Kegemaran Membaca Tahun 2009 di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Senin (14/12/2009).

Mendiknas menyampaikan sejarah mengenai UN. Mendiknas menuturkan, sebelum Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1972 ada ujian negara yaitu satu ujian secara nasional yang menyelenggarakan negara. Mendiknas menyebutkan, pada saat itu tingkat kelulusan antara 30 – 40 persen. Sejalan dengan itu, lanjut Mendiknas, pada tahun 1969 dimulai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang salah satu programnya adalah menaikkan angka partisipasi kasar (APK). “Yaitu mendorong anak – anak supaya dia bisa melanjutkan sekolah. Oleh karena itu dibangun SD Inpres. SD yang didasarkan atas instruksi presiden supaya dia bisa masuk ke sekolah,” katanya.

Lebih lanjut Mendiknas menjelaskan, karena jumlah siswa yang tidak lulus banyak di ujian negara maka kesempatan orang bersekolah menjadi terbatas. “Melihat kondisi itu, kemudian dibuat kebijakan baru ujian sekolah yaitu kelulusannya diserahkan kepada sekolah,” katanya.

Mendiknas mengatakan, kebijakan yang kemudian diterapkan selama 20 tahun ini berdampak siswa lulus semua. “100 persen semuanya lulus. Oleh karena itu muncul yang namanya Ebtanas,” ujarnya.

Mendiknas menyebutkan, Ebtanas adalah kombinasi antara ujian negara dengan  ujian sekolah. Pada Ebtanas nilai siswa ditentukan menggunakan rumus PQR yaitu gabungan dari nilai rapor, ujian sekolah, dan ujian nasional. “Hasilnya ternyata ujian yang diselenggarakan oleh nasional tadi itu dengan ujian yang diselenggarakan oleh sekolah ada gap yang luar biasa dan akibatnya juga lulus semua,” katanya.

Mendiknas mencontohkan, pada mata pelajaran yang sama seorang siswa yang diuji secara nasional mendapatkan nilai tiga, tetapi di ujian sekolah mendapatkan nilai delapan. “Jadi tadi itu mulai murni negara sudah, ditambah lagi murni sekolah juga sudah, dikombinasi dengan ujian sekolah juga sudah. Nah sekarang ini mata pelajarannya tertentu saja yang diuji oleh negara, yang lain sekolah yang menentukan,” katanya.

“Jadi apa yang diperdebatkan oleh orang – orang sekarang serahkan kepada sekolah itu sudah dilakukan tahun 1972 dulu. Hasilnya jeblok, lulus semua. Munculah yang namanya seratus persenisasi. Lho kok sekarang mau ditarik lagi berarti kembali kepada (tahun) 1972 yang lalu,” kata Mendiknas.

Mendiknas mengimbau kepada peserta didik untuk siap menghadapi ujian dan tidak terjebak pada perbedaan – perbedaan pendapat. “Orang yang paling baik adalah orang yang paling siap. Oleh karena itu, tugas utama guru mengajar, tugas utama murid adalah belajar. Kalau kita sudah siap, diuji oleh siapapun tidak ada masalah,” katanya.

Mendiknas mendorong supaya siswa tahan banting dan mempunyai semangat yang tinggi. “Bagi saya tidak perlu dipertentangkan antara apakah itu pemetaan dan kelulusan,” ujarnya.

Terkait usul untuk menjadikan UN hanya sebagai standar, Mendiknas mengatakan, kalau hanya dijadikan standar tidak melekat pada nilai itu pada orang per orang maka bisa menjadi bias lagi. “Sampeyan ujian negara, tidak saya pakai untuk menentukan kelulusan. Sampeyan akan menjawab sembarang ya kan? Wong nda menentukan, nda ada apa – apa nya. Berarti akan ada bias lagi. Kenapa harus kita kontroversikan? jauh lebih baik, sudah disamping untuk mementukan (kelulusan) juga untuk standar,” ujarnya kepada media.***

Bagaimana merut anda???